BAB I
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Terjadinya konflik dalam setiap
organisasi merupakan sesuatu hal yang tidak dapat dihindarkan. Hal ini terjadi
karena di satu sisi orang-orang yang terlibat dalam organisasi mempunyai
karakter, tujuan, visi, maupun gaya yang berbeda beda. Di sisi lain adanya
saling ketergantungan antara satu dengan yang lain yang menjadi karakter setiap
organisasi. Tidak semua konflik merugikan organisasi. Konflik yang ditata dan
dikendalikan dengan baik dapat menguntungkan organisasi sebagai suatu kesatuan.
Dalam menata konflik dalam organisasi diperlukan keterbukaan, kesabaran serta
kesadaran semua pihak yang terlibat maupun yang berkepentingan dengan konflik
yang terjadi dalam organisasi.[1]
Organisasi sebagai suatu sistem
terdiri dari komponen-komponen (subsistem) yang saling berkaitan atau saling
tergantung (inter dependence) satu sama lain dan dalam proses kerja sama untuk
mencapai tujuan tertentu (Kast dan Rosenzweigh, 1974). Sub-subsistem yang
saling tergantung itu adalah tujuan dan nilai-nilai (goals and values
subsystem), teknikal (technical subsystem), manajerial (managerialsubsystem),
psikososial (psychosocial subsystem), dan subsistem struktur (structural
subsystem). Dalam proses interaksi antara suatu subsistem dengan subsistem
lainnya tidak ada jaminan akan selalu terjadi kesesuaian atau kecocokan antara
individu pelaksananya. Setiap saat ketegangan dapat saja muncul, baik antar
individu maupun antar kelompok dalam organisasi. Banyak faktor yang melatar
belakangi munculnya ketidakcocokan atau ketegangan, antara lain sifat-sifat
pribadi yang berbeda, perbedaan kepentingan, komunikasi yang “buruk”, perbedaan
nilai, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan inilah yang akhirnya membawa
organisasi kedalam suasana konflik.
Agar organisasi dapat tampil
efektif, maka individu dan kelompok yang saling tergantung itu harus
menciptakan hubungan kerja yang saling mendukung satu sama lain, menuju
pencapaian tujuan organisasi. Namun, sabagaimana dikatakan oleh Gibson, et al.
(1997:437), selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung
dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing-masing komponen
organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak saling
bekerjasama satu sama lain.
1.2. Permasalahan
Permasalahan kerap terjadi apabila
Konflik tidak terselesaikan. Karena Konflik yang tidak terselesaikan dapat
merusak lingkungan kerja dalam suatu organisasi privat ataupun publik sekaligus
orang-orang di dalamnya, oleh karena itu konflik harus mendapat perhatian. Jika
tidak, maka seorang pimpinan organisasi akan terjebak pada hal-hal seperti :
1. Meningkatkan
jumlah absensi pegawai dalam suatu organisasi, baik itu organisasi privat
maupun organisasi publik. Dan seringnya pegawai mangkir pada waktu jam-jam kerja
berlangsung seperti misalnya ngobrol berjam-jam sambil mendengarkan sandiwara
radio, berjalan mondar-mandir menyibukkan diri, tidur selama pimpinan tidak ada
di tempat, pulang lebih awal atau datang terlambat dengan berbagai alasan yang
tak jelas.
2. Banyak
pegawai yang mengeluh karena sikap atau perilaku teman kerjanya yang dirasakan
kurang adil dalam membagi tugas dan tanggung jawab.
3. Seringnya
terjadi perselisihan antar pegawai yang bisa memancing kemarahan,
ketersinggungan yang akhirnya dapat mempengaruhi pekerjaan, kondisi psikis dan
keluarganya.
4. Banyak
pegawai yang sakit-sakitan, sulit untuk konsentrasi dalam pekerjaannya, muncul
perasaan-perasaan kurang aman, merasa tertolak oleh teman ataupun atasan,
merasa tidak dihargai hasil pekerjaannya, timbul stres yang berkepanjangan yang
bisa berakibat sakit tekanan darah tinggi, maag ataupun yang lainnya.
5. Seringnya
pegawai atau bawahan melakukan mekanisme pertahanan diri bila memperoleh
teguran dari atasan, misalnya mengadakan sabotase terhadap jalannya produksi,
dengan cara merusak mesin-mesin atau peralatan kerja, mengadakan provokasi
terhadap rekan kerja, membuat intrik-intrik yang merugikan orang lain.
6. Meningkatnya
kecenderungan bawahan yang keluar masuk dan ini disebut labor turn-over.
Kondisi semacam ini bisa menghambat kelancaran dan kestabilan organisasi secara
menyeluruh karena produksi bisa macet, kehilangan bawahan menjadi potensial,
waktu tersita hanya untuk kegiatan seleksi dan memberikan latihan dan dapat
muncul pemborosan dalam cost benefit.
7. Kehilangan
pegawai yang berharga dan memiliki
keahlian teknis. Dapat saja mereka mengundurkan
diri. pimpinan harus menugaskan mereka kembali, dan contoh yang paling buruk
adalah karena mungkin Pimpinan harus memecat mereka.
8. Keputusan
yang lebih buruk yang diambil oleh perseorangan atau tim karena mereka sibuk
memusatkan perhatian pada orangnya, bukan pada masalahnya.
9. Kemungkinan
sabotase terhadap pekerjaan atau peralatan. Seringkali dimaklumi sebagai faktor
“kecelakaan” atau “lupa”. Namun, dapat membuat pengeluaran yang diakibatkan tak
terhitung banyaknya.
10. Sabotase
terhadap hubungan pribadi dan reputasi anggota tim melalui gosip dan kabar
burung. Segera setelah orang tidak memusatkan perhatian pada tujuan perubahan,
tetapi pada masalah emosi dan pribadi, maka perhatian mereka akan terus
terpusatkan ke sana.
11. Menurunkan
moral, semangat, dan motivasi kerja. Seorang karyawan yang jengkel dan merasa
ada yang berbuat salah kepadanya tidak lama kemudian dapat meracuni seluruh
anggota tim. Bila semangat sudah berkurang, manajer akan sulit sekali
mengobarkannya kembali.
12. Masalah
yang berkaitan dengan stres. Ada bermacam-macam, mulai dari efisiensi yang
berkurang sampai kebiasaan membolos kerja. (Stevenin,2000 : 131-132).[2]
1.3.
Landasan Teori
Menurut Ross bahwa manajemen konflik
merupakan langkah-langkah yang diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam
rangka mengarahkan perselisihan ke arah hasil tertentu yang mungkin atau tidak
mungkin menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian konflik dan mungkin atau
tidak mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat, atau
agresif.
Manajemen konflik dapat melibatkan
bantuan diri sendiri, kerjasama dalam memecahkan masalah (dengan atau tanpa
bantuan pihak ketiga) atau pengambilan keputusan oleh pihak ketiga. Suatu
pendekatan yang berorientasi pada proses manajemen konflik menunjuk pada pola
komunikasi (termasuk perilaku) para pelaku dan bagaimana mereka mempengaruhi
kepentingan dan penafsiran terhadap konflik.
Teori-teori
utama mengenai sebab-sebab konflik adalah :
a. Teori
hubungan masyarakat
Menganggap bahwa konflik disebabkan
oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara
kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Sasaran : meningkatkan komunikasi
dan saling pengertian antara kelompok yang mengalami konflik, serta
mengusahakan toleransi dan agar masyarakat lebih bisa saling menerima keragaman
yang ada didalamnya.
b. Teori
kebutuhan manusia
Menganggap bahwa konflik yang
berakar disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia (fisik, mental dan sosial) yang
tidak terpenuhi atau dihalangi. Hal yang sering menjadi inti pembicaraan adalah
keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi. Sasaran :
mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak
terpenuhi, serta menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan itu.
c. Teori
negosiasi prinsip
Menganggap bahwa konflik disebabkan
oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik
oleh pihak-pihak yang mengalami konflik. Sasaran : membantu pihak yang
berkonflik untuk memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan isu
dan memampukan mereka untuk melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan mereka
daripada posisi tertentu yang sudah tetap. Kemudian melancarkan proses
kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak atau semua pihak.
d. Teori
identitas
Berasumsi bahwa konflik disebabkan
oleh identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau
penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan. Sasaran : melalui fasilitas
lokakarya dan dialog antara pihak-pihak yang mengalami konflik, sehingga dapat
mengidentifikasi ancaman dan ketakutan di antara pihak tersebut dan membangun
empati dan rekonsiliasi di antara mereka.
e. Teori
kesalahpahaman antarbudaya
Berasumsi bahwa konflik disebabkan
oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya yang
berbeda. Sasaran : menambah pengetahuan kepada pihak yang berkonflik mengenai
budaya pihak lain, mengurangi streotip negatif yang mereka miliki tentang pihak
lain, meningkatkan keefektifan komunikasi antarbudaya.
f. Teori
transformasi konflik
Berasumsi bahwa konflik disebabkan
oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai
masalah sosial, budaya dan ekonomi. Sasaran : mengubah struktur dan kerangka
kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan termasuk kesenjangan
ekonomi, meningkatkan jalinan hubungan dan sikap jangka panjang di antar pihak
yang berkonflik, mengembangkan proses dan sistem untuk mempromosikan
pemberdayaan, keadilan, perdamaian, pengampunan, rekonsiliasi, pengakuan.[3]
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
Definisi Konflik
Konflik adalah pergesekan atau
friksi yang terekspresikan di antara dua pihak atau lebih, di mana
masing-masing mempersepsi adanya interferensi dari pihak lain, yang dianggap
menghalangi jalan untuk mencapai sasaran. Konflik hanya terjadi bila semua
pihak yang terlibat, mencium adanya ketidaksepakatan. Para pakar ilmu perilaku
organisasi, memang banyak yang memberikan definisi tentang konflik. Robbins,
salah seorang dari mereka merumuskan Konflik sebagai :"sebuah proses
dimana sebuah upaya sengaja dilakukan oleh seseorang untuk menghalangi usaha
yang dilakukan oleh orang lain dalam berbagai bentuk hambatan(blocking) yang
menjadikan orang lain tersebut merasa frustasi dalam usahanya mancapai tujuan
yang diinginkan atau merealisasi minatnya". Dengan demikian yang dimaksud dengan
Konflik adalah proses pertikaian yang terjadi sedangkan peristiwa yang berupa gejolak
dan sejenisnya adalah salah satu manifestasinya.
Dua orang pakar penulis dari Amerika
Serikat yaitu, Cathy AConstantino, dan Chistina Sickles Merchant mengatakan
dengan kata-kata yang lebih sederhana, bahwa konflik pada dasarnya adalah:
"sebuah proses mengekspresikan ketidapuasan, ketidaksetujuan, atau
harapan-harapan yang tidak terealisasi". Kedua penulis tersebut sepakat
dengan Robbins bahwa konflik pada dasarnya adalah sebuah proses. Konflik dapat
diartikan sebagai ketidaksetujuan antara dua atau lebih anggota organisasi atau
kelompok-kelompok dalam organisasi yang timbul karena mereka harus menggunakan sumber
daya yang langka secara bersama-sama atau menjalankan kegiatan bersama-sama dan
atau karena mereka mempunyai status, tujuan, nilai-nilai dan persepsi yang
berbeda.
2.2. Sumber Konflik
Terdapat beberapa hal yang
melatarbelakangi terjadinya konflik. Agus M. Hardjana mengemukakan sepuluh
penyebab munculnya konflik , yaitu:
·
Salah pengertian atau salah paham karena
kegagalan komunikas
·
Perbedaan tujuan kerja karena perbedaan
nilai hidup yang dipegang
·
Rebutan dan persaingan dalam hal yang
terbatas seperti fasilitas kerja dan jabatan
·
Masalah wewenang dan tanggung jawab
·
Penafsiran yang berbeda atas satu hal,
perkara dan peristiwa yang sama
·
Kurangnya kerja sama
·
Tidak mentaati tata tertib dan peraturan
kerja yang ada
·
Ada usaha untuk menguasai dan merugikan
·
Pelecehan pribadi dan kedudukan
·
Perubahan dalam sasaran dan prosedur
kerja sehingga orang menjadi merasa tidak jelas tentang apa yang diharapkan
darinya.
Stoner sendiri menyatakan bahwa penyebab
yang menimbulkan terjadinya konflik adalah :
·
Pembagian sumber daya (shared resources)
·
Perbedaan dalam tujuan (differences in
goals)
·
Ketergantungan aktivitas kerja
(interdependence of work activities)
·
Perbedaan dalam pandangan (differences
in values or perceptions)
·
Gaya individu dan ambiguitas organisasi
(individual style and organizational ambiguities).
Robbins sendiri membedakan sumber
konflik yang berasal dari karakteristik perseorangan dalam organisasi dan
konflik yang disebabkan oleh masalah struktural. Dari sini kemudian Robbins
menarik kesimpulan bahwa ada orang yang mempunyai kesulitan untuk bekerja sama
dengan orang lain dan kesulitan tersebut tidak ada kaitannya dengan kemampuan
kerja atau interaksinya yang formal. Konflik perseorangan ini disebut Robbins
dengan konflik psikologis.
Untuk itulah Robbins kemudian
memusatkan perhatian pada sumber konflik organisasi yang bersifat struktural.
Sumber-sumber konflik yang dimaksudkan Robbins, yaitu:
·
Saling ketergantungan pekerjaan
·
Ketergantungan pekerjaan satu arah
·
Diferensiasi horizontal yang tinggi
·
Formalisasi yang rendah
·
Ketergantungan pada sumber bersama yang
langka
·
Perbedaan dalam kriteria evaluasi dan
sistem imbalan
·
Pengambilan keputusan partisipatif
·
Keanekaragaman anggota
·
Ketidaksesuaian status
·
Ketakpuasan peran
·
Distorsi komunikasi
2.3. Jenis Konflik
Terdapat berbagai macam jenis
konflik, tergantung pada dasar yang digunakan untuk membuat klasifikasi. Ada
yang membagi konflik berdasarkan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, ada
yang membagi konflik dilihat dari fungsi dan ada juga yang membagi konflik
dilihat dari posisi seseorang dalam suatu organisasi.
a. Konflik
Dilihat dari Posisi Seseorang dalam Struktur Organisasi
Jenis
konflik ini disebut juga konflik intra keorganisasian. Dilihat dari posisi
seseorang dalam struktur organisasi, Winardi membagi konflik menjadi empat
macam. Keempat jenis konflik tersebut adalah sebagai berikut :
·
Konflik vertikal, yaitu konflik yang
terjadi antara karyawan yang memiliki kedudukan yang tidak sama dalam organisasi.
Misalnya, antara atasan dan bawahan.
·
Konflik horizontal, yaitu konflik yang
terjandi antara mereka yang memiliki kedudukan yang sama atau setingkat dalam
organisasi. Misalnya, konflik antar karyawan, atau antar departemen yang
setingkat.
·
Konflik garis-staf, yaitu konflik yang
terjadi antara karyawan lini yang biasanya memegang posisi komando, dengan
pejabat staf yang biasanya berfungsi sebagai penasehat dalam organisasi.
·
Konflik peranan, yaitu konflik yang
terjadi karena seseorang mengemban lebih dari satu peran yang saling
bertentangan.
b. Konflik
Dilihat dari Pihak yang Terlibat di Dalamnya
Berdasarkan
pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik, Stoner membagi konflik menjadi lima
macam , yaitu:
·
Konflik dalam diri individu (conflict
within the individual). Konflik ini terjadi jika seseorang harus memilih tujuan
yang saling bertentangan, atau karena tuntutan tugas yang melebihi batas
kemampuannya. Termasuk dalam konflik individual ini, menurut Altman, adalah
frustasi, konflik tujuan dan konflik peranan .
·
Konflik antar-individu (conflict between
individuals). Terjadi karena perbedaan kepribadian antara individu yang satu
dengan individu yang lain.
·
Konflik antara individu dan kelompok
(conflict between individuals and groups). Terjadi jika individu gagal
menyesuaikan diri dengan norma-norma kelompok tempat ia bekerja.
·
Konflik antar kelompok dalam organisasi
yang sama (conflict among groups in the same organization). Konflik ini terjadi
karena masing-masing kelompok memiliki tujuan yang berbeda dan masing-masing
berupaya untuk mencapainya. Masalah ini terjadi karena pada saat
kelompok-kelompok makin terikat dengan tujuan atau norma mereka sendiri, mereka
makin kompetitif satu sama lain dan berusaha mengacau aktivitas pesaing mereka,
dan karenanya hal ini mempengaruhi organisasi secara keseluruhan .
·
Konflik antar organisasi (conflict among
organizations). Konflik ini terjadi jika tindakan yang dilakukan oleh
organisasi menimbulkan dampak negatif bagi organisasi lainnya. Misalnya, dalam
perebutan sumberdaya yang sama.
c. Konflik
Dilihat dari Fungsi
Dilihat
dari fungsi, Robbins membagi konflik menjadi dua macam, yaitu:
·
Konflik fungsional (Functional Conflict),
Konflik fungsional adalah konflik yang mendukung pencapaian tujuan kelompok,
dan memperbaiki kinerja kelompok.
·
Konflik disfungsional (Dysfunctional
Conflict). Konflik disfungsional adalah konflik yang merintangi pencapaian
tujuan kelompok.
Menurut Robbins, batas yang menentukan
apakah suatu konflik fungsional atau disfungsional sering tidak tegas (kabur).
Suatu konflik mungkin fungsional bagi suatu kelompok, tetapi tidak fungsional
bagi kelompok yang lain. Begitu pula, konflik dapat fungsional pada waktu
tertentu, tetapi tidak fungsional di waktu yang lain. Kriteria yang membedakan
apakah suatu konflik fungsional atau disfungsional adalah dampak konflik
tersebut terhadap kinerja kelompok, bukan pada kinerja individu. Jika konflik
tersebut dapat meningkatkan kinerja kelompok, walaupun kurang memuaskan bagi
individu, maka konflik tersebut dikatakan fungsional. Demikian sebaliknya, jika
konflik tersebut hanya memuaskan individu saja, tetapi menurunkan kinerja
kelompok maka konflik tersebut disfungsional .
2.4. Strategi Mengatasi Konflik
Menurut Stevenin (2000, pp.134-135),
terdapat lima langkah meraih kedamaian dalam konflik. Apa pun sumber
masalahnya, lima langkah berikut ini bersifat mendasar dalam mengatasi
kesulitan:
a. Pengenalan
Kesenjangan
antara keadaan yang ada diidentifikasi dan bagaimana keadaan yang seharusnya.
Satu-satunya yang menjadi perangkap adalah kesalahan dalam mendeteksi (tidak
mempedulikan masalah atau menganggap ada masalah padahal sebenarnya tidak ada).
b. Diagnosis
Inilah
langkah yang terpenting. Metode yang benar dan telah diuji mengenai siapa, apa,
mengapa, dimana, dan bagaimana berhasil dengan sempurna. Pusatkan perhatian
pada masalah utama dan bukan pada hal-hal sepele.
c. Menyepakati
suatu solusi
Kumpulkanlah
masukan mengenai jalan keluar yang memungkinkan dari orang-orang yang terlibat
di dalamnya. Saringlah penyelesaian yang tidak dapat diterapkan atau tidak
praktis. Jangan sekali-kali menyelesaikan dengan cara yang tidak terlalu baik.
Carilah yang terbaik.
d. Pelaksanaan
Ingatlah
bahwa akan selalu ada keuntungan dan kerugian. Hati-hati, jangan biarkan
pertimbangan ini terlalu mempengaruhi pilihan dan arah kelompok.
e. Evaluasi
Penyelesaian
itu sendiri dapat melahirkan serangkaian masalah baru. Jika penyelesaiannya
tampak tidak berhasil, kembalilah ke langkah-langkah sebelumnya dan cobalah
lagi.
Stevenin (1993 : 139-141) juga
memaparkan bahwa ketika mengalami konflik, ada hal-hal yang tidak boleh
dilakukan di tengah-tengah konflik, yaitu:
Ø Jangan
hanyut dalam perebutan kekuasaan dengan orang lain. Ada pepatah dalam
masyarakat yang tidak dapat dipungkiri, bunyinya: bila wewenang bertambah maka
kekuasaan pun berkurang, demikian pula sebaiknya.
Ø Jangan
terlalu terpisah dari konflik. Dinamika dan hasil konflik dapat ditangani
secara paling baik dari dalam, tanpa melibatkan pihak ketiga.
Ø Jangan
biarkan visi dibangun oleh konflik yang ada. Jagalah cara pandang dengan
berkonsentrasi pada masalah-masalah penting. Masalah yang paling mendesak belum
tentu merupakan kesempatan yang terbesar.
2.4.1. Strategi Mengatasi Konflik
Antar Pribadi (Interpersonal Conflict)
Menurut Wijono (1993 : 66-112),
untuk mengatasi konflik dalam diri individu diperlukan paling tidak tiga
strategi yaitu:
Ø Strategi
Kalah-Kalah (Lose-Lose Strategy)
Beorientasi
pada dua individu atau kelompok yang sama-sama kalah. Biasanya individu atau
kelompok yang bertikai mengambil jalan tengah (berkompromi) atau membayar
sekelompok orang yang terlibat dalam konflik atau menggunakan jasa orang atau
kelompok ketiga sebagai penengah. Dalam strategi kalah-kalah, konflik bisa
diselesaikan dengan cara melibatkan pihak ketiga bila perundingan mengalami
jalan buntu. Maka pihak ketiga diundang untuk campur tangan oleh pihak-pihak
yang berselisih atau barangkali bertindak atas kemauannya sendiri. Ada dua tipe
utama dalam campur tangan pihak ketiga yaitu:
1. Arbitrasi
(Arbitration)
Arbitrasi merupakan
prosedur di mana pihak ketiga mendengarkan kedua belah pihak yang berselisih,
pihak ketiga bertindak sebagai hakim dan penengah dalam menentukan penyelesaian
konflik melalui suatu perjanjian yang mengikat.
2. Mediasi
(Mediation)
Mediasi dipergunakan
oleh Mediator untuk menyelesaikan konflik tidak seperti yang diselesaikan oleh
abriator, karena seorang mediator tidak mempunyai wewenang secara langsung
terhadap pihak-pihak yang bertikai dan rekomendasi yang diberikan tidak
mengikat.
Ø Strategi
Menang-Kalah (Win-Lose Strategy)
Dalam
strategi saya menang anda kalah (win lose strategy), menekankan adanya salah
satu pihak yang sedang konflik mengalami kekalahan tetapi yang lain memperoleh
kemenangan. Beberapa cara yang digunakan untuk menyelesaikan konflik dengan
win-lose strategy (Wijono, 1993 : 44), dapat melalui :
1. Penarikan
diri, yaitu proses penyelesaian konflik antara dua atau lebih pihak yang kurang
puas sebagai akibat dari ketergantungan tugas (task independence).
2. Taktik-taktik
penghalusan dan damai, yaitu dengan melakukan tindakan perdamaian dengan pihak
lawan untuk menghindari terjadinya konfrontasi terhadap perbedaan dan kekaburan
dalam batas-batas bidang kerja (jurisdictioanal ambiquity).
3. Bujukan,
yaitu dengan membujuk pihak lain untuk mengubah posisinya untuk mempertimbangkan
informasi-informasi faktual yang relevan dengan konflik, karena adanya
rintangan komunikasi (communication barriers).
4. Taktik
paksaan dan penekanan, yaitu menggunakan kekuasaan formal dengan menunjukkan
kekuatan (power) melalui sikap otoriter karena dipengaruhi oleh sifat-sifat
individu (individual traits).
5. Taktik-taktik
yang berorientasi pada tawar-menawar dan pertukaran persetujuan sehingga
tercapai suatu kompromi yang dapat diterima oleh dua belah pihak, untuk
menyelesaikan konflik yang berkaitan dengan persaingan terhadap sumber-sumber
(competition for resources) secara optimal bagi pihak-pihak yang
berkepentingan.
Ø Strategi
Menang-Menang (Win-Win Strategy)
Penyelesaian
yang dipandang manusiawi, karena menggunakan segala pengetahuan, sikap dan
keterampilan menciptakan relasi komunikasi dan interaksi yang dapat membuat
pihak-pihak yang terlibat saling merasa aman dari ancaman, merasa dihargai,
menciptakan suasana kondusif dan memperoleh kesempatan untuk mengembangkan
potensi masing-masing dalam upaya penyelesaian konflik. Jadi strategi ini
menolong memecahkan masalah pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, bukan
hanya sekedar memojokkan orang. Strategi menang-menang jarang dipergunakan
dalam organisasi dan industri, tetapi ada 2 cara didalam strategi ini yang
dapat dipergunakan sebagai alternatif pemecahan konflik interpersonal yaitu:
1. Pemecahan
masalah terpadu (Integrative Problema Solving) Usaha untuk menyelesaikan secara
mufakat atau memadukan kebutuhan-kebutuhan kedua belah pihak.
2. Konsultasi
proses antar pihak (Inter-Party Process Consultation) Dalam penyelesaian
melalui konsultasi proses, biasanya ditangani oleh konsultan proses, dimana
keduanya tidak mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan konflik dengan
kekuasaan atau menghakimi salah satu atau kedua belah pihak yang terlibat
konflik
2.4.2. Strategi Mengatasi Konflik
Organisasi (Organizational Conflict)
Menurut Wijono (1993, pp.113-125),
ada beberapa strategi yang bisa dipakai untuk mengantisipasi terjadinya konflik
organisasi diantaranya adalah:
Ø Pendekatan
Birokratis (Bureaucratic Approach)
Konflik
muncul karena adanya hubungan birokratis yang terjadi secara vertikal dan untuk
menghadapi konflik vertikal model ini, manajer cenderung menggunakan struktur
hirarki (hierarchical structure) dalam hubungannya secara otokritas. Konflik
terjadi karena pimpinan berupaya mengontrol segala aktivitas dan tindakan yang
dilakukan oleh bawahannya. Strategi untuk pemecahan masalah konflik seperti ini
biasanya dipergunakan sebagai pengganti dari peraturan-peraturan birokratis
untuk mengontrol pribadi bawahannya. Pendekatan birokratis (Bureaucratic
Approach) dalam organisasi bertujuan mengantisipasi konflik vertikal (hirarkie)
didekati dengan cara menggunakan hirarki struktural (structural hierarchical).
Ø Pendekatan
Intervensi Otoritatif Dalam Konflik Lateral (Authoritative Intervention in
Lateral Conflict). Bila terjadi konflik lateral, biasanya akan diselesaikan
sendiri oleh pihak-pihak yang terlibat konflik. Kemudian jika konflik tersebut
ternyata tidak dapat diselesaikan secara konstruktif, biasanya manajer langsung
melakukan intervensi secara otoratif kedua belah pihak.
Ø Pendekatan
Sistem (System Approach)
Model
pendekatan perundingan menekankan pada masalah-masalah kompetisi dan model
pendekatan birokrasi menekankan pada kesulitan-kesulitan dalam kontrol, maka
pendekatan sistem (system Approach) adalah mengkoordinasikan masalah-masalah
konflik yang muncul. Pendekatan ini menekankan pada hubungan lateral dan
horizontal antara fungsi-fungsi pemasaran dengan produksi dalam suatu
organisasi.
Ø Reorganisasi
Struktural (Structural Reorganization)
Cara
pendekatan dapat melalui mengubah sistem untuk melihat kemungkinan terjadinya
reorganisasi struktural guna meluruskan perbedaan kepentingan dan tujuan yang
hendak dicapai kedua belah pihak, seperti membentuk wadah baru dalam organisasi
non formal untuk mengatasi konflik yang berlarut-larut sebagai akibat adanya
saling ketergantungan tugas (task interdependence) dalam mencapai kepentingan
dan tujuan yang berbeda sehingga fungsi organisasi menjadi kabur.[4]
BAB
III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Kehadiran
konflik dalam suatu organisasi tidak dapat dihindarkan tetapi hanya dapat
diminimalisir. Konflik dalam organisasi dapat terjadi antara individu dengan
individu, baik individu pimpinan maupun individu karyawan, konflik individu
dengan kelompok maupun konflik antara kelompok tertentu dengan kelompok yang
lain. Tidak semua konflik merugikan organisasi. Konflik yang ditata dan
dikendalikan dengan baik dapat berujung pada keuntungan organisasi sebagai
suatu kesatuan, sebaliknya apabila konflik tidak ditangani dengan baik serta
mengalami eskalasi secara terbuka dapat merugikan kepentingan organisasi.
3.2.
Saran
1. Konflik
dapat terjadi dalam organisasi apapun. Untuk itulah manajer atau pimpinan dalam
organisasi harus mampu mengelola konflik yang terdapat dalam organisasi secara
baik agar tujuan organisasi dapat tercapai tanpa hambatan-hambatan yang
menciptakan terjadinya konflik.
2. Manajer
atau pimpinan harus mampu mendiagnosis sumber konflik serta memilih strategi
pengelolaan konflik yang sesuai sehingga diperoleh solusi tepat atas konflik
tersebut. Dengan pola pengelolaan konflik yang baik maka akn diperoleh
pengalaman dalam menangani berbagai macam konflik yang akan selalu terus
terjadi dalam organisasi.
Daftar
Pustaka
http://novelarannie.blogspot.com/2012/11/manajemen-konflik.html
http://sopsikil.blogspot.com/2012/12/bab-i-pendahuluan-a.html
http://jurnal-sdm.blogspot.com/2010/04/manajemen-konflik-definisi-ciri-sumber.html
Umam
Khaerul. 2008. Perilaku Organisasi. Bandung. Pustaka Setia
[1]
http://jurnal-sdm.blogspot.com/2010/04/manajemen-konflik-definisi-ciri-sumber.html
[2]
http://jurnal-sdm.blogspot.com/2010/04/manajemen-konflik-definisi-ciri-sumber.html
[3]
http://novelarannie.blogspot.com/2012/11/manajemen-konflik.html
[4]
http://jurnal-sdm.blogspot.com/2010/04/manajemen-konflik-definisi-ciri-sumber.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar