Rabu, 01 Januari 2014

Makalah Analisis Terhadap Kebijakan Publik Mengenai Kebijakan Bersama Tiga Menteri Mengenai Moratorium CPNS

BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang Penelitian
Hukum dan kebijaksanaan publik merupakan variabel yang memiliki keterkaitan yang sangat erat, sehingga telaah tentang kebijaksanaan pemerintah semakin dibutuhkan untuk dapat memahami peranan hukum saat ini. Kompleksnya persoalan ekonomi, sosial,  dan politik merupakan sebab kebutuhanya,  serta sangat berperan bagi pemerintah dalam menemukan alternatif kebijaksanaan dan bermanfaat bagi masyarakat. Perang pemerintah dapat semakin menonjol jikalau kita pahami pembangunan itu adalah sesuatu kegiatan yang membawa perubahan.
Peraturan hukum adalah salah satu tindak nyata  dalam melakukan kebijaksanaan pemerintah. Oleh karena itu setiap kebijaksanaan pemerintah di wujudkan dalam peraturan hukum maka sangat diperlukan pemahaman fungsi hukum yang luas. Hal ini yang mengilhami dibutuhkannya lawyers.
Fugsi sentral negara yang berusaha menyiapkan, menemukan dan mejalankan atas nama dan untuk keseluruhan masyarakat di daerah kekuasaanya. Hukum memberikan legitimasi bagi pelaksanaan kebijaksanaan publik dan alat untuk melaksanakan kebijaksanaan, agar rencana pembangunan mendapat kekuatan dalam pelaksanaannya maka perlu mendapatkan status formal atau dasar hukum tertentu.
Dari beberapa pendapat memdefinisikan kebijaksanaan tidak ada yang sama namun dari beberapa definisi maka dapat disimpulkan bahwa adanya beberapa unsur yang harus ada dalam sebuah kebijaksanaan yaitu;  “Tujuan” dalam arti keadaan seperti apakah yang diinginkan dan telah ditetapkan. “Sarana” adalah sebagai sesuatu yang dapat dipakai dalam mencapai sarana atau tujuan, termaksuk juga sesuatu yang dapat dipakai untuk jangka pendek. Salah satu sarana yang banyak dipilih adalah peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu pada hakekatnya hukum pun mengandung nilai, konsep-konsep dan tujuan. Proses perwujudan ide dan tujuan itu merupakan hakikat dari penegakan hukum. Sebagai contoh: Garis-Garis Besar Haluan Negara merupakan salah satu bentuk kebijaksanaan publik yang dilegitimasi melalui Ketetapan MPR mempunyai sifat mengikat bagi seluruh warga masyarakat.
Terkait pembahasan kebijakan publik dalam makalah ini penulis akan mencoba mengambil salah satu kebijakan yang telah di keluarkan atau diputuskan oleh pejabat publik, seperti Moratorium Pegawai Negeri sipil, berdasarkan Peraturan Bersama  Menteri  Negara Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan. Nomor 02/SPB/M.PAN-RB/8/2011, Nomor 800-632 Tahun 2011, Nomor 141/PMK.01/2011. Tentang Penundaan Sementara Penerimaan Pegawai Negri Sipil.
Pelaksanaan moratorium penerimaan CPNS ini  dilakukan pada tanggal 1 September 2011 sampai dengan 31 Desember 2012. Tentunya berdasarkan Peraturan Bersama tentang Penundaan Sementara Penerimaan CPNS. Namun tidak menutup kemungkinan bagi daerah yang mempunyai peluang menerima pegaiwai karena alasan pertimbangan bahwa kebijakan ini dianggap kurang adail karena ada daerah yang jumlah pegawainya gemuk sekali dan ada daerah yang sangat kurang sekali, maka dari itu daerah yang diberikan kemungkinan juga harus melengkapi beberapa persyaratan diantaranya melakukan perhitungan kebutuhan pegawai, analisis jabatan serta analisis beban kerja sesuai dengan Permenpan-RB No. 26 Tahun 2011 tentang Pedoman Perhitungan Jumlah Kebutuhan PNS yang tepat untuk daerah, yang apabila daerah yang bersangkutan tidak melakukannya maka tidak akan diberikan formasi.
Kebijakan Moratorium penerimaan CPNS ini  adalah upaya pemerintah dalam melakukan penataan pegawai di instansi-instansi pemerintah dan bukan  sekadar penundaaan penerimaan CPNS. Banyak hal yang mendasari dikeluarkannya kebijakan ini oleh pihak pejabat terkait, antara lain dalam rangka pelaksanaan reformasi birokrasi mengoptimalkan kinerja sumber daya manusia serta efesiensi anggaran belanja pegawai yang telah ada perlu dilakukan penataan oraganisasi serata penataan pegawai negeri sispil. Maka untuk mewujudkan hal demikian maka berdasarkan kebijakan bersama tiga menteri mesti dilakukan penundaan sementara pengadaan Pegawai Negeri sipil.
Dengan sehubungan dikeluarkannya moratorium CPNS bukan akan menimbulkan masalah baru yang dianggap penulis sekiranya dapat dijadikan pertimbangan atau dapat diantisiapasi oleh pejabat publik terkait diantaranya nasib pegawai honorer serta akan menunpuknya jumlah Penganguran dimana setiap tahun akan meningkan dan pada dasarnya banyak hal yang perlu lagi di analisis dalam kebijakan moratorium CPNS ini.
Dengan demikian kebijakan pemerintah dalam hal ini menteri terkait dengan kebijakan bersama mengeluarakaa Moratorium CPNS dapat kita cermati sebagai kebijakan yang menpunyai nilai-nilai serta tujuan yang tepat dan baik, progran dalam praktek dan evaluasinya,  serta informasi dan monitoring, adalah unsur-unsur yang dapat mnguji kebijakan ini.  Maka makalah yang berjudul Analisis Terhadap Kebijakan Publik Mengenai Kebijakan Bersama Tiga Menteri Mengenai Moratorium CPNS  diharapkan mampu menjelaskan suatu keadaan di mana dalam proses kebijaksanaan selalu akan terbuka kemungkinan terjadinya perbedaan antara apa yang diharapkan oleh pembuat kebijaksanaan dengan apa yang senyatanya dicapai.
B.     Fokus Studi dan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang ada di atas maka ada beberapa poin yang menjadi fokus analisis yakni:
1.      Kebijakan pemerintah dalam upaya melakukan penataan pegawai di instansi-instansi pemerintah.
2.      Pelaksanaan reformasi birokrasi mengoptimalkan kinerja sumber daya manusia.
Sehubungan dengan permasalahan atau upaya yang ingin diwujudkan pemerintah  tersebut, dapat diajukan pertanyaan yaitu bagaimanakah anakah analisis kebijakan Pemerintah dalam melakukan Moratorium CPNS ?



C.    Manfaat dan Tujuan
1.      Tujuan
Berdasarkan  pertanyaan rumusan masalah tersebut di ataas, maka makalah  ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
a.       Dapat mengetahui bagaiamanakah analisis kebijakan pemerintah dalam melakukan moratorium CPNS.
2.      Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan kontribusi baik secara teoritis maupun secara praktis
a.       Kontribusi praktis, sebagai bahan informasi kepada masyarakat dan penentu kebijakan dalam pelayanan publik.
D.    Kerangka Pemikiran Hukum dan Kebijaksanaan Publik
Hukum dalam perkembangannya tidak hanya dipergunakan untuk mengatur tingkah laku yang sudah ada di dalam masyarakat dan mempertahankan pola-pola kebiasaan yang telah ada, namun juga dipakai sarana untuk merealisasi kebijaksanaan negara dalam bidang-bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, dan sebagainya. Fungsi hukum sebagai suatu mekanisme pengendalian sosial merupakan suatu proses yang telah direncanakan lebih dahulu dan bertujuan untuk menganjurkan, mengajak, mempengaruhi atau bahkan memaksa anggota-anggota masyarakat agar supaya mematuhi norma-norma hukum atau tertib hukum yang sedang berlaku.
Pengendalian sosial dapat dibedakan menjadi pengendalian sosial preventif dan pengendalian sosial yang bersifat represif, bahkan ada pengendalian sosial yang bersifat preventif-represif. Pengendalian sosial yang bersifat perventif berupa pencegahan terhadap gangguan pada keseimbangan antara stabilitas dan fleksibilitas masyarakat. Pengendalian sosial yang bersifat represif bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan yang mengalami gangguan.
Hukum sebagai perwujudan dari kebijaksanaan politik adalah peraturan, karenanya peraturan itu sangat dipengaruhi oleh cara pandang penguasa terhadap hukum. Ketika penguasa memandang hukum sebagai alat rekayasa sosial, maka penguasa akan mengambil kebijaksanaan publik yang kemudian menjadi peraturan-peraturan yang dapat digunakan untuk menciptakan sistem sosial yang dapat mengatur dan mengendalikan masyarakat. Pandangan hukum penguasa ini akan cenderung dilaksanakan secara represif, hukum yang represif tersebut tidak memperhatikan kepentingan masyarakat atau dengan kata lain mengingkari legitimasi masyarakat.
Sepintas hukum nampak diikuti oleh kepatuhan masyarakat, tetapi nilai kepatuhan masyarakat yang timbul adalah semua karena nilai kepatuhan masyarakat dilandasi oleh rasa takut akan sanksi hukum yang berat. kebijaksanaan negara tidak berisi pendapat para pejabat negara yang mewakili rakyat, tetapi juga berisi tentang opini politik. Setiap kebjaksanaan negara harus selalu bertujuan pada kepentingan publik (public interest) Pengertian kebijaksanaan (policy) punya arti yang bermacam-macam.
Menurut Afrizal Woyla kebijakan kebijakan merupakan aturan-atauran yang dibuat oleh pemerintah dan merupakan bagian dari kuputusan politik untuk mengatasi persoalan dengan isu-isu yang ada dan berkembang di masyarakat. Kebijakan publik juga merupakan keputusan yang dibuat oleh pemerintah untuk melakukan pilihan tindakan tertentu untuk tidak melakukan sesutau maupun untuk melakukan tindakan tertentu.
Sedangkan Antara Rasastaya mengemukakan kebijaksanaan sebagai taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu suatu kebijaksanaan memuat 3 (tiga) elemen yaitu:
1.      Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai;
2.      Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan;
3.      Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi.
Sedangkan proses formulasi kebijakan dapat dilakukan melalui tujuh tahapan sebgai berikut:
1.      Pengkajian Persoalan. Tujuannya adalah untuk menemukan dan memahami hakekat persoalan dari suatu permasalahan dan kemudian merumuskannya dalam hubungan sebab akibat.
2.      Penetuan Tujuan. Adalah tahapan untuk menemukan tujuan yang hendak dicapai melaui kebijakan publik yang segera akan diformulasikan.
3.      Perumusan Alternatif. Alternatif adalah sejumlah solusi pemecahan masalah yang mungkin diaplikasikan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
4.      Penyusunan Model. Model adalah penyederhanaan dan kenyataan persoalan yang dihadapi yang diwujudkan dalam hubungan kausal. Model dapat dibangun dalam berbagai bentuk, misalnya model skematik, model matematik, model fisik, model simbolik, dan lain-lain.
5.      Penentuan Kriteria. Analisis kebijakan  memerlukan kriteria yang jelas dan konsisten untuk bernilai alternatif kebijakan yang ditawarkan. Kreteria yang dapat dipergunakan antara lain kriterian ekonomi, hukum, politik, teknis, administrasi,  peserta masyarakat dan lain-lain.
6.      Penilaian Alternatif. Penilaian alternatif dilakukan dengan mengunakan kriteria dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran lebih jauh mengenai tingkat efektifitas dan kelayakan setiap alternatif dalam pencapaian tujuan.
7.      Perumusan Rekomendasi. Rekomendasi disusun berdasarkan hasil penilaian alternatif kebijakan yang diperkirakan akan dapat mencapai tujuan secara optimal dengan kemungkinan dampak yang sekecil-kecilnya.
Dengan demikian kesimpulanya adalah kebijaksanaan publik adalah dibuat oleh pemerintah yang berupa tindakan-tindakan pemerintah, baik untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu itu mempunyai tujuan tertentu yang ditujukan untuk kepentingan masyarakat.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Kebijakan Publik
1.      Pengertian Kebijakan Publik
Istilah kebijakan dalam bahasa Inggris policy yang dibedakan dari kata wisdom yang berarti kebijaksanaan atau kearifan. Kebijakan merupakan pernyataan umum perilaku daripada organisasi. Menurut pendapat Alfonsus Sirait dalam bukunya Manajemen mendefinisikan kebijakan, sebagai berikut: “Kebijakan merupakan garis pedoman untuk pengambilan keputusan” (Sirait, 1991:115). Kebijakan merupakan sesuatu yang bermanfaat dan juga merupakan penyederhanaan system yang dapat membantu dan mengurangi masalah-masalah dan serangkaian tindakan untuk memecahkan masalah tertentu, oleh sebab itu suatu kebijakan dianggap sangat penting.
Wiliiam N. Dunn menyebut istilah kebijakan publik dalam bukunya yang berjudul Analisis Kebijakan Publik, pengertiannya sebagai berikut:
“Kebijakan Publik (Public Policy) adalah pola ketergantungan yang kompleks dari pilihan-pilihan kolektif yang saling bergantung, termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak, yang dibuat oleh badan atau kantor pemerintah” (Dunn, 2003:132).
Kebijakan publik sesuai apa yang dikemukakan oleh Dunn mengisyaratkan adanya pilihan-pilihan kolektif yang saling bergantung satu dengan yang lainnya, dimana didalamnya keputusan-keputusan untuk melakukan tindakan. Kebijakan publik yang dimaksud dibuat oleh badan atau kantor pemerintah. Suatu kebijakan apabila telah dibuat, maka harus diimplementasikan untuk dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia, serta dievaluasikan agar dapat dijadikan sebagai mekanisme pengawasan terhadap kebijakan tersebut sesuai dengan tujuan kebijakan itu sendiri.
Edward III dan Sharkansky mengemukakan kebijakan publik adalah:
“What government say and do, or not to do, it is the goals or purpose of government programs. (apa yang dikatakan dan dilakukan, atau tidak dilakukan. Kebijakan merupakan serangkaian tujuan dan sasaran dari program-program pemerintah)” (Dalam Widodo, 2001:190).
Pendapat Edward III dan Sharkansky mengisyaratkan adanya apa yang dilakukan atau tidak dilakukan. Hal ini berkaitan dengan tujuan dan sasaran uang termuat dalam program-program yang telah dibuat oleh pemerintah. Miriam Budiarjo mengemukakan pengertian kebijakan (policy) adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau oleh kelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan itu (Budiardjo, 2000:56). Berdasarkan pengertian di atas, kebijakan merupakan suatu kumpulan keputusan. Keputusan tersebut diambil oleh seorang pelaku atau oleh kelompok politik yaitu pemerintah. Keputusan tersebut berusaha untuk memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai.
Inu Kencana Syafie dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Pemerintahan mengutip pendapat Harold Laswell, kebijakan adalah:
“Tugas intelektual pembuatan keputusan meliputi penjelasan tujuan, penguraian kecenderungan, penganalisaan keadaan, proyeksi pengembangan masa depan dan penelitian, penilaian dan penelitian, serta penilaian dan pemilihan kemungkinan” (Dalam Syafie, 1992:35).
Menurut pendapat Harold Laswell tersebut, kebijakan diartikannya sebagai tugas intelektual pembuatan  keputusan yang meliputi berbagai hal yaitu penjelasan mengenai tujuan yang ingin dicapai dari suatu kebijakan yang telah dibuat, penguraian kecenderungan untuk memilih beberapa tujuan yang sesuai dengan keadaan, pengembangan dampak dan kinerja kebijakan di masa depan, serta melakukan penelitian dan evaluasi. Adapun David Easton, sebagaimana yang dikutip oleh Muchsin dan Fadillah Putra dalam buku Hukum dan Kebijakan Publik, mendefinisikan kebijakan publik adalah sebuah proses pengalokasian nilai-nilai secara paksa kepada seluruh masyarakat yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang seperti pemerintah (Dalam Muchsin dan Fadillah, 2002:23).
Kebijakan publik dapat dikatakan mempunyai sifat “paksaan” yang secara potensial sah dilakukan. Sifat memaksa ini tidak dimiliki oleh kebijakan yang diambil oleh organisasi-organisasi swasta. Hal ini berarti bahwa kebijakan publik menuntut ketaatan yang luas dari masyarakat. Sifat inilah yang membedakan kebijakan publik dengan kebijakan lainnya. Pemahaman ini, pada sebuah kebijakan umumnya harus dilegalisasikan dalam bentuk hukum, dalam bentuk Peraturan Daerah misalnya. Sebab, sebuah proses kebijakan tanpa adanya legalisasi dari hukum tentu akan sangat lemah dimensi operasionalisasi dari kebijakan publik tersebut. Perlu diperhatikan, kebijakan publik tidaklah sama dengan hukum, walaupun dalam sasaran praktis di lapangan kedua-duanya sulit dipisah-pisahkan.


2.      Perumusan Kebijakan Publik
Perumusan masalah merupakan langkah awal dalam pembuatan suatu kebijakan publik. Menurut William N. Dunn suatu perumusan masalah dapat memasok pengetahuan yang relevan dengan kebijakan yang mempersoalkan asumsi-asumsi yang mendasari definisi masalah dan memasuki proses pembuatan kebijakan melalui penyusunan agenda (agenda setting) (Dunn, 2003: 26). Hal tersebut menyimpulkan bahwa kebijakan publik dibuat dikarenakan adanya masalah publik yang terjadi, sehingga permasalahan tersebut dapat diantisipasi dan mencapai tujuan yang diharapkan. Dunn pun menjelaskan bahwa:
Perumusan masalah dapat membantu menemukan asumsi-asumsi yang tersembunyi, mendiagnosis penyebab-penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan yang memungkinkan memadukan pandangan-pandangan yang bertentangan, dan merancang peluang-peluang kebijakan yang baru” (Dunn, 1993: 26).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa langkah awal dari pembuatan kebijakan publik adalah perumusan kebijakan publik dengan menyusun setiap permasalahan publik yang terjadi seperti suatu agenda. Contohnya Rancangan Undang-Undang. Merumuskan masalah publik yang benar dan tepat dapat didasarkan atau melihat dari karakteristik masalah publik, yaitu:
1.      Saling ketergantungan (interdependence) antara berbagai masalah.
2.      Subyektivitas dari masalah kebijakan.
3.      Artificiality masalah.
4.      Dinamika masalah kebijakan
(Subarsono, 2005: 24 dan 25).
Merumuskan masalah dapat dikatakan tidaklah mudah karena sifat dari masalah publik bersifat kompleks. Oleh sebab itu lebih baik dalam merumuskan masalah mengetahui lebih dulu karakteristik permasalahannya. Pertama, suatu masalah tidak dapat berdiri sendiri oleh sebab itu, selalu ada keterkaitan antara masalah yang satu dengan yang lain. Sehingga dari hal tersebut mengharuskan dalam analisis kebijakan untuk menggunakan pendekatan holistik dalam memecahkan masalah dan dapat mengetahui akar dari permasalahan tersebut.
Kedua, masalah kebijakan haruslah bersifat subyektif, dimana masalah tersebut merupakan hasil dari pemikiran dalam lingkungan tertentu. Ketiga, yaitu suatu fenomena yang dianggap sebagai masalah karena adanya keinginan manusia untuk mengubah situasi. Keempat, suatu masalah kebijakan solusinya dapat berubah-ubah. Maksudnya adalah kebijakan yang sama untuk masalah yang sama belum tentu solusinya sama, karena mungkin dari waktunya yang berbeda atau lingkungannya yang berbeda.
3.      Implementasi Kebijakan Publik
Program kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan masalah harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah. Hersel Nogi S. Tangkilisan mengutip pengertian implementasi menurut Patton dan Sawicki dalam buku yang berjudul Kebijakan Publik yang Membumi bahwa:
”Implementasi berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasikan program, dimana pada posisi ini eksekutif mengatur cara untuk mengorganisir, menginterpretasikan dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi” (Dalam Tangkilisan, 2003:9).
Berdasarkan pengertian di atas, implementasi berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasikan program, dimana pada posisi ini eksekutif mengatur cara untuk mengorganisir. Seorang eksekutif mampu mengatur secara efektif dan efisien sumber daya, unit-unit dan teknik yang dapat mendukung pelaksanaan program, serta melakukan interpretasi terhadap perencanaan yang telah dibuat, dan petunjuk yang dapat diikuti dengan mudah bagi relisasi program yang dilaksanakan. Dunn mengistilahkan implementasi dengan lebih khusus dengan menyebutnya implementasi kebijakan  (policy implemtation) adalah pelaksanaan pengendalian aksi-aksi kebijakan di dalam kurun waktu tertentu (Dunn, 2003:132).
Pengertian di atas dapat disimpulakan bahwa implementasi kebijakan merupakan pelaksanaan dari pengendalian aksi kebijakan dalam kurun waktu tertentu. Pendapat Riant Nugroho D. dalam bukunya yang berjudul Kebijakan Publik Formulasi, Implementasi dan Evaluasi. Ia mengemukakan bahwa:
“Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang. Untuk mengimplemntasikan kebijakan publik, maka ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program atau melalui formulasi kebijakan derivate atau turunan dari kebijakan publik tersebut” (Nugroho, 2004:158).
Implementasi kebijakan menurut pendapat di atas, tidak lain berkaitan dengan cara agar kebijakan dapat mencapai tujuan. Kebijakan publik tersebut diimplementasikan melalui bentuk program-program serta melalui turunan. Turunan yang dimaksud adalah dengan melalui proyek intervensi dan kegiatan intervensi. Menurut Darwin terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam persiapan proses implementasi yang perlu dilakukan, setidaknya terdapat empat hal penting dalam proses implementasi kebijakan, yaitu pendayagunaan sumber, pelibatan orang atau sekelompok orang dalam implementasi, interpretasi, manajemen program, dan penyediaan layanan dan manfaat pada publik (Widodo, 2001:194).
Persiapan proses implementasi kebijakan agar suatu kebijakan dapat mewujudkan tujuan yang diinginkan harus mendayagunakan sumber yang ada, melibatkan orang atau sekelompok orang dalam implementasi, menginterprestasikan kebijakan, program yang dilaksanakan harus direncanakan dengan manajemen yang baik, dan menyediakan layanan dan manfaat pada masyarakat. Berkaitan dengan faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan suatu program, Subarsono mengutip pendapat G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli dalam bukunya yang berjudul Analisis Kebijakan Publik (Konsep, Teori dan Aplikasi), mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan program-program pemerintah yang bersifat desentralistis. Faktor-faktor tersebut adalah:
1.      Kondisi lingkungan. Lingkungan sangat mempengaruhi implementasi kebijakan, lingkungan tersebut mencakup lingkungan sosio cultural serta keterlibatan penerima program.
2.      Hubungan antar organisasi. Implementasi sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu diperlukan koordinasi dan kerjasama antar instansi bagi keberhasilan suatu program.
3.      Sumberdaya organisasi untuk implementasi program. Implementasi kebijakan perlu disukung sumberdaya, baik sumberdaya manusia (human resources) maupun sumberdaya non-manusia (non human resources).
4.      Karakteristik dan kemampuan agen pelaksana. Maksudnya adalah mencakup struktur birokrasi, norma-norma dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi dimana semua itu akan mempengaruhi implementasi suatu program
(Dalam Subarsono, 2005:101).
Berdasarkan faktor di atas, yaitu kondisi lingkungan, hubungan antar organisasi, sumberdaya organisasi untuk mengimplementasi program, karakteristik dan kemampuan agen pelaksana merupakan hal penting dalam mempengaruhi suatu implementasi program. Sehingga faktor-faktor tersebut menghasilkan kinerja dan dampak dari suatu program yaitu sejauh mana program tersebut dapat mencapai sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan.
B.     Evaluasi Kebijakan Publik
1.      Pengertian Evaluasi Kebijakan Publik
Evaluasi merupakan salah satu tingkatan di dalam proses kebijakan publik, evaluasi adalah suatu cara untuk menilai apakah suatu kebijakan atau program itu berjalan dengan baik atau tidak. Evaluasi mempunyai definisi yang beragam, William N. Dunn, memberikan arti pada istilah evaluasi bahwa:
“Secara umum istilah evaluasi dapat disamakan dengan penaksiran (appraisal), pemberian angka (rating) dan penilaian (assessment), kata-kata yang menyatakan usaha untuk menganalisis hasil kebijakan dalam arti satuan nilainya. Dalam arti yang lebih spesifik, evaluasi berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan” (Dunn, 2003:608).
Pengertian di atas menjelaskan bahwa evaluasi kebijakan merupakan hasil kebijakan dimana pada kenyataannya mempunyai nilai dari hasil tujuan atau sasaran kebijakan. Bagian akhir dari suatu proses kebijakan adalah evaluasi kebijakan. Menurut Lester dan Stewart yang dikutip oleh Leo Agustino dalam bukunya yang berjudul Dasar-Dasar Kebijakan Publik bahwa evaluasi ditujukan untuk melihat sebagian-sebagian kegagalan suatu kebijakan dan untuk mengetahui apakah kebijakan telah dirumuskan dan dilaksanakan dapat menghasilkan dampak yang diinginkan (Dalam Leo, 2006:186). Jadi, evaluasi dilakukan karena tidak semua program kebijakan publik dapat meraih hasil yang diinginkan.
Adapun menurut Taliziduhu Ndraha dalam buku Konsep Administrasi dan Administrasi di Indonesia berpendapat bahwa evaluasi merupakan proses perbandingan antara standar dengan fakta dan analisa hasilnya (Ndraha, 1989:201). Kesimpulannya adalah perbandingan antara tujuan yang hendak dicapai dalam penyelesaian masalah dengan kejadian yang sebenarnya, sehingga dapat disimpulkan dengan analisa akhir apakah suatu kebijakan harus direvisi atau dilanjutkan. Sudarwan  Danim  mengemukakan  definisi  penilaian  (evaluating)  adalah:
“Proses pengukuran dan perbandingan dari hasil-hasil pekerjaan yang nyatanya dicapai dengan hasil-hasil yang seharusnya. Ada beberapa hal yang penting diperhatikan dalam definisi tersebut, yaitu:
1.      Bahwa penilaian merupakan fungsi organik karena pelaksanaan fungsi tersebut turut menentukan mati hidupnya suatu organisasi.
2.      Bahwa penilaiaan itu adalah suatu proses yang berarti bahwa penilaian adalah kegiatan yang terus menerus dilakukan oleh administrasi dan manajemen
3.      Bahwa penilaian menunjukkan jurang pemisah antara hasil pelaksanaan yang sesungguhnya dengan hasil yang seharusnya dicapai”
(Danim, 2000:14).
Pendapat di atas dapat diperoleh gambaran bahwa evaluasi adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk mengukur serta membandingkan hasil-hasil pelaksanaan kegiatan yang telah dicapai dengan hasil yang seharusnya menurut rencana. Sehingga diperoleh informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan, serta dapat dilakukan perbaikan bila terjadi penyimpangan di dalamnya. Menurut Muchsin, evaluasi kebijakan pemerintah adalah sebagai hakim yang menentukan kebijakan yang ada telah sukses atau gagal mencapai tujuan dan dampak-dampaknya (Muchsin dan Fadillah, 2002:110). Evaluasi kebijakan pemerintah dapat dikatakan sebagai dasar apakah kebijakan yang ada layak untuk dilanjutkan, direvisi atau bahkan dihentikan sama sekali.
2.      Fungsi dan Karakteristik Evaluasi Kebijakan Publik
Evaluasi memainkan sejumlah fungsi utama dalam analisis kebijakan. Menurut William N. Dunn fungsi evaluasi, yaitu:
“Pertama, dan yang paling penting, evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan. Kedua, evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target. Ketiga, evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis kebijakan lainnya, termasuk perumusan masalah dan rekomendasi” (Dunn, 2003:609 dan 610).
Berdasarkan pendapat William N. Dunn di atas dapat disimpulkan bahwa evaluasi merupakan suatu proses kebijakan yang paling penting karena dengan evaluasi kita dapat menilai seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan dengan melalui tindakan publik, dimana tujuan-tujuan tertentu dapat dicapai. Sehingga kepantasan dari  kebijakan dapat dipastikan dengan alternatif kebijakan yang baru atau merevisi kebijakan. Evaluasi mempunyai karakteristik yang membedakannya dari metode-metode analisis kebijakan lainnya yaitu:
1.      Fokus nilai. Evaluasi berbeda dengan pemantauan, dipusatkan pada penilaian menyangkut keperluan atau nilai dari sesuatu kebijakan dan program.
2.      Interdependensi Fakta-Nilai. Tuntutan evaluasi tergantung baik ”fakta” maupun “nilai”.
3.      Orientasi Masa Kini dan Masa Lampau. Tuntutan evaluatif, berbeda dengan tuntutan-tuntutan advokat, diarahkan pada hasil sekarang dan masa lalu, ketimbang hasil di masa depan.
4.      Dualitas nilai. Nilai-nilai yang mendasari tuntutan evaluasi mempunyai kualitas ganda, karena mereka dipandang sebagai tujuan dan sekaligus cara.
(Dunn, 2003:608-609)

Berdasarkan penjelasan di atas, karakteristik evaluasi terdiri dari empat karakter. Yang pertama yaitu fokus nilai, karena evaluasi adalah penilaian dari suatu kebijakan dalam ketepatan pencapaian tujuan dan sasaran kebijakan. Kedua yaitu interdependensi fakta-nilai, karena untuk menentukan nilai dari suatu kebijakan bukan hanya dilihat dari tingkat kinerja tetapi juga dilihat dari bukti atau fakta bahwa kebijakan dapat memecahkan masalah tertentu. Ketiga yaitu orientasi masa kini dan masa lampau, karena tuntutan evaluatif diarahkan pada hasil sekarang dan masa lalu sehingga hasil evaluasi dapat dibandingkan nilai dari kebijakan tersebut. Keempat yaitu dualitas nilai, karena nilai-nilai dari evaluasi mempunyai arti ganda baik rekomendasi sejauh berkenaan dengan nilai yang ada maupun nilai yang diperlukan dalam mempengaruhi pencapaian tujuan-tujuan lain.










BAB III
PEMBAHASAN
Pemerintah sebagai kebijakan untuk mengatur laju pertumbuhan PNS. Moratorium CPNS menjadi terobosan yang berani, meskipun disisi lain cukup banyak juga yang merasa kecewa dengan moratorium CPNS. Pegawai honorer daerah, fresh graduate yang ingin jadi PNS terpaksa harus mengurungkan kembali niatnya karena moratorium CPNS. Meski demikian, ada perkecualian dalam moratorium CPNS yaitu untuk tenaga pendidik, dokter, bidan, perawat dan jabatan yang bersifat khusus dan mendesak.
Tingginya animo masyarakat untuk menjadi PNS, dan sejarah kebijakan rekrutmen CPNS yang tidak konsisten membuat moratorium CPNS ini menjadi perdebatan. Pada periode 1999-2004, Menpan Faisal Tamim sudah melakukan kebijakan moratorium, namun penerusnya Menpan Taufiq Effendi justru membuka keran pengangkatan CPNS lebar-lebar. Sekarang Menpan dan reformasi birokrasi, EE. Mangindaan per 24 Agustus 2011 yang lalu bersama Kemendagri dan Kemenkeu mengeluarkan kembali kebijakan Moratorium PNS.
Keluarnya Moratorium CPNS ini dilatarbelakangi oleh kurang efektifnya kebijakan zero growth  CPNS/kebijakan pertumbuhan nol CPNS, membengkaknya jumlah PNS dan tersedotnya anggaran Negara untuk membiayai belanja pegawai. Kebijakan zero growth CPNS dengan hanya merekrut CPNS baru untuk menggantikan PNS yang pensiun, dipecat, atau mengundurkan diri, selama ini dipandang belum memberi dampak yang berarti untuk merampingkan jumlah PNS. Meskipun diberlakukan zero growth , namun sebenarnya pertumbuhan PNS tidak pernah benar-benar nol persen.
Hal ini dapat dilihat dari terus adanya formasi CPNS yang ada pada setiap tahun selalu melebihi jumlahnya dari PNS yang pensiun, dipecat atau mengundurkan diri. Proses rekrutmen CPNS yang ditengarai kurang mengacu pada merit system atau system yang mengedepankan profesionalisme dan kompetensi pegawai menjadi gejala umum dalam rekrutmen dan pengangkatan CPNS. Birokrasi menjadi sering tidak berdaya dan sangat lemah ketika diintervensi oleh kepentingan politik dalam pengangkatan CPNS. Analisis jabatan dan analisis beban kerja pegawai selama ini lebih banyak berhenti sebagai dokumenkepegawaian di Baperjakat, dan seringkali kurang mendapat perhatian dari yang berwenang membina pegawai.
Data membengkaknya jumlah PNS menurut Menpan per Mei 2011 ada 4.708.330 orang. Dari data tersebut 19,5 persen atau 916.493 PNS Pusat, sedangkan 80,5 persen atau sekitar 3.791.837 adalah PNS Daerah. Bagi Daerah, konsekuensi dari besarnya jumlah PNS yang dimiliki adalah besarnya anggaran yang harus disediakan untuk belanja pegawai, yang dianggarkan dari Dana Alokasi Umum. Dalam rancangan Nota KeuanganRAPBN 2012, DAU telah dianggarkan sejumlah 269,5 trilyun, sedangkan belanja pegawai mencapai 215,7 trilyun. Ini menunjukkan bahwa hampir sebagian besar DAU dialokasikan untuk belanja pegawai. Tersedotnya Dana Alokasi Umum diberbagai daerah untuk belanja pegawai memang menjadi fenomena yang mengarah pada kurang sehatnya anggaran,terutama anggaran Daerah. Disisi lain telah ditentukan bahwa anggrang belanja untuk pegawai tidak boleh melebihi dari 50% APBD.
Dana Alokasi Umum ditujukan untuk pemerataan kemampuan keuangan antara daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. hanya ironisnya, tujuan pemerataan kemampuan keuangan daerah ini sendiri kurang tercapai.
Daerah lebih banyak mengalokasikan DAU untuk belanja pegawai. Bahkan ada daerah yang juga kurang bijaksana yaitu menambah jumlah PNS Daerah untuk mendapatkan DAU yang lebih besar. Data lain yang dapat dicermati dari pengamatan APBD adalah besaran persentase belanja pegawai dalam APBD yang masih melebihi 50 persen.
Belanja pegawai ada dalam jenis belanja tidak langsung seperti gaji pokok,tunjangan, kenaikan gaji berkala. Sedangkan belanja pegawai yang masuk dalam belanja langsung seperti untuk honor. Dapat kita bayangkan, betapa kurang idealnya APBD bila separohnya lebih sudah habis untuk belanja pegawai. Tingginya belanja pegawai tentu saja membawa konsekuensi logis kurang dapat dipenuhinya belanja modal yang notabene membawa manfaat yang lebih besar bagi masyarakat.
Dapat kita bayangkan bagaimana Daerah mampu membiayai pembangunan dan pelayanan publik untuk menyediakan pelayanan dasar masyarakat bila sebagian anggarannya sudah terkuras untuk belanja pegawai. Dari aspek penataan kelembagaan, moratorium CPNS dalam kerangka Reformasi Birokrasi, perlu didukung dengan pelaksanaan analisis jabatan (anjab) dan analisis beban kerja (ABK) secara tegas sebagai dasar pengadaan formasi dan rangka ian siklus manajemen kepegawaian. Formasi dan pengangkatan CPNS harus benar-benar bebas dari intervensi politik serta harus menerapkan merit system. Baperjakat juga perlu berperan secara lebih signifikan.
Dari aspek anggaran, Pemda perlu membatasi besaran DAU yang digunakan untuk belanja pegawai sekaligus membatasi besaran proporsi belanja pegawai dalam APBD. Pembatasan tersebut memberi ruang APBD dimanfaatkan oleh masyarakat. APBD perlu berorientasi pada belanja modal ataupun belanja barang dan jasa, yang manfaatnya dapat dinikmati masyarakat secara langsung. APBD yang lebih banyak berorientasi untuk belanja langsung menunjukkan komitmen Pemda untuk mensejahterakan rakyatnya.
 Namun seperti yang telah disinggung sebelumnya pada latar belakang, bahwa ada daerah yang sangat kurang jumlah pegawainya dan akhirnya dengan dikeluarkanya kebijakan moratorium berdampak buruk bagi pelayanan pemerintah daerah kepada masyrakat seperti di akui oleh Kepala BKD Gunung Mas Henuh H Luhing.
Menurut dia, kebijakan moratorium telah secara otomatis berpengaruh terhadap basic ilmu pegawai yang bersangkutan, sehingga tidak mustahil di dalam satu dinas atau badan akan terjadi penumpukan jumlah tenaga dengan basic ilmu yang sama. Akibatnya, ucap Henuh, dinas lain mengalami kekurangan pegawai. "Hal ini apabila menyesuaikan dengan kebijakan atau aturan yang dikeluarkan pemerintah pusat, kebijakan tersebut membawa dampak negatif. Tetapi bukan berarti tidak berdampak positif bagi pemerintah daerah," jelas Henuh. Lebih lanjut dijelaskan Henuh, sebelum dikeluarkan kebijakan moratorium oleh KemenPAN dan RB, jumlah PNS yang ada di Kabupaten Gumas belum mencukupi untuk mengisi semua jabatan yang tersedia. Akibatnya, pelayanan kepada masyarakat belum maksimal.
Karena jumlah PNS tidak sebading dengan jumlah masyarakat yang memiliki hak sama mendapatkan pelayanan dari pemerintah. "Memang saat ini masih ada beberapa pegawai yang menduduki jabatan belum sesuai dengan basic ilmu yang dimiliki. Namun kendala yang kita hadapi apabila kita menyesuaikan dengan basic ilmu, tentunya sejumlah jabatan tidak akan terisi menunggu tenaga pegawai yang sesuai basic ilmu," ucapnya. Meski ia merasa berdampak negatif dengan kebijakan moratorium. Namun ia juga mengakui kebijakan tersebut membawa positif. Pasalnya, dengan adanya kebijakan tersebut secara otomatis akan terjadi pemerataan penempatan pegawai. Seperti yang dilakukan pemerintah daerah saat ini. "Saat ini, pemerintah daerah secara bertahap akan melakukan pemerataan pegawai yang ada. Diharapkan pelayanan kepada masyarakat dapat berjalan dengan baik, asalkan kebijakan moratorium yang diberlakukan tidak sampai menghambat pelayanan kepada masyarakat,"
Seperti yang telah di bahas pada halaman sebelunya banyak pertimbangan tentunya maka analaisis kebijakan public yakni moratorium CPNS dapat kita lanjutkan analisis dengan melihat indikator sebagai berikut:

A.    Nilai
Penataan, Efesiensi, dan Reformasi birokrasi demi mewujudkan Proposional dan Profesional pelayanan serta kinerja PNS, dapat dianggap sebagai nilai dilakukannya kebijakan ini.
Penjelasan sebelumnya, Moratorium CPNS menjadi terobosan yang berani, meskipun disisi lain cukup banyak juga yang merasa kecewa dengan moratorium CPNS. Pegawai honorer daerah, fresh graduate yang ingin jadi PNS terpaksa harus mengurungkan kembali niatnya karena moratorium CPNS. Meski demikian,ada perkecualian dalam moratorium CPNS yaitu untuk tenaga pendidik, dokter, bidan, perawat dan jabatan yang bersifat khusus dan mendesak. Seperti yang di ucapkan oleh Menpan pada pidato  di kota Medan;
“Moratorium  penerimaan CPNS hendaknya dipahami dengan menyeluruh oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Kebijakan Moratorium penerimaan CPNS ini  adalah upaya pemerintah dalam melakukan penataan pegawai di instansi-instansi pemerintah dan bukan  sekadar penundaaan penerimaan CPNS. Pelaksanaan moratorium penerimaan CPNS ini  dilakukan pada tanggal 1 September 2011 sampai dengan 31 Desember 2012. Berdasarkan Peraturan Bersama tentang Penundaan Sementara penerimaan CPNS, tenaga honorer merupakan salah satu unsur yang dikecualikan dalam pelaksanaan moratorium. Pengecualian terhadap moratorium ini juga berlaku pada kementerian/lembaga yang membutuhkan beberapa formasi seperti: tenaga pendidik, tenaga dokter dan perawat pada UPT Kesehatan, dan jabatan yang bersifat khusus dan mendesak, serta Pemerintah Daerah yang belanja pegawai-nya di bawah/kurang dari 50% dari APBD.”
Pengecualain yang mana tertera pada pasal 2 ayat 1 pada bagian a, b, dan c, ini bisa dianggap sebagai sebuah kebijakan  yang bernilai, karena sangat peka terhadap kebutuhan sosial masyarakat saat ini, kebutuah tenga kesehatan dan tenaga pendidik adalah salah satu masalah yang masih besar di negeri ini. Dan ini tidak boleh di hentikan dengan adanya kebijakan moratorium CPNS, pengecucualian inilah yang di anggap sebuah nilai dalam kebijaksanaan tentunya selain tujuan utamanya yakni demi reformasi dan efektifnya PNS serta birokrasi di negeri ini.
B.     Tujuan
Tujuan dari moratorium ini secara singkat dapat kita lihat jikalau kita mengkaji dari konsep sebab akibat maka kita mencari sebab di keluatkanya kebijakan ini.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya Keluarnya Moratorium CPNS ini dilatar belakangi oleh kurang efektifnya kebijakan zero growth CPNS/ kebijakan pertumbuhan nol CPNS, membengkaknya jumlah PNS dan tersedotnya anggaran Negara untuk membiayai belanja pegawai. Kebijakan zero growth CPNS dengan hanya merekrut CPNS baru untuk menggantikan PNS yang pensiun, dipecat, atau mengundurkan diri, selama ini dipandang belum memberi dampak yang berarti untuk merampingkan jumlah PNS. Meskipun diberlakukan zero growth , namun sebenarnya pertumbuhan PNS tidak pernah benar-benar nol persen.
Maka melakukan penataan pegawai di instansi-instansi pemerintah juga bukan  sekadar penundaaan penerimaan CPNS. Banyak hal yang menjadi tujuan dikeluarkannya kebijakan ini oleh pihak pejabat terkait, antara lain untuk rangka pelaksanaan reformasi birokrasi mengoptimalkan kinerja sumber daya manusia serta efesiensi anggaran belanja pegawai yang telah ada perlu dilakukan penataan oraganisasi serata penataan pegawai negeri sispil. Maka untuk mewujudkan hal demikian maka berdasarkan bijakan bersama tiga menteri mesti dilakukan penundaan sementara pengadaan Pegawai Negeri Sipil.
C.    Praktek
Dengan dikeluarkanya keputusan bersama Moratorium Pegawai Negeri sipil, berdasarkan Peraturan Bersama  Mentri  Negara Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan. Nomor 02/SPB/M.PAN-RB/8/2011, Nomor 800-632 Tahun 2011, Nomor 141/PMK.01/2011. Tentang Penundaan Sementara Penerimaan Pegawai Negeri Sipil. Pelaksanaan moratorium penerimaan CPNS ini  dilakukan pada tanggal 1 September 2011 sampai dengan 31 Desember 2012. Tentunya berdasarkan Peraturan Bersama tentang Penundaan Sementara penerimaan CPNS.
Prakteknya sampai hari ini  berdasarkan penamatan semenjak tanggal 1 september 2011 hingga oktober 2012 memang  tdak ada lagi instansi-instansi daerah manapun yang membuka lagi penerimaan CPNS. Terkecuali yang telah disampaikan sebelumnya yaitu untu Tenga Pengajar, Kesehatan, tentunya dengan alasan-alasan tertentu.  
Namun dalam masa penundaan demi tercapainya tujuan maka dilakukan penghitungan jumlah kebutuhan PNS yang tepat berdasarkan analisis jabatan dan beban kerja  yang diperlukan melalui langkah-langkah analisi sebagai berikut :
a.       Penghitungan jumlah kebutuhan PNS yang tepat berdasarkan analisis jabatan dan beban kerja pada Pemerintah Daerah, Mentri Negara Pemberdayaan Paratur Negara dan Reformasi Birokrasi.
1.      Menugaskan Gubernur dan Bupati/walikota menghitung jumlah kebutuhan PNS dilingkungan masing-masing;
2.      Bersama Kepala Badan  Kepegawaian Nasional supervisi penghitungan jumlah kebutuhan PNS yang tepat pada pemerintah provinsi;
3.      Bersama Kepala Badan Kepegawaian Nasional  dan Gubernur, supervisi perhitungan jumlah kebutuhan PNS berdasarkan Kelompok jabatan pada Pemerintah Kabupaten/Kota;
4.      Lalu disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah melalui penghitungan yang dilakukan oleh kepala Badan Kepegawaian Negara dan Menteri Keuangan;
5.      Dan bersama menteri dalam negeri menghitung jumlah PNS yang tepat dalam rangka penentuan struktur oraganisasi Perangkat Daerah.
b.      Penghitungan jumlah kebutuhan PNS yang tepat berdasarkan analisis jabatan dan beban kerja pada Pemerintah Pusat, Mentri Negara Pemberdayaan Paratur Negara dan Reformasi Birokrasi.
1.      Meminta para menteri dan pimpinan lembaga untuk menghitung jumlah kebutuhan PNS di lingkungan masing-masing;
2.      Hasil penghitungan jumlah kebutuhan PNS berdasarkan kelompok jabatan disampaikan kepada Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dan Kepala Kepegawaian Nasional, paling lambat akhir bulan Desember 2011;
3.      Bersama Kepala Badan Kepegawaian Nasional menilai penghitungan kebutuhan jumlah PNS yang tepat;
4.      Bersama Kepala Badan Kepegawaian Nasional dan Menteri Keuangan melakukan  validasi hasil penghitungan kebutuhan PNS untuk kementrian dan lembaga sesuai keuangan Negara.
Dan pada akhirnya hasil perhitungan ini dilaporkan kepada Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional.
D.    Program dan Evaluasi
Secara khusus pelaksanaan evalusi sebagai berikut :
1.      Bersama dengan pelaksanaan evaluasi perhitungan jumlah kebutuhan PNS pada pemerintah daerah, dan Menteri Dalam Negeri melkasnakan langkah-langkah berikut :
a.       Menugaskan Gubernur melakukan evaluasi dan penataan struktur organisasi perangkat daerah Kabupaten/Kota secara proporsional dan sesuai ciri-ciri dan karakteristik.
b.      Melakukan evalusi dan penataan struktur organisasi perangkat daerah provinsi, secara proposional sesuai ciri-ciri karakteristik daerah.
c.       Bersama Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi mengevalusi parameter dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007.
2.      Hasil Evaluasi dan penataan ini dilaporkan kepada Komite Pengarah Reformasi Birokrasi.
Secara gambaran umum mengenai kebijakan moratorium CPNS tahun 2011 hingga 2012, adalah program nasional yang dilaksanakan secara serentak di seluruh Negara Kesatuan  Republik Indonesia,  setelah di evaluasi dampak yang mungkin tidak diperhitungkan sebelumnya.
Maka dari itu evaluasi program ini sangat diperlukan, sebagai dampak bulan September 2012  beberapa lembaga negara membuka peluang untuk menerima pegawai dilembaganya masing-masing.
Perlu diketahui bahwa Pemerintah telah menyiapkan alokasi anggaran seleksi CPNS 2012 senilai Rp 37,8 miliar untuk 14 kementerian atau lembaga negara yang mengadakan penerimaan CPNS. Angka ini masih lebih kecil dari alokasi yang disediakan pemerintah pada tahun 2011 yakni sebesar Rp 80, 1 miliar untuk 24 kementerian atau lembaga negara. Anggaran ini lebih kecil dari tahun sebelumnya karena memang penerimaan yang diberlakukan tahun ini adalah untuk memenuhi kebutuhan SDM yang mendesak, bukan seluruh kementerian dan lembaga.
E.     Informasi
Informasi mengenai moratorium ini pada dasarnya sangat dibutuhkan oleh para pencari kerja,  apa awalnya informasi tentang dikeluarkanya keputusan bersama tiga menteri mengenai kebijakan Moratorium CPNS, bergulir hanya pada lingkup instasi-instasi di daerah-daerah. Namun dengan jenis kebijakan ini juga yang bisa dikatakan tidak membutuhkan informasi yang segera kepada informer yang dituju maka mengenai informasi tidaklah menjadi sesuatu masalah.
F.     Monitoring
Monitorng oleh kebijakan moratorium  dapat dilakukan oleh laporan pengusulan kebutuhan pegawai dari instansi-instasi daerah, lalu apakah pengecualian yang telah dibahas pada dilakukan. Serta efektifitas dari monitoring dapat dilakukan dengan memonitor efesiensi serta penataan pegawai di instansi-instansi pemerintah pusat ataupun daerah, sebagai tujuan dari moratorium, pada dasarnya peraktek dari moratorium atau reformasi birokrasi diawali dengan monitoring, dalam hal ini adalah penghitungan kebutuhan jumlah PNS dimasing-masing tempat baik daerah ataupun pusat demi penataan birokrasi.







BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kebijakan publik dapat dikatakan mempunyai sifat “paksaan” yang secara potensial sah dilakukan. Sifat memaksa ini tidak dimiliki oleh kebijakan yang diambil oleh organisasi-organisasi swasta. Hal ini berarti bahwa kebijakan publik menuntut ketaatan yang luas dari masyarakat. Sifat inilah yang membedakan kebijakan publik dengan kebijakan lainnya. Pemahaman ini, pada sebuah kebijakan umumnya harus dilegalisasikan dalam bentuk hukum, dalam bentuk Peraturan Daerah misalnya. Sebab, sebuah proses kebijakan tanpa adanya legalisasi dari hukum tentu akan sangat lemah dimensi operasionalisasi dari kebijakan publik tersebut. Perlu diperhatikan, kebijakan publik tidaklah sama dengan hukum, walaupun dalam sasaran praktis di lapangan kedua-duanya sulit dipisah-pisahkan.
Pemerintah sebagai kebijakan untuk mengatur laju pertumbuhan PNS. Moratorium CPNS menjadi terobosan yang berani, meskipun disisi lain cukup banyak juga yang merasa kecewa dengan moratorium CPNS. Pegawai honorer daerah,  fresh graduate yang ingin jadi PNS terpaksa harus mengurungkan kembali niatnya karena moratorium CPNS. Meski demikian, ada perkecualian dalam moratorium CPNS yaitu untuk tenaga pendidik, dokter, bidan, perawat dan jabatan yang bersifat khusus dan mendesak
Dari pembahasan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa, Kebijakan Moratorium penerimaan CPNS ini  adalah upaya pemerintah dalam melakukan efesiensi serta penataan pegawai di instansi-instansi pemerintah dan bukan  sekedar penundaaan penerimaan CPNS. Banyak hal yang mendasari dikeluarkannya kebijakan ini oleh pihak pejabat terkait, antara lain dalam rangka pelaksanaan reformasi birokrasi mengoptimalkan kinerja sumber daya manusia serta efesiensi anggaran belanja pegawai yang telah ada perlu dilakukan penataan oraganisasi serata penataan pegawai negeri sipil. Maka untuk mewujudkan hal demikian maka berdasarkan kebijakan bersama tiga menteri mesti dilakukan penundaan sementara pengadaan Pegawai Negeri sipil.  Moratorium ini pula tidak sepenuhnya berdampak baik bagi kondisi aparatur negara dalam hal ini adalah PNS, ada dampak-dampak buruk yang tidak bisa terhindarkan.
Namun dapat disimpulkan pula kebijakan ini bukanlah kebijakan yang bersifat mutlak berlaku, karena adanya pengecualian untuk tenaga-tenaga tertentu yang sangat dibutuhkan, bahkan apabila ada daerah yang memang membutuhkan pegawai diberikan peluang dengan mengusulkan penerimaan pegawainya tentunya dengan alasan yang tepat.
Selanjutnya analisisnya adalah, bahwa tujuan  dikeluarkannya kebijakan moratorium dapat disimpulkan untuk mereformasi pegawai negeri sispil yang dianggap berlebihan dan kurang efektif.
Namun tidak melupakan nilai atau kebutuhan yang di miliki oleh publik Indonesia yaitu kebutuhan akan tenaga kesehatan dan tenaga pendidik demi terjaganya kesehatan dan sumber daya manusia serta generasi pelanjut bangsa ini.


B.     Rekomendasi
Sebagai rekomendasi dan sebagai bahan evalusi kebijakan ini sebagai berikut:
1.      Memperbaiki postur  birokrasi PNS. Saat ini yang terjadi adalah ketimpangan jumlah pegawai antarinstansi/daerah dan juga ketimpangan formasi pegawai. Pemerintah harus mempertimbangkan melakukan mutasi di lingkungan Kementerian Lembaga dan perangkat daerah yang memiliki jumlah pegawai berlebih atau yang masih belum mencukupi.
2.      Apabila kebijakan ini berhasil secara tidak langsung akan meningkatkan alokasi belanja modal di APBD. Peningkatan belanja ini untuk pembenahan dan pembangunan sarana infrastruktur dasar di daerah. Untuk itu, perlu dilakukan revisi UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang mewajibkan  agar Pemda mengalokasikan belanja modal mencapai 20 persen APBD atau belanja pegawai tidak melebihi 50 persen. 
3.      Menuntaskan permasalahan pengangkatan tenaga honorer. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak tenaga honorer yang yang telah diangkat berdasarkan PP 48 tahun 2005, basic pekerjaannya kebanyakan berasal dari tenaga honorer administrasi, petugas, keamanan, petugas kebersihan, supir, dan sebagian besar diangkat berdasarkan kedekatan dengan pejabat setempat merupakan hasil nepotisme.
Yang hampir telupakan juga adalah dengan dikeluarkanya kebijakan moratorium, dengan begitu angka pengangguran akan melonjak. Bagi  kami pemerintah dapat dianggap menyelesaikan masalah dengan masalah. Pertumbuhan ekonomi negara yang berujung terserapnya tenaga kerja ini belum siap mencai second coice bagi para pencari kerja.
Jadi sebagai bahan rekomendasi bahwa pemerintah mesti mengevaluasi ulang kebijakan ini atau  oleh pemerintah terkait mengembangkan minat ataupun peluang kerja disub-sub lain contohnya swasta. Agar PNS tidak lagi menjadi rebutan para pencari kerja kita dari sabang sampai merauke.karena pada dasarnya jaminan pekerjaan di jamin oleh Undang-Undang Dasar.
Dan yang terakhir Profesionalisme PNS sangat penting guna menunjang suksesnya pembangunan dan penggunaan anggaran belanja negara. Transparansi dan akuntabilitas serta integritas harus dijunjung tinggi.






4 komentar:

  1. samasama.. terima kasih sudah berkunjung ^_^

    BalasHapus
  2. Thank's informasinya...
    Tp koq daftar pustakanya gk ada bang..?

    BalasHapus
  3. mohon tambahkan daftar pustaka ya, terimakasih

    BalasHapus
  4. dapusnya mana mas? boleh saya tau?

    BalasHapus