BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang sering ditemukan
permasalahan teknis yang perlu dicarikan upaya pemecahannya. Permasalahan
teknis tersebut menjadi semakin nyata, ketika Kabupaten Bandung sebagai
Kabupaten yang secara ekonomi berkembang sangat cepat, membutuhkan alokasi
kegiatan yang mengarah ke lokasi-lokasi yang dapat memberikan keuntungan
tertinggi, sehingga lahan-lahan strategis akan lebih berpeluang mengalami
proses perubahan pemanfaatan lahan/ruang. Adapun pemanfaatan lahan/ruang yang
tidak sesuai dengan peruntukkannya ini seringkali menimbulkan berbagai
persoalan dan konflik antar pihak dengan berbagai kepentingan, dan masyarakat
umum seringkali menderita akibat dampak negatif suatu perubahan pemanfaatan
lahan/ruang.
Kedudukan lahan/ruang menjadi penting artinya karena
merupakan unsur pokok sistem tata ruang. Pentingnya pengaturan lahan/ruang ini
dikarenakan sifat dari
penggunahan
lahan itu sendiri yang “tidak dapat balik” (irreversible). Penggunaan yang
tidak dapat balik tidak memungkinkan untuk mengembalikkannya kepada penggunan
semula. Perkotaan-perkotaan, kawasan industri, bendungan, pertambangan, dan
lain-lain, adalah sebagian contoh penggunaan yang tidak dapat balik. Meskipun
di antaranya mungkin dapat diubah, akan tetapi hal itu akan menyangkut
perubahan yang mendasar atau biaya yang terlalu besar. Oleh karenanya,
diperlukan sekali pengaturan kegiatan atau penyusunan pedoman penataan lahan.
Persoalan tersebut di atas juga terjadi karena belum
tersedianya ketentuan yang lengkap dan rinci yang mengatur kegiatan atau
pembangunan pada pemanfaatan ruang tertentu. Oleh karena itu, diperlukan acuan
untuk mengarahkan pemanfaatan ruang agar sesuai dengan kaidah perencanaan.
Acuan ini diharapkan menjadi aturan lebih lanjut mengenai pemanfaatan ruang dan
prosedur pelaksanaan pembangunan yang dapat berfungsi sebagai instrumen
pengendalian pembangunan, berupa pedoman
untuk
menyusun rencana yang lebih detail/rinci serta sebagai panduan teknis pengembangan/pemanfaatan
lahan. Penyusunan pedoman pemanfaatan ruang ini sekaligus untuk menjamin
terpeliharanya kualitas minimum ruang sesuai standar normatif perencanaan.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
Gambaran Umum Kab. Bandung dan Pemerintahan Kabupaten Bandung?
2. Bagaimana
Mekanisme Perencanaan Kabupaten Bandung?
1.3. Tujuan Penulisan
1. Untuk
Mengetahui Gambaran Umum Kab. Bandung dan Pemerintah Kabupaten Bandung
2. Memahami
Mekanisme Perencanaan di Kabupaten Bandung
BAB II
GAMBARAN UMUM
2.1. Sejarah Kabupaten Bandung
Kabupaten
Bandung lahir melalui Piagam Sultan Agung Mataram, yaitu pada tanggal 9 bulan
Muharram tahun Alif atau sama dengan hari sabtu tanggal 20 April 1641 Masehi. Bupati
pertamanya adalah Tumenggung
Wiraangunangun (1641-1681 M). Dari bukti sejarah tersebut ditetapkan bahwa
20 April sebagai Hari Jadi Kabupaten Bandung. Jabatan bupati kemudian
digantikan oleh Tumenggung Nyili salah seorang putranya. Namun Nyili tidak lama
memegang jabatan tersebut karena mengikuti Sultan Banten. Jabatan
bupati kemudian dilanjutkan oleh Tumenggung Ardikusumah, seorang Dalem
Tenjolaya (Timbanganten) pada tahun 1681-1704.
Selanjutnya
kedudukan Bupati Kabupaten Bandung dari R. Ardikusumah diserahkan kepada
putranya R. Ardisuta yang diangkat tahun 1704 setelah Pemerintah
Hindia
Belanda mengadakan pertemuan dengan para bupati se-Priangan di Cirebon. R.
Ardisuta (1704-1747) terkenal dengan
nama Tumenggung Anggadiredja I setelah wafat dia sering disebut Dalem Gordah.
sebagai penggantinya diangkat putra tertuanya Demang Hatapradja yang bergelar
Anggadiredja II (1707-1747).
Pada masa
Pemerintahan Anggadiredja III (1763-1794)
Kabupaten Bandung disatukan dengan Timbanganten, bahkan pada tahun 1786 dia memasukkan
Batulayang ke dalam pemerintahannya. Juga pada masa Pemerintahan Adipati
Wiranatakusumah II (1794-1829) inilah ibu kota
Kabupaten Bandung dipindahkan dari Karapyak (Dayeuhkolot) ke tepi sungai Cikapundung atau
alun-alun Kota Bandung sekarang. Pemindahan ibu kota itu atas
dasar perintah dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda Daendels
tanggal 25 Mei
1810, dengan alasan
daerah baru tersebut dinilai akan memberikan prospek yang lebih baik terhadap
perkembangan wilayah tersebut.
Setelah
kepala pemerintahan dipegang oleh Bupati Wiranatakusumah IV (1846-1874), ibu kota
Kabupaten Bandung berkembang pesat dan beliau dikenal sebagai bupati yang
progresif. Dialah peletak dasar master plan Kabupaten Bandung, yang
disebut Negorij Bandoeng. Tahun 1850 dia mendirikan pendopo Kabupaten Bandung
dan Mesjid Agung. Kemudian dia memprakarsai pembangunan Sekolah Raja
(Pendidikan Guru) dan mendirikan sekolah untuk para menak (Opleiding School
Voor Indische Ambtenaaren). Atas jasa-jasanya dalam membangun Kabupaten Bandung
di segala bidang beliau mendapatkan penghargaan dari Pemerintah Hindia Belanda
berupa Bintang Jasa, sehingga masyarakat menjulukinya dengan sebutan Dalem
Bintang.
Di masa
pemerintahan R. Adipati Kusumahdilaga, rel kereta api mulai dibangun, tepatnya
tanggal 17 Mei
1884. Dengan
masuknya rel kereta api ini ibu kota Bandung kian ramai. Penghuninya bukan
hanya pribumi, bangsa Eropa, dan Cina pun mulai menetap di ibu kota, dampaknya
perekonomian Kota Bandung semakin maju. Setelah wafat penggantinya diangkat
R.A.A. Martanegara, bupati inipun terkenal sebagai perencana kota yang
jempolan. Martanegara juga dianggap mampu menggerakkan rakyatnya untuk
berpartisipasi aktif dalam menata wilayah kumuh menjadi permukiman yang nyaman.
Pada masa pemerintahan R.A.A. Martanegara (1893-1918) ini atau tepatnya
pada tanggal 21 Februari 1906, Kota Bandung sebagai ibu kota Kabupaten Bandung berubah
statusnya menjadi Gemente (Kotamadya) R. A. A. Wiranatakoesoema V (Dalem Haji,
masa jabatan 1912-1931 dan 1935-1945) sebagai wakil Volksraad
di Congres van Prijaji-Bond (Kongres Perhimpunan Priyayi) di Surakarta tahun
1929
Periode
selanjutnya Bupati Bandung dijabat oleh Aria Wiranatakusumah V (Dalem Haji)
yang menjabat selama 2 periode, pertama tahun 1912-1931 sebagai bupati
yang ke-12 dan berikutnya tahun 1935-1945
sebagai bupati yang ke-14. Pada periode tahun 1931-1935 R.T. Sumadipradja
menjabat sebagai Bupati ke-13. Selanjutnya bupati ke-15 adalah R.T.E.
Suriaputra (1945-1947) dan penggantinya
adalah R.T.M. Wiranatakusumah VI alias Aom Male (1948-1956), kemudian diganti
oleh R. Apandi Wiriadipura sebagai bupati ke-17 yang dijabatnya hanya 1 tahun (1956-1957).
Bupati
berikutnya adalah Letkol. R. Memet Ardiwilaga (1960-1967). Kemudian pada
masa transisi (Orde Lama ke Orde Baru)
dilanjutkan oleh Kolonel Masturi. Pada masa Pimpinan Kolonel R.H. Lily Sumantri
tercatat peristiwa penting yaitu rencana pemindahan ibu kota Kabupaten Bandung
yang semula berada di Kotamadya Bandung ke Wilayah Hukum Kabupaten Bandung,
yaitu daerah Baleendah. Peletakan batu pertamanya pada
tanggal 20
April 1974,
yaitu pada saat Hari Jadi Kabupaten Bandung yang ke-333. Rencana pemindahan ibu
kota tersebut berlanjut hingga jabatan bupati dipegang oleh Kolonel R. Sani
Lupias Abdurachman (1980-1985).
Atas
pertimbangan secara fisik geografis, daerah Baleendah tidak memungkinkan untuk
dijadikan sebagai ibu kota kabupaten, maka ketika jabatan bupati dipegang oleh
Kolonel H.D. Cherman Affendi (1985-1990),
ibu kota Kabupaten Bandung pindah ke lokasi baru yaitu Kecamatan Soreang.
Di tepi Jalan Raya Soreang, tepatnya di Desa Pamekaran inilah dibangun Pusat
Pemerintahan Kabupaten Bandung seluas 24 hektare, dengan menampilkan arsitektur
khas gaya Priangan. Pembangunan perkantoran yang belum rampung seluruhnya
dilanjutkan oleh bupati berikutnya yaitu Kolonel H.U. Djatipermana, sehingga pembangunan
tersebut memerlukan waktu sejak tahun 1990 hingga 1992.
Tanggal 5
Desember 2000, Kolonel H. Obar Sobarna, S.I.P. terpilih oleh DPRD Kabupaten
Bandung menjadi Bupati Bandung dengan didampingi oleh Drs. H. Eliyadi
Agraraharja sebagai Wakil Bupati. Sejak itu, Soreang betul-betul difungsikan
menjadi pusat pemerintahan. Pada tahun 2003 semua aparat daerah, kecuali Dinas
Pekerjaan Umum, Dinas Perhubungan, Dinas Kebersihan, Kantor BLKD, dan Kantor
Diklat, sudah resmi berkantor di kompleks perkantoran Kabupaten Bandung. Pada
periode pemerintahan Obar Sobarna, yang pertama dibangun adalah Stadion
Olahraga , yakni Stadion Si Jalak Harupat. Stadion ini
merupakan stadion bertaraf internasional yang menjadi kebanggaan masyarakat
Kabupaten Bandung. Selain itu, berdasarkan aspirasi masyarakat yang diperkuat
oleh Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, Kota Administratif Cimahi berubah
status menjadi kota otonom.
Tanggal 5
Desember 2005, Obar Sobarna menjabat Bupati Bandung untuk kali kedua didampingi
oleh H. Yadi Srimulyadi sebagai wakil bupati, melalui proses pemilihan
langsung. Di masa pemerintahan yang kedua ini, berdasarkan dinamika masyarakat
dan didukung oleh hasil penelitian dan pengkajian dari 5 perguruan tinggi,
secara yuridis terbentuklah Kabupaten Bandung Barat bersamaan dengan
keluarnya Undang-Undang
Nomor 12 tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Bandung Barat di Provinsi
Jawa Barat. Ibu kota Kabupaten Bandung Barat terletak di Kecamatan Ngamprah). Bupati Bandung Barat masa
jabatan 2008-2013 adalah Abubakar.[1]
2.2. Keadaan Geografis dan
Demografis Kabupaten Bandung
2.2.1. Aspek Geografis
Kondisi geografis wilayah Kabupaten Bandung yang terletak
pada koordinat 1070 22' - 1080 - 50 Bujur Timur
dan 60 41' - 70 19' Lintang Selatan terletak di wilayah
dataran tinggi. Luas wilayah keseluruhan Kabupaten Bandung 176.238,67 Ha,
sebagian besar wilayah Bandung berada diantara bukit-bukit dan gunung-gunung
yang mengelilingi Kabupaten Bandung, seperti disebelah utara terletak
Bukittunggul dengan tinggi 2.200 m, Gunung Tangkuban Parahu dengan tinggi 2.076
m yang berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Purwakarta dan
di sebelah selatan terdapat Gunung Patuha dengan tinggi 2.334 m, Gunung Malabar
dengan tinggi 2.321 m, serta Gunung Papandayan dengan tinggi 2.262 m dan Gunung
Guntur dengan tinggi 2.249 m, keduanya di perbatasan dengan Kabupaten Garut.
Batas wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Bandung adalah :
ü Sebelah utara berbatasan dengan
Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung, dan Kabupaten Sumedang;
ü Sebelah timur berbatasan dengan
Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut;
ü Sebelah selatan berbatasan dengan
Kabupaten Garut dan Kabupaten Cianjur;
- Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung dan Kota Cimahi.
- Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung dan Kota Cimahi.
Dengan Morfologi wilayah pegunungan dengan rata-rata kemiringan lereng antara 0-8 %, 8-15 % hingga di atas 45 %. Kabupaten Bandung beriklim tropis yang dipengaruhi oleh iklim muson dengan curah hujan rata-rata antara 1.500 mm sampai dengan 4.000 mm per tahun. Suhu udara berkisar antara 120 C sampai 240 C dengan kelembaban antara 78 % pada musim hujan dan 70 % pada musim kemarau.[2]
2.2.2. Aspek Demografis
Dari
sisi demografis, jumlah penduduk Kabupaten Bandung lk. 3.215.548 jiwa pada
tahun 2010 (Data BPS 2010), terdiri dari laki-laki sebanyak 1.638.623 jiwa
(50,96 %) dan perempuan sebanyak 1.576.925 jiwa (49,04 %). Jumlah ini meningkat
1,35 % dibandingkan tahun 2009, di mana pada tahun 2009 jumlah penduduk
Kabupaten Bandung mencapai lk 3.172.860 jiwa, terdiri atas : laki-laki
1.590.399 jiwa (50,13 %) dan perempuan 1.582.461 jiwa (49,87 %). Jika dilihat
dari komposisi penduduk berdasarkan kelompok umur pada tahun 2010, jumlah
penduduk kelompok umur produktif (15-64 tahun) mencapai 64,89 %, jumlah
penduduk kelompok umur muda (0-14 tahun) mencapai 31,17 % dan jumlah penduduk
kelompok umur tua (65 tahun ke atas) mencapai 3,94 %. Jumlah penduduk kelompok
umur produktif (15-64 tahun) mengalami penurunan sebesar 2,25 %, demikian pula
dengan jumlah penduduk kelompok umur tua (65 tahun ke atas) menurun 0,44 %,
sedangkan jumlah penduduk kelompok umur muda (0-14 tahun) meningkat 2,69 %.
Dari jumlah penduduk tersebut di atas, terdapat angka beban ketergantungan (dependency ratio) sebesar 54,10 %, ini artinya pada setiap 100 penduduk produktif harus menanggung lk. 54 orang penduduk tidak produktif. Jika dibandingkan dengan tahun 2009, dependency ratio pada tahun 2010 mengalami peningkatan sebesar 5,15 poin, sedangkan dependency ratio pada tahun 2009 sebesar 48,95 %. Angka Ketergantungan (dependency ratio) diharapkan dapat diturunkan pada tahun-tahun mendatang, dengan meningkatkan Daya saing dan Sumber Daya Manusia Masyarakat Kabupaten Bandung.[3]
Dari jumlah penduduk tersebut di atas, terdapat angka beban ketergantungan (dependency ratio) sebesar 54,10 %, ini artinya pada setiap 100 penduduk produktif harus menanggung lk. 54 orang penduduk tidak produktif. Jika dibandingkan dengan tahun 2009, dependency ratio pada tahun 2010 mengalami peningkatan sebesar 5,15 poin, sedangkan dependency ratio pada tahun 2009 sebesar 48,95 %. Angka Ketergantungan (dependency ratio) diharapkan dapat diturunkan pada tahun-tahun mendatang, dengan meningkatkan Daya saing dan Sumber Daya Manusia Masyarakat Kabupaten Bandung.[3]
2.3. Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Kabupaten
bandung
2.3.1. Struktur Organisasi Pemerintah Kabupaten Bandung
Gambar
bagan Struktur Organisasi Perangkat daerah kabupaten Bandung
2.3.2. Tata Kerja Pemerintah Kabupaten
Bandung
Tata kerja
pemerintah kabupaten Bandung menurut Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Barat Nomor 3 Tahun 2012 tentang Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten
Bandung Bab XV Tata Kerja Pasal 75 adalah sebagai berikut :
1. Setiap
pimpinan satuan organisasi dalam melaksanakan tugas pokok baik teknis
operasional mupun teknis administratif berada dibawah dan bertanggung jawab
kepada Bupati melalui Sekretaris daerah
dan dalam melaksanakan tugas pokoknya menyelenggarakan hubungan fungsional
dengan instansi lain yang berkaitan dengan fungsinya.
2. Dalam
melaksanakan tugasnya setiap pemimpin satuan organisasi wajib menerapkan
prinsip-prinsip koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan simplifikasi.
3. Setiap
pimpinan satuan organisasi wajib memimpin dan memberikan bimbingan serta
petunjuk pelaksanaan tugas kepada bawahan.
4. Pelaksanaan
tugas Unit Pelaksana Teknis Dinas dan Badan yang berada dalam wilayah kerja
kecamatan tertentu secara teknis operasional dikoordinasikan oleh camat secara
teknis fungsional dikoordinasikan oleh perangkat daerah teknis terkait.
BAB III
MEKANISME PERENCANAAN KABUPATEN
BANDUNG
3.1. Dasar Hukum Perencanaan
3.1.1. Dasar Hukum Perencanaan
Pusat
Perencanaan tata ruang wilayah adalah suatu proses yang
melibatkan banyak pihak dengan tujuan agar penggunaan ruang itu memberikan
kemakmuran yang sebesar-besarnya kepada masyarakat dan terjaminnya kehidupan
yang berkesinambungan. Penataan ruang menyangkut seluruh aspek kehidupan
sehingga masyarakat perlu mendapat akses dalam proses perencanaan tersebut.
Landasan penataan ruang di Indonesia adalah Undang-undang Penataan Ruang (UUPR)
Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Penataan ruang wilayah dilakukan pada tingkat
nasional (rencana tata ruang wilayah nasional), tingkat provinsi (rencana tata
ruang wilayah provinsi atau disingkat RTRW Provinsi), dan tingkat kabupaten
(RTRW kabupaten).
Tujuan penataan ruang adalah mencipatakan hubungan yang
serasi antara berbagai kegiatan di berbagai subwilayah agar tercipta hubungan
yang harmonis dan searasi. Dengna demikian, hal itu mempercepat proses
tercapainya kemakmuran dan terjaminnya kelestaraian lingkunkgan hidup.
Rencana Tata Ruang Wilayah diatur dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007, tentang Penataan Ruang.[4]
3.1.2.
Dasar Hukum Perencanaan Provinsi Jawa Barat
Dasar hukum
perencanaan tata ruang wilayah provinsi Jawa Barat yaitu Peraturan Daerah Nomor
22 Tahun
2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi.
RTRWP
diselenggarakan berdasarkan asas :
a. Pemanfaatan
untuk semua kepentingan secara terpadu, berdayaguna, dan berhasilguna, serasi,
selaras, seimbang, berbudaya, dan berkelanjutan
b. Kebersamaan,
kemitraan, keadilan, kepastian hukum, dan perlindungan kepentingan umum
c. Keterbukaan,
akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat
Penataan ruang wilayah di daerah bertujuan untuk
mewujudkan tata ruang wilayah yang efisien, berkelanjutan dan berdaya saing
menuju Provinsi Jawa Barat Termaju di Indonesia.
Sasaran penataan ruang di daerah adalah :
a. tercapainya
ruang untuk kawasan lindung seluas 45% dari wilayah Jawa Barat dan tersedianya
ruang untuk ketahanan pangan
b. terwujudnya
ruang investasi melalui dukungan infrastruktur strategis
c. terwujudnya
ruang untuk kawasan perkotaan dan perdesaan dalam sistem wilayah yang
terintegrasi, dan
d. terlaksananya
prinsip mitigasi bencana dalam penataan ruang
3.1.3. Dasar Hukum Perencanaan
Kabupaten Bandung
Pedoman Petunjuk Operasional RTRW Kabupaten Bandung
disusun berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu :
1. Peraturan
Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 1 tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan
Ruang Kawasan Bandung Utara (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2008 Nomor
1 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Nomor 38);
2. Peraturan
Daerah Kabupaten Bandung Nomor 3 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Bandung Tahun 2007 sampai Tahun 2027;
3. Peraturan
Daerah Kabupaten Bandung Nomor 6 Tahun 2004 tentang Transparansi dan
Partisipasi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Kabupaten Bandung (Lembaran
Daerah Tahun 2004 Nomor 29 Seri D);
4. Peraturan
Daerah Kabupaten Bandung Nomor 17 Tahun 2007 tentang Urusan Pemerintah
Kabupaten Bandung (Lembaran Daerah Tahun 2007 Nomor 17);
3.2. Mekanisme Perencanaan di
Kabupaten Bandung
3.2.1. Prinsip musyawarah
perencanaan pembangunan (Musrenbang)
Pada prinsipnya, Musyawarah Rencana
Pembangunan (Musrenbang) merupakan sistem yang melibatkan berbagai kelompok
kepentingan atas proses pembangunan yang sedang dan akan dilakukan oleh
pemerintah.
3.2.2. Tahapan musyawarah
perencanaan pembangunan (Musrenbang)
Untuk memfasilitasi penyelenggaraan
Musrenbang Desa/Kelurahan, kecamatan, Forum SKPD dan/atau Gabungan SKPD, hingga
Musrenbang Kabupaten, adapun pedoman di dalam pelaksanaannya, dengan penjelasan
sebagai berikut :
Tahapan
Persiapan :
1. Penyusunan rancangan awal
Perumusan
rancangan awal merupakan awal dari seluruh proses penyusunan rancangan RKPD
untuk memberikan panduan kepada seluruh SKPD untuk menyusun rancangan Renja
SKPD dan berfungsi sebagai koridor perencanaan pembangunan daerah dalam kurun
waktu satu ahun yang disusun menggunakan pendekatan teknokratis dan
partisipatif. Perumusan rancangan awal RKPD dilakukan melalui serangkaian
kegiatan berikut :
1. Pengolahan data dan informasi
2. Analisis gambaran umum kondisi
daerah
3. Analisis ekonomi dan keuangan daerah
4. Evaluasi kinerja tahun lalu
5. Penelaahan terhadap kebijakan
pemerintah nasional dan provinsi
6. Penelaahan pokok-pokok pikiran DPRD
7. Perumusan permasalahan pembangunan
daerah
8. Perumusan rancangan kerangka ekonomi
dan Kebijakan Keuangan daerah
9. Perumusan prioritas dan sasaran
pembangunan daerah beserta pagu indikatif
10. Perumusan program prioritas beserta
pagu indikatif
11. Pelaksanaan forum konsultasi public,
dan
12. Penyelarasan rencana program
prioritas daerah beserta pagu indikatif
2. Penyusunan jadwal kegiatan
musrenbang
Guna memperoleh kepastian dalam
pengaturan maupun pengelolaan sumber daya, mengingat kegiatan Musrenbang Daerah
Kabupaten merupakan sebuah rangkaian panjang dengan proses yang di dalammnya
melibatkan berbagai pihak, maka perlu disusun dan disepakati jadwal kegiatan
yang dibuat pertahapan, sejak persiapan, forum SKPD I, Musrenbang
Desa/Kelurahan, Kecamatan, Forum SKPD II/Gabungan, hingga Musrenbang Kabupaten.
3. Bimbingan teknis
Merupakan
perbaikan dan penyempurnaan dari pelaksanaan musrenbang sebelumnya, untuk itu
perlu upaya penyamaan persepsi dan pemahaman di kecamatan maupun desa/kelurahan
agar hasil akhirnya sesuai dengan harapan. Guna memperoleh akselerasi termasuk
perlu dilakukan alih pengetahuan dalam bentuk pelatihan, khususnya bagi pihak
yang akan berperan sebagai pelaksana musrenbang, baik di tingkat desa/kelurahan
maupun kecamatan. Peserta bintek terdiri atas utusan kecamatan sebanyak tiga
orang, yaitu Kepala Seksi Pemberdayaan, Kasubag Program serta satu orang dari
unsur publik.
4. Penyiapan administrasi
Guna
memperoleh kejelasan pelaksanaan, berbagai hal terkait dengan fasilitasi
administrasi perlu dipersiapkan dan dilaksanakan.
3.2.3. Musyawarah Perencanaan
Pembangunan Kabupaten (MusrenbangKab)
A.
Pengertian
Musrenbang
Kabupaten adalah musyawarah pemangku kepentingan (stakeholder) di
tingkat Kabupaten untuk
memantapkan Rancangan-RKPD Kabupaten berdasarkan Renja-SKPD hasil Musrenbang
SKPD, dalam rangka memantapkan keserasian antara Renja-SKPD dengan Rancangan
Awal RKPD yang telah disusun oleh Bappeda berdasarkan masukan hasil Musrenbang
desa/kelurahan, kecamatan, hingga SKPD.
Hasil Musrenbang Kabupaten adalah prioritas kegiatan yang
telah dipilah menurut sumber pendanaan dari APBD II, APBD I, dan APBN
selanjutnya menjadi rujukan pada proses penyusunan anggaran tahunan daerah.
RKPD adalah Rencana Kerja Pemerintah Daerah yang diprioritaskan kegiatannya
menjadi rujukan utama penyusunan Rancangan Anggaran Pembangunan dan Belanja
Daerah (RAPBD).
B.
Tujuan
Tujuan umum, mendapatkan
masukan untuk penyempurnaan rancangan awal RKPD yang memuat prioritas
pembangunan daerah, pagu indikatif pendanaan berdasarkan fungsi SKPD, termasuk
informasi mengenai rencana kegiatan yang pendanaannya bersumber dari APBD II,
APBD I, APBN dan sumber pendanaan lainnya.
Tujuan khusus :
1. Mendapatkan masukan terhadap rancangan awal RKPD
2. Mendapatkan sinkronisasi hasil-hasil Musrenbang
desa/kelurahan, kecamatan, dan forum SKPD untuk menjadi prioritas
program/kegiatan pembangunan Kabupaten
3. Memadukan perencanaan dan penganggaran di tingkat
Kabupaten;
C. Peserta
Peserta adalah pihak-pihak yang telah mengikuti proses
Forum SKPD dan Unsur-unsur lainnya, terdiri dari :
A. Perwakilan
Propinsi
· Ketua
DPRD Propinsi
· Kepala
Bapeda Propinsi
B. Unsur
MUSPIDA Kabupaten
· Bupati
Kabupaten
· Wakil Bupati Kabupaten
· Kepala
Kejaksaan Negeri
· Kepala
Pengadilan Negeri
· Dandim
Kabupaten
· Polres
Kabupaten
C. Unsur
DPRD Kabupaten
· Pimpinan
DPRD Kabupaten
· Ketua-ketua Komisi DPRD (Komisi A, B, C dan D)
· Panitia Anggaran Legislatif Kabupaten
D. Unsur
Pemerintah
· Asisten
Daerah I
· Asisten
Daerah II
· Asisten
Daerah III
· Kepala Badan,
Dinas, dan Kantor di lingkungan Pemda
· Para Kepala Kabag di lingkungan Pemda
· Kantor
Departemen Agama Kabupaten
· Kantor Biro Pusat Statistik (BPS)
· Para Camat di wilayah Kabupaten
E. Unsur
Masyarakat, Perguruan Tinggi, Perusahaan, Kelompok Profesi, LSM, dll
· BUMN
dan BUMD
· Komisi
Transparansi dan Partisipasi Kabupaten
· Ketua
MUI Kabupaten
· KNPI
Kabupaten
· Badan
Narkotika Daerah (BND)
· Akademisi/Perguruan
Tinggi di Kabupaten
· Kelompok Nelayan,Tani dan Pengrajin
· Insan
Pers
· LSM
· Tokoh
masyarakat
F.
Narasumber
· Kepala
Bapeda Provinsi
· Bupati
Kabupaten
· Ketua DPRD Kabupaten
· Kepala DPPK Kabupaten
· Kepala Bappeda Kabupaten
G.
Penyelenggara
· Kepala Bappeda sebagai penanggungjawab
· Pimpinan pelaksana dan beberapa anggota tim penyelenggara
yang berasal dari Bappeda.
D.
Peran dan Fungsi Pelaku Kegiatan
ü Bappeda :
Pada persiapan Musrenbang Kabupaten
1. Membentuk tim penyelenggara Musrenbang Kabupaten
2. Mengkompilasikan prioritas program/kegiatan hasil forum
SKPD
3. Menyusun jadwal dan agenda Musrenbang kabupaten dan
mengumumkan secara terbuka 7 (tujuh) hari sebelum pelaksanaan Musrenbang
Kabupaten
Pada Pelaksanaan
1. Pemaparan draft RKPD dan prioritas kegiatan
pembangunan serta plafon anggaran
2. Pemaparan hasil kompilasi prioritas kegiatan pembangunan
dari Musrenbang SKPD berikut dengan pendanaannya
ü DPRD Kabupaten
1. Menyampaikan Pokok-pokok pikiran DPRD berdasarkan hasil
penyerapan aspirasi masyarakat
2. Melakukan konfirmasi terhadap perencanaan dan
penganggaran
3. Melakukan pengawasan terhadap perencanaan pembangunan
tahunan dikaitkan dengan Renstra/RPJM Daerah dan kinerja pelaksanaan
tahun anggaran
ü SKPD
Memberikan penjelasan dan komentar tentang program serta
kegiatan perencanaan pada Musrenbang Kabupaten sesuai dengan masing-masing
rencana kerja SKPD (bila dibutuhkan).
ü Peserta Lainnya
Memberikan masukan/pendapat/saran (bila dibutuhkan)
E. Mekanisme Pelaksanaan
1.
Materi yang perlu disiapkan
a) Dokumen Renstrada/RPJMD kabupaten
b) Rancangan Awal RKPD
c) Dokumen program/kegiatan yang sedang berjalan dan
program/kegiatan yang telah dilakukan pada tahun sebelumnya
d) Dokumem Rencana Kerja (Renja) SKPD yang sudah
ditetapkan pada saat forum SKPD yang kegiatannya sudah dipilah berdasarkan
sumber pendanaan dari APBD Kabupaten, APBD Propinsi dan APBN.
2.
Tahap Pelaksanaan
2.1 Pleno Awal (pembukaan)
a) Pendaftaran peserta pada hari pelaksanaan Musrenbang
Kabupaten
b) Sambutan Kepala Bapeda Kabupaten tentang laporan
penyelenggaraan Musrenbang Kabupaten
c) Sambutan dari Provinsi
Penyampaian Pokok-pokok pikiran prioritas pembangunan
Propinsi dan bantuan keuangan Propinsi oleh Bappeda Provinsi Sambutan dan pembukaan oleh Bupati Kabupaten
d)
Penyampaian
rancangan awal RKPD oleh Bapeda
e)
Pembagian
kelompok diskusi perbidang :
Kelompok satu : Bidang Sosial Budaya meliputi : Dinas Pendidikan, Dinas
Kesehatan, RSUD, BKBPP, Dinsosdukcasip, Disnaker, Dispopar, BAPPEDA, DPPK,
BKPP, BAPAPSI, BPMPD, BPBD, Sekretaris Daerah, Sekretaris Dewan, Inspektorat,
Kesbangpolinmas, Satpol PP, Kecamatan dan Kelurahan
Kelompok dua : Bidang Ekonomi meliputi : Diskoperindag,
Distanbunhut, Disnakan, BKP3, BPMP, Bagian Perekonomian, Pariwisata,
Ketengalistrikan.
Kelompok tiga : Bidang Fisik meliputi : Dinas Bina Marga, Dispertasih, Dishub dan
BPLH.
2.2 Diskusi Kelompok
Pemaparan
Rancangan Renja setiap SKPD oleh Kepala SKPD yang meliputi :
1. Isue-isue strategis SKPD yang berasal dari Renstrada/RPJM
Kabupaten dan Renstra SKPD
2. Tujuan, indikator pencapaian dan prioritas kegiatan
pembangunan yang akan dimuat dalam Renja SKPD
3. Penyampaian perkiraan kemampuan pendanaan terutama dana
yang berasal dari APBD Kabupaten, APBD Propinsi, APBN maupun sumber pendanaan
lainnya.
Verifikasi
Rancangan Renja SKPD oleh peserta :
1. Menetapkan DSP Pembangunan dari setiap SKPD untuk menjadi
DSP Kabupaten
2. Penyepakatan hasil-hasil Musrenbang Kabupaten
3. Penandatanganan Berita Acara Penetapan (BAP) DSP
pembangunan setiap SKPD.
2.3. Pleno Akhir
1. Membahas pemutakhiran rancangan RKPD kabupaten
2. Penyepakatan hasil musrenbang kabupaten
3. Penutupan oleh Kepala Bapeda
F. Keluaran atau Out
put Musrenbang Kabupaten
Musrenbang kabupaten menghasilkan dokumen :
1. Bahan masukan terhadap RKPD
2. Daftar prioritas kegiatan yang sudah dipilah berdasarkan
sumber pembiayaannya dari APBD II, APBD I, APBN dan pendanaan lainnya.
G. Pendanaan
Musrenbang Kabupaten dilaksanakan dengan didanai oleh
APBD Kabupaten.
3.3. Aplikasi Perencanaan di
Kabupaten Bandung
3.3.1. Pelaksanaan Pembangunan
ü Bangunan
dan Karakteristiknya
Bangunan Konstruksi teknik yang ditanam
atau diletakkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan sebagai wadah
kegiatan manusia.
Bangunan utama (Building, Main) Bangunan
yang merupakan tempat berlangsungnya kegiatan utama/pokok.
Bangunan Sementara (Building, Temporary)
Bangunan sementara yang digunakan sebagai tempat penyimpanan material
konstruksi dan peralatan insidental, serta perlengkapan pembangunan utilitas di
dalam tapak atau fasilitas masyarakat lainnya. Atau bangunan yang digunakan
sementara waktu dalam proses penjualan properti di bagian yang sedang dalam
pembangunan.
Amplop Bangunan Batas maksimum ruang
yang diizinkan untuk dibangun pada suatu tapak atau persil, yang dibatasi oleh
garis-garis sempadan bangunan muka, samping dan belakang, serta bukaan langit
(sky eksposure).
Lantai Dasar (tapak bangunan) Lantai
bangunan yang menempel pada permukaan tanah.
Podium Bagian bangunan yang memiliki
posisi sebagai mimbar, biasanya terletak di bawah bangunan menara. Menara
Bagian dari struktur bangunan yang tinggi, dan memiliki bentuk yang berbeda
dengan bagian bangunan di bawahnya.
Ketinggian Bangunan Jumlah lantai penuh
suatu bangunan dihitung mulai dari lantai dasar sampai lantai tertinggi. Kepejalan
(Bulk) Bangunan Keadaan kepadatan dan bentuk suatu masa bangunan.
Tata Massa Bangunan Bentuk, besaran,
peletakan, dan tampilan bangunan pada suatu persil/tapak yang dikuasai.
Kepadatan Bangunan Jumlah bangunan per
luas area (ha). Bangunan Deret Bangunan dalam suatu perpetakan/persil yang
sisi-sisinya tidak mempunyai jarak bebas samping, dan dinding-dindingnya
digunakan bersama.
Bangunan Tunggal/ Renggang Bangunan
daiam suatu perpetakan/persil yang sisi-sisinya mempunyai jarak bebas dengan
bangunan-bangunan dan batas perpetakan sekitarnya.
Bukaan Langit (Sky exposure) Ruang
bukaan ke arah langit untuk membatasi ketinggian bangunan, dihitung dari as
jalan ke arah persil atau tapak dengan sudut yang ditentukan.
Garis langit (skyline) Garis yang
terbentuk dari ketinggian bangunan-bangunan pada suatu wilayah terbangun.
Garis Sempadan Bangunan Garis maya pada
persil atau tapak sebagai batas minimum diperkenankannya didirikan bangunan,
dihitung dari garis sempadan jalan atau garis sempadan pagar atau batas persil
atau tapak.
Garis Sempadan Jalan Garis rencana jalan
yang ditetapkan dalam rencana Kabupaten.
Garis Sempadan Pagar Garis tempat
berdirinya pagar pada batas persil yang dikuasai. Jarak Bebas Jarak minimum
yang diperkenankan dari bidang terluar bangunan yang bersebelahan atau saling
membelakangi.
ü Pengaturan
Bangunan
Penataan Bangunan Pedoman yang mengatur
besaran petak lahan, koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan,
ketinggian bangunan, ruang luar bangunan, koefisien dasar hijau, orientasi
bangunan, serta ketentuan teknis bangunan.
Building Code Pengaturan pendirian
bangunan, konstruksi, perluasan, perubahan/modifikasi, perbaikan, pelepasan,
pemindahan, penghancuran, konversi, pengisian, penggunaan, kelengkapan bangunan,
ketinggian, area dan pemeliharaan semua bangunan atau struktur bangunan.
Intensitas Pemanfaatan Ruang Besaran
pembangunan yang diperbolehkan untuk fungsi tertentu berdasarkan pengaturan
koefisien lantai bangunan, koefisien dasar bangunan, koefisien dasar hijau,
kepadatan penduduk, dan/atau kepadatan bangunan tiap persil, tapak, blok
peruntukan, atau kawasan Kabupaten sesuai dengan kedudukan dan fungsinya dalam pembangunan
Kabupaten.
KDB (Koefisien Dasar Bangunan} Angka
prosentase berdasarkan perbandingan jumlah luas lantai dasar bangunan terhadap
luas lahan perpetakan/persil yang dikuasai.
KLB (Koefisien Lantai Bangunan) Angka
perbandingan yang dihitung dari jumlah luas lantai seluruh bangunan terhadap
luas lahan perpetakan/persil yang dikuasai.
KDH (Koefisien Dasar Hijau) Angka presentase
berdasarkan perbandingan antara luas lahan terbuka untuk penanaman tanaman dan
atau peresapan terhadap luas persil yang dikuasai
KTB (Koefisien Tapak Besmen) Angka presentase
luas tapak bangunan yang dihitung dari proyeksi dinding terluar bangunan di
bawah permukaan tanah terhadap luas perpetakan/daerah perencanaan yang
dikuasai.
KWT (Koefisien Wilayah Terbangun) Angka
presentase luas kawasan atau blok peruntukan yang terbangun terhadap luas
kawasan atau luas blok peruntukan seluruhnya di dalam suatu kawasan atau blok
peruntukan yang direncanakan. Kedalaman Persil Jarak dari ujung terluar persil
yang menghadap jalan ke ujung terjauh persil tersebut yang membentuk garis
lurus dan bukan garis diagonal.
Pengaturan Pemunduran dan Muka Bangunan (setbacks
dan facade) Keadaan untuk mengatur posisi bangunan terhadap garis sempadan jalan
(streetline)
Pengaturan Bangunan terhadap Cahaya, Matahari
dan Angin Pengaturan bangunan terhadap cahaya matahari dan arah angin bertiup
yang melintasi ruang-ruang kawasan.
ü Pembangunan
dan Penataan Ruang
Ruang Wadah kehidupan yang meliputi
ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah,
tempat manusia dan mahluk lainnya melakukan kegiatan dan memelihara
kelangsungan hidupnya.
Tata ruang Wujud struktural dan pola
pemanfaatan ruang wilayah yang mencakup kawasan lindung dan budidaya, baik
direncanakan maupun tidak, yang menunjukkan hierarki dan keterkaitan
pemanfaatan ruang
Penataan Ruang Proses perencanaan tata
ruang, pemanfaatan (rencana tata) ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Variansi Penataan Ruang Kelonggaran/keluwesan
yang diberikan untuk tidak mengikuti aturan zonasi yang ditetapkan pada suatu
persil tanpa mengubah secara signifikan dari peraturan zonasi yang ditetapkan Rencana
Tata Ruang
Hasil perencanaan tata ruang. RTRW
Nasional Rencana tata ruang dalam wilayah administrasi Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang merupakan strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang
wilayah negara. Rencana tata ruang ini mempunyai tingkat kedalaman setara
dengan tingkat ketelitian peta minimal pada skala 1:1.000.000 dan berjangka
waktu perencanaan 25 tahun.
RTRW Kabupaten Rencana tata ruang
administratif Kota/Kabupaten yang merupakan penjabaran dari RTRW Propinsi yang
meliputi; tujuan pemanfaatan ruang, rencana struktur dan pola pemanfaatan
ruang, rencana umum tata ruang Kota/Kabupaten dan pedoman pengendalian
pemanfaatan ruang wilayah Kota/Kabupaten. RTRW ini disajikan dengan tingkat kedalaman
setara dengan tingkat ketelitian peta pada skala 1:50.000 sampai dengan
1:10.000, berjangka waktu perencanaan 20 tahun.
RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) Produk
rencana tata ruang kawasan dan/atau bagian wilayah Kabupaten yang merupakan
penjabaran lebih rinci dari RTRW
Kabupaten ke dalam rencana struktur dan
alokasi penggunaan ruang sampai kepada blok peruntukan pada tingkat kedalaman/ketelitian
peta sekecil-kecilnya setara dengan skala 1:25.000 pada wilayah Kabupaten
RTRK (Rencana Teknik Ruang Kawasan) Produk
perencanaan tata ruang pada tingkat paling rendah dengan tingkat kedalaman
setara dengan peta skala 1:5000 s/d 1:1.000 yang menunjukan bentuk pengaturan
letak komponen-komponen ruang suatu kawasan pada blok tertentu.
RTBL (Rencana Tata Bangunan dan
Lingkungan) Produk rencana tata ruang yang berisi pengaturan tata bangunan dan lingkungan
dalam bentuk 3 dimensi dengan tingkat kedalaman peta sekecil-kecilnya skala
1:1000 sebagai tahapan lanjut terhadap rencana detail tata ruang.
Peraturan Zonasi (Zoning Regulation) Ketentuan
yang mengatur tentang klasifikasi zona, pengaturan lebih lanjut mengenai
pemanfaatan lahan, dan prosedur pelaksanaan pembangunan. Rangkaian kegiatan
pelaksanaan pembangunan yang Pemanfaatan Ruang memanfaatkan ruang menurut
jangka waktu yang ditetapkan dalam RTRW.
Perubahan Pemanfaatan Ruang Pemanfaatan
ruang yang berbeda dari penggunaan lahan dalam RTRW dan peraturannya, yang
ditetapkan dalam Peraturan Zonasi dan Peta Zonasi. Pemanfaatan Ruang Pelengkap Pengendalian
pemanfaatan ruang Penggunaan lahan atau bangunan, atau sebagian dari padanya,
yang biasanya berhubungan dan/atau bergantung kepada suatu penggunaan utama
lahan atau bangunan yang berada pada persil atau perpetakan yang sama.
Kegiatan yang berkaitan dengan mekanisme
perizinan, pengawasan dan penertiban agar pemanfaatan ruang sesuai dengan
rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
Pembangunan Pengendalian, Pembangunan Pelaksanaan
operasi teknik bangunan, rekayasa bangunan, pertambangan dan operasi lainnya,
di dalam, pada, di atas atau di bawah lahan, atau pembuatan setiap perubahan
penting dalam penggunaan lahan, pemanfaatan bangunan dan pemanfaatan ruang lainnya.
Usaha mengatur kegiatan pembangunan. Perizinan
Izin pemanfaatan ruang. Upaya mengatur kegiatan-kegiatan yang memiliki peluang melanggar
ketentuan perencanaan dan pembangunan serta menimbulkan gangguan bagi
kepentingan umum. Izin yang berkaitan dengan lokasi, kualitas ruang, penggunaan
ruang, intensitas pemanfaatan ruang, ketentuan teknis tata bangunan dan kelengkapan
prasarana yang sesuai dengan peraturan perundangundangan, hukum adat dan
kebiasaan yang berlaku.
Perangkat insentif Perangkat Disentif Pengaturan
yang bertujuan memberikan rangsangan terhadap kegiatan seiring dengan penataan
ruang. Pengaturan yang bertujuan membatasi pertumbuhan atau mengurangi kegiatan
yang tidak sejalan dengan penataan ruang.
Guna Lahan Fungsi dominan dengan
ketentuan khusus yang ditetapkan pada suatu kawasan, blok peruntukan, dan/atau
persil. Prasarana kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan
permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Kepadatan penduduk Jumlah penduduk per
luas area (ha)/km2. Peran masyarakat Berbagai kegiatan orang seorang, kelompok
orang atau badan hukum yang timbul atas kehendak dan keinginan sendiri ditengah
masyarakat untuk berminat dan bergerak dalam penyelenggaraan penataan ruang.
ü Terminologi
Peraturan Zonasi
Daftar Kegiatan Zonasi Suatu daftar yang
berisi rincian kegiatan yang ada, mungkin ada, atau prospektif dikembangkan
pada fungsi suatu zona yang ditetapkan.
Klasifikasi zonasi Pembagian lingkungan
Kabupaten ke dalam zona-zona dan menetapkan pengendalian pemanfaatan
ruang/memberlakukan ketentuan hukum yang berbeda-beda (Barnett, 1982: 60-61;
So, 1979:251).
Jenis dan hirarki zona yang disusun berdasarkan
kajian teoritis, kajian perbandingan, maupun kajian empirik untuk digunakan di
daerah yang disusun Peraturan Zonasinya.
Klasifikasi zonasi merupakan perampatan
(generalisasi) dari kegiatan atau penggunaan lahan yang mempunyai karakter
dan/atau dampak yang sejenis atau yang relatif sama.
Aturan Teknis Zonasi Aturan pada suatu
zonasi yang berisi ketentuan pemanfaatan ruang (kegiatan atau penggunaan lahan,
intensitas pemanfaatan ruang, ketentuan tata massa bangunan, ketentuan
prasarana minimum yan harus disediakan, aturan lain yang dianggap penting, dan
aturan khusus) untuk kegiatan tertentu.
Teknik pengaturan zonasi Berbagai varian
dari zoning konvensional yang dikembangkan untuk memberikan keluwesan penerapan
aturan zonasi.
Variansi pemanfaatan ruang Kelonggaran/keluwesan
yang diberikan untuk tidak mengikuti aturan zonasi yang ditetapkan pada suatu
persil tanpa perubahan berarti (signifikan) dari peraturan zonasi yang
ditetapkan. Aturan Kegiatan dan Penggunaan Lahan Aturan yang berisi kegiatan
yang diperbolehkan, diperbolehkan bersyarat, diperbolehkan terbatas atau
dilarang pada suatu zona.
Peraturan preskriptif Peraturan yang
memberikan ketentuan-ketentuan yang dibuat sangat ketat, rinci dan terukur
sehingga mudah dan jelas untuk diterapkan serta kecil kemungkinan terjadinya
pelanggaran dalam pelaksanaannya.
Peraturan Kinerja Peraturan yang
menyediakan berbagai ukuran serta kriteria kinerja dalam memberikan panduannya,
didasarkan pada kriteria/batasan tertentu sehingga perencana lebih bebas berkreasi
dan berinovasi.
Standar preskriptif Standar yang
memberikan ketentuan-ketentuan yang dibuat sangat ketat, rinci dan terukur
sehingga mudah dan jelas untuk diterapkan serta kecil kemungkinan terjadinya
pelanggaran dalam pelaksanaannya.
Standar kuantitatif Standar yang
menunjukkan aturan secara pasti, meliputi ukuran maksimum atau minimum yang
diperlukan, biasanya mengacu pada kebutuhan minimum dan dapat diperjelas dengan
standar desain.
Standar kinerja Standar yang dirancang
untuk menghasilkan solusi rancangan yang tidak mengatur langkah penyelesaian
secara spesifik (Listokin 1995).
Standar subyektif Standar yang
menggunakan ukuran subyektif/deskriptif sebagai ukuran kinerjanya.
Standar kualitatif Standar yang
menetapkan ukuran kinerja dari suatu kegiatan dengan menggunakan ukuran
maksimum atau minimum. Commercial, Heavy Suatu zona atau kegiatan yang
menggunakan lahan penjualan terbuka, di luar penyimpanan peralatan atau di luar
aktivitas yang menimbulkan kebisingan atau dampak lain yang tidak sesuai dengan
intensitas penggunaan minimal. Jenis usaha di bidang ini antara lain penggergajian
kayu, pelayanan konstruksi, penyediaan peralatan berat atau kontraktor
bangunan.
Commercial Light Suatu zona atau
kegiatan yang terdiri dari penjualan besar dan/atau ritel, penggunaan kantor,
atau pelayanan, yang tidak menimbulkan kebisingan atau dampak lain yang tidak
sesuai dengan intensitas penggunaan minimal. Jenis usaha di bidang ini antara
lain toko eceran (ritel), perkantoran, pelayanan catering atau restauran.
Commercial Center Community, Suatu
pengembangan kawasan komersial yang terencana secara lengkap untuk penjualan
merchandise dan/atau barang-barang pelengkap, serta pelayanannya. Suatu pusat
komersial komunitas harus menyediakan toko-toko kecil, supermarket dll.
Commercial Center Neighborhood, Suatu
pengembangan kawasan komersial yang terencana secara lengkap untuk penjualan
merchandise dan/atau barang-barang pelengkap, serta pelayanannya. Suatu pusat
komersial lingkungan harus menyediakan toko kecil, dengan supermarket sebagai
komponen utamanya.
Commercial Center Convenience, Suatu
pengembangan kawasan komersial yang terencana secara lengkap untuk penjualan
merchandise dan/atau barang-barang pelengkap, serta pelayanannya. Suatu pusat
komersial convenience harus menyediakan cluster kecil untuk toko-toko kelontong
dan pelayanannya
Commercial Center regional, Suatu
pengembangan kawasan komersial yang terencana secara lengkap untuk penjualan
merchandise dan/atau barang-barang pelengkap, serta pelayanannya. Suatu pusat
komersial regional harus menyediakan penjualan merchandise, pakaian, furnitur,
perabot rumah, dan penjualan ritel serta pelayanannya, secara lengkap dan
bervariasi.
Commercial Retail Sales and Services Penetapan
yang melibatkan penjualan barang-barang ritel dan aksesoris, serta kegiatan
pelayanannya. Kegiatan dalam definisi ini mencakup semua yang melakukan
penjualan dan penyimpanan secara keseluruhan. (dengan suatu perkecualian
kegiatan promosi outdoor secara occasional); kegiatan yang mengkhususkan dalam
penjualan merchandise dan barang-barang kelontong.
Conditional Use Penggunaan lahan atau
kegiatan yang sesuai dengan penggunaan lingkungan sekitarnya, melalui aplikasi
dan perawatan kondisi yang memenuhi syarat.
Nonconforming Sign, Suatu ruang area
atau dimensi lain yang tidak sesuai dengan peraturan ketika suatu kode/aturan
tersebut berlaku.
Nonconforming Structure Suatu tanda atau
struktur tanda atau bagian daripadanya yang telah ada dan sesuai aturan ketika
aturan tersebut berlaku, di mana saat ini sudah tidak sesuai lagi dengan aturan
tersebut.
Nonconforming Use Izin yang diberikan
untuk melanjutkan penggunaan lahan, bangunan atau struktur yang telah ada pada
waktu peraturan zonasi ditetapkan dan tidak sesuai dengan peraturan zonasi.
Minor Variance izin untuk bebas dari
aturan standar sebagai upaya untuk menghilangkan kesulitan yang tidak perlu
akibat kondisi fisik lahan (luas, bentuk persil}.
Interim Development izin pembangunan
yang diberikan untuk melaksanakan pembangunan sebagai bagian/tahapan dari
pembangunan secara keseluruhan, misalnya perataan lahan (grading), pematangan lahan
(konstruksi jalan, saluran drainase,dll).
Interim Temporary Use izin penggunaan
lahan sementara yang diberikan untuk jangka waktu tertentu sebelum pemanfaatan
ruang final direalisasikan.
Planned Unit Development (PUD). Suatu
pengembangan kawasan residensial dan komersial yang mengacu kepada rencana
desain total, di mana salah satu atau lebih dari zonasi atau subdivisi
peraturan, selain peraturan penggunaan, bersifat fleksibel, sehingga
diperbolehkan untuk memvariasi sesuai dengan fleksibilitas dan kreativitas
dalam hal desain bangunan dan lokasi, dalam persetujuan dengan ketentuan umum
Plot Plan Spot Zoning, Suatu plot dari
suatu bidang ruang/lahan, digambarkan dalam skala, yang menunjukkan pengukuran
aktual, meliputi ukuran dan lokasi dari semua bangunan atau bangunan yang
didirikan, lokasi lahan, hubungannya dengan pembatasan jalan, dan informasi
sejenis lainnya.
Zoning-zoning kecil yang berlawanan
dengan zoning yang telah ditentukan atau penyimpangan dari rencana komprehensif
(Master Plan), khususnya untuk setiap persil lahan yang mendapat perlakuan khusus
atau memiliki hak istimewa yang tidak sesuai dengan kiasifikasi penggunaan
lahan di sekitarnya tanpa suatu penilaian keadaan sekitarnya.
Up-Zoning Down-Zoning Rezoning Perubahan
kode zonasi ke hirarki yang lebih tinggi, atau ke tingkat yang lebih makro dari
yang ditetapkan dalam peta/peraturan zonasi (misalnya dari perdagangan ke
komersial/bisnis). Perubahan kategori penggunaan lahan ke tingkat yang lebih
mikro (misalnya dari komersial ke jasa hiburan) dari yang ditetapkan dalam peta/peraturan
zonasi. Perubahan peta zoning yang mengubah keseluruhan peruntukan/zonasi satu
blok atau subblok dari zonasi yang kurang intensif menjadi penggunaan yang
lebih intensif (Mandelker, 1993).
ü Lain-lain
Prinsip Perancangan Arahan penataan yang
mengikat berbagai komponen perancangan yang ada dalam kawasan perancangan;
Suatu kebenaran yang digunakan sebagai
dasar untuk menjelaskan dan mewujudkan rancangan yang baik. (W.H. Mayall:
1979);
Gambaran suatu konsepsi atau gagasan
yang mencakup setiap aspek perancangan. ( K.W. Smithies : 1982);
Pokok-pokok ketentuan berupa
pedoman-pedoman perancangan yang didasarkan pada pertimbangan aspek-aspek
normatif, sehingga dapat diterapkan secara generik dimanapun (Shirvani: 1985).
Standar Syarat Suatu spesifikasi teknis
atau sesuatu yang dibakukan, disusun berdasarkan konsensus semua pihak terkait,
dengan memperhatikan syarat-syarat kesehatan, keamanan, keselamatan,
lingkungan, perkembangan IPTEK, pengalaman, perkembangan masa kini dan mendatang
untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya.
Persyaratan teknis, administratif maupun
legal/hukum yang ditentukan sebagai pelengkap diprosesnya suatu permohonan
pembangunan. Dasar Pertimbangan Ketentuan dan norma yang menjadi dasar dalam
pengambilan keputusan dalam pengambilan suatu kebijakan tertentu.
SUTET (Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi)
Saluran tenaga listrik yang menggunakan kawat penghantar di udara bertegangan
di atas 245 kV sesuai dengan standar ketenagalistrikan.
SUTT (Saluran Udara Tegangan Tinggi) Saluran
tenaga listrik yang menggunakan kawat penghantar di udara bertegangan di atas
35kV sampai dengan 245 kV sesuai dengan standar ketenagalistrikan.
Benda Cagar Budaya Situs Benda atau
buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau
kelompok, atau bagian-bagian atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya
50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya
sekurangkurangnya 50 tahun serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah,
ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Lokasi yang mengandung atau diduga
mengandung benda cagar budaya termasuk lingkungannya yang diperlukan bagi pengamanannya.
kriteria Ukuran, prinsip atau standar yang dapat digunakan untuk menilai sesuatu
atau mengambil keputusan.
ü Tujuan
Peraturan Zonasi
Tujuan yang diharapkan dengan adanya peraturan
zonasi ini adalah sebagai
Berikut
:
a. Mengatur
kepadatan penduduk dan intensitas kegiatan, mengatur keseimbangan, keserasian
peruntukan lahan dan menentukan tindak atas suatu satuan ruang.
b. Melindungi
kesehatan, keamanan dan kesejahteraan masyarakat.
c. Mencegah
kesemrawutan, menyediakan pelayanan umum yang memadai, meningkatkan kualitas
lingkungan hidup.
d. Meminimumkan
dampak pembangunan yang merugikan.
e. Memudahkan
pengambilan keputusan secara tidak memihak dan berhasil guna serta mendukung
partisipasi masyarakat.
ü Fungsi
Peraturan Zonasi
Fungsi
dari adanya Peraturan zonasi ini adalah sebagai berikut :
a. Sebagai
pedoman penyusunan rencana operasional.Peraturan Zonasi dapat menjadi jembatan
dalam penyusunan rencana tata ruang yang bersifat operasional, karena memuat
ketentuan-ketentuan tentang perjabaran rencana yang berisifat makro ke dalam
rencana yang bersifat intermediate sampai kepada rencana yang bersifat rinci.
b. Sebagai
panduan teknis pengembangan lahan.
c. Ketentuan-ketentuan
teknis yang menjadi kandungan Peraturan Zonasi, seperti ketentuan tentang
penggunaan rinci, batasan-batasan pengembangan persil dan ketentuan-ketentuan
lainnya menjadi dasar dalam pengembangan dan pemanfaatan lahan.
d. Sebagai
instrumen pengendalian pembangunan
e. Peraturan
Zonasi yang lengkap akan memuat ketentuan tentang prosedur pelaksanaan
pembangunan sampai ke tata cara pengawasannya. Ketentuan-ketentuan yang ada
karena dikemas dalam aturan penyusunan perundang-undangan yang baku dapat
dijadikan landasan dalam penegakan hukum.
Pertimbangan
Penyusunan dan Perumusan Petunjuk Operasional RTRW
ü Aturan
Pola Ruang dalam Pembangunan Wilayah/Kawasan
Pedoman penyusunan rencana tata ruang
kawasan yang terdapat di Indonesia membedakan jenis rencana tata ruang ke dalam
:
a. Rencana
Tata Ruang Wilayah;
b. Rencana
Detail Tata Ruang Kawasan Perkotaan dan perdesaan serta RDTR kawasan strategis;
dan
c. Rencana
Teknik Ruang Kawasan Perkotaan/Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan.
Kendala yang
dihadapi Pemerintah Kabupaten Bandung dengan adanya rencana tata ruang wilayah
secara berjenjang adalah keterbatasan kemampuan di dalam menyusun semua jenjang
rencana serta tidak fleksibelnya rencana tata ruang di dalam menghadapi
perkembangan yang terjadi; termasuk pula di dalam menjembatani rencana-rencana
tata ruang tersebut ke dalam langkah operasional pelaksanaan pembangunan. Untuk
itu diperlukan program tindak pelaksanaan dan pengendaliannya agar sesuai
dengan rencana tata ruang.
Aturan Pola
Ruang ini juga dapat berperan dalam evaluasi perijinan yang ada agar dapat
menyelaraskannya dengan rencana tata ruang. Di dalam kenyataannya, aspek
pelaksanaan dan pengendalian pembangunan wilayah memerlukan pengaturan teknis
yang dapat dipenuhi melalui Aturan Pola Ruang.
Dengan demikian,
fungsi Aturan Pola Ruang di dalam pembangunan wilayah adalah :
a. Sebagai
instrumen pengendali pembangunan (pemberian ijin);
b. Sebagai
pedoman penyusunan rencana tindak operasional (pemanfaatan ruang);
c. Sebagai
panduan teknis pengembangan lahan.
Keterkaitan
penataan ruang baik pada tingkat nasional, provinsi dan Kabupaten/Kota secara
fungsi dan administrasi dapat dilihat pada gambar
3.3.2. Dampak-dampak Dari Tinjauan Menurut Pengamatan
Kegiatan
pembangunan daerah Kabupaten Bandung masih diarahkan pada pemenuhan kebutuhan
dasar masyarakat yang tujuannya meningkatkan angka Indeks Pembangunan Manusia
(IPM), pertimbangan tersebut didasarkan pada arah kebijakan nasional, Propinsi
Jawa Barat, dan kesepakatan antara Gubernur-Bupati. Namun pada kenyataannya
implemetasi dari program-prgram yang dilaksanakan masih jauh dari tujuan
tersebut, bahkan terkesan munculnya ego-sektoral satuan kerja, sehingga
integritas, nilai-nilai akuntabilitas publik, efisiensi, dan efektifitas
kinerja birokrasi jauh dari tuntutan peraturan perundang-undangan.
Permasalahan
ini bisa diakibatkan oleh ketidak padudayaan (sinergis) antara rencana program
pembangunan dengan implemtasi dan target pencapaian; lemahnya pengaturan dan
pengelolaan dalam penggunaan anggaran; lemahnya manajemen perencanaan,
manajemen operasional dan manajemen proyek; lemahnya keterpaduan rekaya teknis
dengan rekayasa sosial; lemahnya monitoring dan evaluasi kegiatan dari lembaga
pengawasan (termasuk legislatif); serta lemahnya keberpihakan (komitmen)
Pemerintah Daerah dan Swasta pada masyarakat dan kemajuan Kabupaten Bandung
Barat.
Permasalahan
sekaligus tantangan yang harus segera dijawab oleh seluruh komponen masyarakat
dan Pemerintahan Kabupaten Bandung seperti tersebut di bawah ini :
1. Dibutuhkan
kesungguhan dan langkah-langkah strategis dalam upaya peningkatan produktivitas
komoditas unggulan daerah di sektor pertanian, peternakan, perikanan dan
perkebunan sebagai potensi pendukung ketahanan pangan
2. Guna
peningkatan PAD dan ekonomi masyarakat, dibutuhkan Revitalisasi agribisnis,
agroindustri, dan pariwisata serta menempatkannya sebagi core bussiness
unggulan
3. Perlu
segera ditangani secara komprehensif permasalahan pengaturan, pengelolaan,
pemeliharaan dan pengembangan infrastruktur wilayah perkotaan dan perdesaan
4. Perlu
langkah-langkah konkret dan positif bagi peningkatan sumberdaya manusia melalui
peningkatan pelayanan pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi
5. Menjadikan
skala prioritas utama bagi pelaksanaan reformasi birokrasi, peningkatan kinerja
aparatur dan penataan organisasi
6. Dibutuhkan
program yang komprehensif, saling terkait, dan berkesinambungan dalam
upaya-upaya peningkatan dan pemerataan pembangunan desa melalui peningkatan
kapasitas pemerintahan desa dan pemberdayaan masyarakat desa
7. Segera
dilaksanakan peningkatan pengendalian dan pemulihan kualitas lingkungan hidup
melalui rakayasa sosial, politik, dan rekayasa teknis guna pelestarian kawasan
lindung dan konservasi, serta pengurangan polusi lingkungan hidup
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Didalam melakukan pembangunan,
setiap Pemerintah Daerah memerlukan perencanaan yang akurat serta diharapkan
dapat melakukan evaluasi terhadap pembangunan yang dilakukannya. Upaya
pembangunan yang terencana dapat dilakukan untuk mencapai tujuan pembangunan
yang dilakukan. Lebih jauh lagi berarti perencanaan yang tepat sesuai dengan
kondisi di suatu wilayah menjadi syarat mutlak dilakukannya usaha pembangunan.
Oleh karena itu kegiatan perencanaan
wilayah harus melibatkan banyak kalangan masyarakat, para tokoh–tokoh
masyarakat untuk ikut serta pada saat proses penyusunan yaitu melalui
Musrenbang sehingga berbagai keinginan yang terdapat dalam masyarakat baik
mengenai sasaran yang ingin dicapai maupun transparansi proses dalam penyusunan
rencana tersebut.
4.2. Saran
a. Pada
saat melakukan perencanaan wilayah memerlukan koordinasi dari semua unsur yang
terlibat dalam rangka menghasilkan sebuah program dan kegiatan yang holistik
dan komprehensif.
b. Selain itu perencanaan wilayah harus mampu
menentukan prioritas program dan kegiatan berdasarkan fakta dan data dari
potensi daerahnya, serta harus mempunyai sumberdaya yang mempunyai kemampuan
yang baik secara interdisipliner, sehingga koordinasi sekali lagi sangat
diperlukan dalam pembuatan sebuah perencanaan pembangunan yang terintegrasi,
tersinkronisasi, dan menyeluruh.
c. Peningkatan kapasitas dan
pengetahuan masyarakat di dalam penyusunan perencanaan pembangunan sebaiknya
dilakukan secara berkesinambungan.
Daftar
Pustaka
RKPD Kabupaten Bandung Tahun 2012
Robinson
Tarigan. 2010. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta : Bumi Aksara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar