Rabu, 01 Januari 2014

Makalah Partisipasi Masyarakat di Daerah

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
            Sebagai warga negara Indonesia yang berdomisili atau bertempat tinggal di suatu daerah, tentu kita mempunyai hak dan kewajiban dalam upaya mendukung suksesnya pembangunan di daerah. Disamping itu warga negara harus tanggap terhadap segala kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan daerah. Hal itu dimaksudkan :
a.       Agar kebijakan pemerintahan didaerah tidak menyompang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku
b.       Agar pemerintahan di daerah sesuai dengan dasar negara pancasila dan UUD 1945
c.       Agar pemerintahan di daerah selalu berpihak pada kepentingan rakyat
            Dukungan warga negara terhadap pemerintahan di daerah dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan, antara lain    :
a.       Mematuhi dan melaksanakan peraturan daerah
b.      Melaksanakan kegiatan keamanan dan ketertiban masyarakat
c.       Merawat keindahan lingkungan
d.      Membayar pajak bumi dan bangunan
e.       Membayar pajak kendaraan bermotor
            Selain itu, partisipasi masyarakat dalam mendukung kinerja DPRD sangat dibutuhkan. Ada dua faktor pendukung agar DPRD dapat menjalankan fungsi pengawasannya dengan baik, yaitu        :
a.       Faktor internal, yakni factor yang berasal dari dalam DPRD itu sendiri, dalam arti bahwa anggota DPRD sebagai wakil rakyat, harus terus menerus berusaha untuk meningkatkan kualitas kinerjanya. Adanya peningkatan kualitas kinerjaini merupakan syarat agar kkepentingan rakyat terpenuhi.
b.      Factor eksternal, yakni factor yang berasal dari luar DPRD, yang berupa partisipasi masyarakat. Sebagai warga negara, hendaknya kita selalu memberikan masukan kepada DPRD dalam berbagai bidang kehidupan antara lain sebagai berikut :
1.      Menyampaikan masukan tentang prmasalahan irigasi yang sangat dibutuhkan masyarakat petani di desa
2.      Menyampaikan masukan tentang permaslahan politik uang ketika terjadi pemilihan calon kepala daerah dan wakilnya.
3.       Menyampaikan masukan tentang permasalahan keamanan dan ketrtiban masyarakat.

1.2. Permasalahan
            Dalam partisipasi masyarakat dalam pemerintahan daerah, ada dua sisi stakeholder yang mempunyai masalah. Yaitu pada sisi pemerintahan daerah juga pada sisi masyarakatnya. Berikut akan saya jabarkan permasalahan tersebut
·         Pada Pemerintahan Daerah terdapat masalah-masalah           :
ü  Pemahaman otonomi daerah dan desentralisasi yang dilandasi prinsip-prinsip demokrasi, transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat belum dimiliki oleh umumnya jajaran pemerintahan daerah, masyarakat madani dan atau sektor swasta
ü  Belum adanya pedoman mekanisme hubungan kemitraan dan sinergi antara masyarakat/ LSM dengan DPRD dalam penyaluran aspirasi/ tuntutan masyarakat dan fungsi pengawasan sosial masyarakat/ LSM terhadap DPRD. Keadaan ini menimbulkan kinerja DPRD apa adanya, tidak aspiratif, tidak peka dalam menampung aspirasi/ tuntutan masyarakat/ LSM, bahkan cenderung lebih aspiratif terhadap kepentingan partai atau organisasi masyarakat tertentu.

·         Dari sisi masyarakat/ LSM terdapat permasalahan yaitu        :
ü  Masyarakat perorangan, kelompok kepentingan umumnya belum mengetahui dan mengerti atas haknya di dalam menyalurkan aspirasi/tuntutan kepada lembaga legislatif dan eksekutif, dan atau lembaga pemerintah lainnya
ü  Peran lembaga RT/RW, lembaga adat dan keagamaan di lingkungan masyarakat belum berfungsi dan berperan di dalam mensosialisasikan hak-hak rakyat dan partisipasinya di dalam penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan di daerah.
ü  Keterbatasan pengetahuan masyarakat dan kesenjangan serta ketidak-adilan memberikan dampak tersendiri di dalam menyalurkan hak dan aspirasinya sering menjadi obyek/kedok kepentingan kelompok tertentu dalam menyelurkan tuntutannya.
ü  Sebagian besar LSM belum memiliki SDM, kelembagaan dan landasan hukum yang memadai, dan tidak mandiri, bekerja sesuai dengan dukungan dana.
ü  Keterbatasan pengetahuan/ketrampilan SDM LSM mengakibatkan dalam setiap kegiatannya tidak terfokus atau terarah dengan jelas dalam menyalurkan tuntutan dan aspirasinya, dan bahkan tidak jarang melanggar rambu-rambu peraturan perundangan yang berlaku karena tidak memahami peraturan perundangan yang mendasari tuntutannya.
ü  Kurangnya komunikasi di antara LSM sering menimbulkan duplikasi dalam kegiatannya di masyarakat, juga adanya ego kepentingan dari penyandang dana.
ü  Cukup banyak LSM yang tidak kredibel yang sulit dipertanggungjawabkan baik di masyarakat maupun terhadap penyandang dana.
1.3. Konsep Teori
            Untuk melaksanakan pembangunan daerah secara tepat, efektif dan efisien, dibutuhkan kredibilitas sumber daya manusia masyarakat itu sendiri, dan kualitas aparatur pemerintahan. Di sini dibutuhkan adanya kebijakan-kebijakan dari pemerintah daerah yang mampu merespon persoalan masyarakat setempat. Pembangunan daerah merupakan tugas yang terbebankan kepada seluruh masyarakat di daerah. Pembangunan daerah tidak hanya dimonopoli oleh pemerintah kabupaten dan kota saja, melainkan juga tugas dari masyarakat untuk mengarahkan, menentukan dan mengontrol proses pelaksanaan pembangunan daerah itu sendiri.
            Bowman dan Hampton (dalam Ainur Rohman dkk, 2009: 51) menyatakan bahwa tidak ada satupun pemerintah dari suatu negara dengan wilayah yang sangat luas dapat menentukan kebijakan secara efektif ataupun dapat melaksanakan kebijakan dan progam-programnya secara efisien melalui sistem sentralisasi. Karena itu, urgensi pelimpahan kebutuhan atau penyerahan sebagian kewenangan pemerintah pusat, baik dalam konteks politis maupun secara administratif, kepada organisasi atau unit di luar pemerintah pusat menjadi hal yang sangat penting untuk menggerakkan dinamika sebuah pemerintahan. Sebagai sebuah konsep penyelenggaraan pemerintahan, desentralisasi pada akhirnya menjadi pilihan akibat ketidakmungkinan sebuah negara yang wilayahnya luas dan penduduknya banyak untuk mengelola manajemen pemerintah secara sentralistis.
            Desentralisasi dalam hal ini juga diminati karena di dalamnya terkandung semangat demokrasi untuk mendekatkan partisipasi masyarakat dalam menjalankan sebuah pembangunan. Pada perkembangannya lebih jauh, desentralisasi lalu menjadi semangat utama bagi negara-negara yang menyepakati demokrasi sebagai landasan gerak utamanya. Kesamaan orientasi desentralisasi dan demokratisasi inilah yang membuat sebuah pemerintahan di masa kini tidak bisa lagi memerintah secara sentralistiks. Terdapat kesadaran baru di kalangan para penyelenggara pemerintahan bahwa masyarakat merupakan pilar utama yang harus dilibatkan dalam berbagai proyek pembangunan.
            Isu demokrasi yang semakin menguat terutama di negara-negara berkembang, yang oleh Hungtington diistilahkan sebagai kekuatan gelombang ketiga (third wave) merupakan angin segar bagi semangat mengembangkan desentralisasi secara teoritik. Demokrasi yang mempersyaratkan tumbuhnya masyarakat sipil ditopang dengan sistem pemerintahan desentralistik yang juga mempersyaratkan partisipasi masyrakat secara penuh. Masyarakat sipil dan partisipasinya dalam pembangunan suatu negara merupakan bagian tak terpisahkan.
            Di sisi lain, aspek kepentingan politik segolongan masyarakat dan pertentangannya dengan lainnya seringkali mengabaikan kepentingan umum dari tujuan pembangunan itu sendiri. Hal tersebut di lapangan pada akhirnya mengakibatkan masyarakat menjadi korban tarik-menarik secara politis dalam proses perencanaan pembangunan itu sendiri. (Ainur Rohman dkk, 2009: 55)
            Masyarakat ikut berpartisipasi dalam pembangunan, sebab dalam diri mereka ada keinginan dan kegairahan untuk merubah masa depannya agar lebih baik. Keinginan serta kegairahan tersebut harus dapat terwujud, sebab usaha-usaha dari pembangunan itu langsung menyangkut kepentingan dan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan. Ada dua faktor yang mempengaruhi terhadap berhasil atau gagalnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan sebagaimana dikemukakan oleh Conyers (Ainur Rohman dkk, 2009: 49) yaitu: pertama, hasil keterlibatan masyarakat itu sendiri, masyarakat tidak akan berpartisipasi atau kemauan sendiri atau dengan antusias yang tinggi dalam kegiatan perencanaan kalau mereka merasa bahwa partisipasi mereka dalam perencanaan tersebut tidak mempunyai pengaruh pada rencana akhir. Kedua, masyarakat merasa enggan berpartisipasi dalam kegiatan yang tidak menarik minat mereka atau yang tidak mempunyai pengaruh langsung dapat mereka rasakan.
            Dari berbagai pengalaman pembangunan daerah menunjukkan bahwa tanpa partisipasi masyarakat, maka pemerintahan daerah kekurangan petunjuk mengenai kebutuhan dan keinginan masyarakatnya. Investasi yang ditanamkan di daerah juga tidak mengungkapkan prioritas kebutuhan masyarakat. Selain itu sumber-sumber daya masyarakat yang potensial untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat daerah tidak terungkap, dan standar-standar dalam merancang pelayanan dan prasarana yang tidak tepat.
            Berbagai kasus yang tersaji menunjukkan bahwa dengan dibukanya kesempatan berpartisipasi, masyarakat menjadi lebih perhatian terhadap permasalahan yang dihadapi di lingkungannya dan memiliki kepercayaan diri bahwa mereka dapat berkontribusi untuk ikut mengatasinya. Proses dialog stakeholders telah mendorong pemerintahan agar lebih terbuka terhadap masukan stakeholders lain dan lebih responsif terhadap tuntutan  masyarakat. Berbagai praktik partnership menunjukkan bahwa kerja sama yang baik hanya dapat berlangsung apabila komunikasi yang sehat antara pemerintah dan masyarakat terbangun (Sumarto dalam Ainur Rohman dkk, 2009: 48)










BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Partisipasi masyarakat di Pemerintahan Daerah
            Menurut Kartasasmita (1996:63), pembangunan haruslah dilaksanakan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Pandangan ini menunjukkan asas demokrasi dalam konsep pembangunan nasional. Masyarakat perlu dilibatkan secara langsung bukan karena mobilisasi, melainkan sebagai bentuk partisipasi yang dilandasi oleh kesadaran. Dalam proses pembangunan, masyarakat tidak semata-mata diperlakukan sebagai obyek, tetapi lebih sebagai subyek dan aktor atau pelaku (Soetomo,2008:8).

            Hoofsteede dalam Khairuddin (1992:125), membagi partisipasi menjadi tiga tingkatan :
1.      Partisipasi inisiasi (inisiation participation) adalah partisipasi yang mengundang inisiatif dari pemimpin desa, baik formal maupun informal, ataupun dari anggota masyarakat mengenai suatu proyek, yang nantinya proyek tersebut merupakan kebutuhan bagi masyarakat.
2.      Partisipasi legitimasi (legitimation participation) adalah partisipasi pada tingkat pembicaraan atau pembuatan keputusan tentang proyek tersebut.
3.      Partisipasi eksekusi (execution participation) adalah partisipasi pada tingkat pelaksanaan.[1]
            Ada dua hal yang harus dilaksanakan oleh pemerintah, Pertama : perlu aspiratif terhadap aspirasi yang disampaikan oleh masyarakatnya, dan perlu sensitif terhadap kebutuhan rakyatnya. Pemerintah perlu mengetahui apa yang dibutuhkan oleh rakyatnya serta mau mendengarkan apa kemauannya. Kedua : pemerintah perlu melibatkan segenap kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat dalam melaksanakan pembangunan. Dengan kata lain pemerintah perlu menempatkan rakyat sebagai subjek pembangunan, bukan hanya sebagai objek pembangunan.
            Pentingnya keterlibatan masyarakat di dalam penyusunan perencanaan pembangunan sangat ditekankan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Pendekatan partisipatif masyarakat  terdapat pada  4 (empat) pasal Undang-Undang ini yaitu  pada Pasal 2, Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7. Sistem perencanaan yang diatur dalam UU 25/2004 dan aturan pelaksanaannya menerapkan kombinasi pendekatan antara top-down ( atas-bawah) dan bottom-up (bawah-atas), yang lebih menekankan cara-cara aspiratif dan partisipatif.
            Dengan adanya program-program partisipatif memberikan kesempatan secara langsung kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam rencana yang menyangkut kesejahteraan mereka dan secara langsung juga melaksanakan sendiri serta memetik hasil dari program tersebut. Selain uu no. 25 tahun 2004 terdapat peraturan perundang- undangan lain yang menekankan perlunya partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan yakni : Undang-Undang Nomor  32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan    Daerah dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2008 Tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah.
            Menurut Siagian (2007:142), bahwa “tugas pembangunan merupakan tanggung jawab seluruh komponen masyarakat dan bukan tugas pemerintah semata-mata”. Lebih lanjut Siagian (2007:153-154) mengatakan bahwa “pembangunan nasional membutuhkan tahapan. Pentahapan biasanya mengambil bentuk periodisasi. Artinya, pemerintah menentukan skala prioritas pembangunan”.
            Perencanaan pembangunan dan pelaksanaannya harus berorientasi ke bawah dan melibatkan masyarakat luas, melalui pemberian wewenang perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di tingkat daerah. Dengan cara ini pemerintah makin mampu menyerap aspirasi masyarakat banyak, sehingga pembangunan yang dilaksanakan dapat memberdayakan dan memenuhi kebutuhan rakyat banyak. Rakyat harus menjadi pelaku dalam pembangunan, masyarakat perlu dibina dan dipersiapkan untuk dapat merumuskan sendiri permasalahan yang dihadapi, merencanakan langkah-langkah yang diperlukan, melaksanakan rencana yang telah diprogramkan, menikmati produk yang dihasilkan dan melestarikan program yang telah dirumuskan dan dilaksanakan. Paradigma pembangunan yang sekarang menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan. Artinya, pemerintah tidak lagi sebagai provider dan pelaksana, melainkan lebih berperan sebagai fasilitator dan katalisator dari dinamika pembangunan, sehingga dari mulai perencanaan hingga pelaksanaan, masyarakat mempunyai hak untuk terlibat dan memberikan masukan dan mengabil keputusan, dalam rangka memenuhi hak-hak dasarnya, salah satunya melalui proses musrenbang.

2.2. Sempit dan Distortif
            Ruang partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan seperti itu disamping dinilai terlalu sempit, dalam prakteknya juga telah terjadi distorsi yang semakin memperkecil akses masyarakat dalam proses pembangunan.
            Dalam banyak kasus, forum Musbangdes kurang optimal dimanfaatkan sebagai media penampung aspirasi masyarakat sehingga hasil yang kemudian diajukan ke UDKP hanyalah usulan dari kepala desa/lurah dan perangkatnya tanpa melibatkan masyarakat lagi.
            Hasil UDKP dipilah secara sektoral untuk diserahkan kepada instansi terkait. Pembahasan anggaran pembangunan di instansi menghasilkan Daftar Usulan Proyek atau mungkin sekarang RASK (Rencana Anggaran Satuan Kerja) yang kemudian dibahas di forum Musrenbang (dulu dikenal Rakorbang atau Rapat Koordinasi Pembangunan) Kabupaten/Kota. Dalam forum Musrenbang/Rakorbang ini penekanan bahwa sebuah usulan program muncul dari sebuah desa/kelurahan sudah tidak tampak lagi, karena sudah terkalahkan oleh usulan program sektoral masing-masing instansi, apalagi wakil masyarakat desa/kelurahan tidak terlibat lagi dalam forum ini.
            Dalam praktek, proses bottom-up tersebut selalu terhalang juga oleh 2 (dua) hal, yaitu: pertama, tabrakan dengan program-program yang telah disusun (baca: diatur) dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi, walaupun sesungguhnya program-program tersebut sesuai dengan kebijakan otonomi daerah masuk wilayah kewenangan daerah. Pemerintah Daerah tidak lagi punya pilihan (apalagi masyarakat !). Maka jangan disalahkan jika pada akhirnya kegiatan yang menghabiskan dana yang sangat besar menjadi mubazir karena tidak sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat. Kedua, pemotongan program oleh tingkat pemerintahan yang lebih tinggi karena keterbatasan anggaran yang tersedia . Pemotongan ini terjadi terutama pada level setelah UDKP.
            Belum lagi kalau mencermati dari besarnya anggaran untuk Belanja Pembangunan atau Belanja Pelayanan Publik yang secara rata-rata nasional lebih kecil jika dibandingkan dengan yang dialokasikan untuk Belanja Rutin atau Belanja Aparatur. Secara Nasional pada tahun 2002, misalnya, Belanja Rutin mencapai 56,1 %, sementara untuk Belanja Pembangunan hanya 43,9 %. Malah ada di suatu kabupaten, porsi untuk Belanja Pembangunan hanya 10 % saja. Hal ini tentu mempersempit ruang partisipasi masyarakat didalam perencanaan pembangunan, sebab secara formal partisipasi masyarakat hanya mungkin tertampung dalam perumusan Belanja Pembangunan atau Belanja Pelayanan Publik.[2]
            Ruang partisipasi yang agak nyata adalah pada proyek-proyek pemberdayaan (yang lagi marak) yang menggunakan pendekatan Multi-stakehorlders Processes, seperti: proyek kemiskinan perkotaan, proyek pembangunan infrastruktur wilayah perdesaan, perhutanan sosial, dan banyak lainnya. Hanya saja kegiatan tersebut masih berskala proyek dan kecil.
            Dapat disimpulkan, keinginan mendudukan peran masyarakat secara sejajar dengan sektor pemerintahan dan swasta didalam perencanaan pembangunan nasional sesuai tuntutan paradigma good governance sudah ada semangat dan upaya-upayanya, hanya saja belum sepenuhnya ditransformasikan dalam aturan hukum maupun praktis.
            Dengan tidak bermaksud mengatakan ini sebuah mimpi, tapi dari realitas yang ada tampaknya format ideal partisipasi masyarakat masih harus diperjuangkan. Betapapun mungkin untuk mencapai itu akan menempuh jalan-jalan yang berliku dan panjang.












BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
            Partisipasi masyarakat terhadap pemerintahan di daerah dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan, antara lain:
a.       Mematuhi dan melaksanakan peraturan daerah
b.      Melaksanakan kegiatan keamanan dan ketertiban masyarakat
c.       Merawat keindahan lingkungan
d.      Membayar pajak bumi dan bangunan
e.       Membayar pajak kendaraan bermotor
3.2. Saran
            Proses dialog stakeholders telah mendorong pemerintahan agar lebih terbuka terhadap masukan stakeholders lain dan lebih responsif terhadap tuntutan  masyarakat. Berbagai praktik partnership menunjukkan bahwa kerja sama yang baik hanya dapat berlangsung apabila komunikasi yang sehat antara pemerintah dan masyarakat terbangun.







Daftar Pustaka

Ainur Rahman dkk. Politik, Partisipasi dan Demokrasi dalam Pembangunan. Malang, Averroes Press, 2009
HAW. Widjaja. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2002
http://gerryprotokol.wordpress.com/2011/01/05/partisipasi-masyarakat-dalam-perencanaan-pembangunan-daerah/
http://wazni.staff.unri.ac.id/pemerintahan-daerah-dilihat-dari-beberapa-aspek/
http://pkmk-lanri.org/2013/02/18/pengembangan-pola-partisipasi-masyarakat-dalam-perumusan-kebijakan-publik/
http://sosbud.kompasiana.com/2011/06/17/partisipasi-masyarakat-hanyalah-mimpi-373788.html
http://nissa2601.blogspot.com/2011/05/partisipasi-masyarakat-dalam-pelaksaan.html



[1] http://gerryprotokol.wordpress.com/2011/01/05/partisipasi-masyarakat-dalam-perencanaan-pembangunan-daerah/
[2] http://sosbud.kompasiana.com/2011/06/17/partisipasi-masyarakat-hanyalah-mimpi-373788.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar