BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Organisasi terdiri dari berbagai macam komponen yang berbeda
dan saling memiliki ketergantungan dalam proses kerjasama untuk mencapai tujuan
tertentu. Perbedaan yang terdapat dalam organisasi seringkali menyebabkan terjadinya
ketidakcocokan yang akhirnya menimbulkan konflik. Hal ini disebabkan karena
pada dasarnya ketika terjadi suatu organisasi, maka sesungguhnya terdapat
banyak kemungkinan timbulnya konflik.
Konflik dalam suatu organisasi atau dalam
hubungan antar kelompok adalah sesuatu yang tidak dapat kita hindarkan. Konflik dapat menjadi masalah yang
serius dalam setiap organisasi, tanpa peduli apapun bentuk dan tingkat
kompleksitas organisasi tersebut, jika konflik tersebut dibiarkan
berlarut-larut tanpa penyelesaian. Karena itu keahlian untuk mengelola konflik
sangat diperlukan bagi setiap pimpinan atau manajer organisasi.
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah definisi konflik?
2.
Bagaimana pandangan mengenai konflik?
3.
Apa sajakah faktor penyebab timbulnya konflik?
4.
Apa sajakah jenis-jenis konflik?
5.
Bagaimana strategi yang digunakan dalam manajemen konflik?
6.
Bagaimana penerapan manajemen konflik dalam organisasi?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini,adalah:
1.
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Manajemen.
2.
Sebagai media pembelajaran mengenai Manajemen Konflik.
3.
Mengetahui konsep manajemen konflik, yang meliputi definisi
konflik, factor penyebab timbulnya konflik, jenis-jenis konflik, strategi dalam
manjemen konflik dan penerapan manajemen konflik dalam organisasi.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Definisi Konflik
Konflik dalam
pengertian yang sangat luas dapat dikatakan sebagai segala macam bentuk antar
hubungan antar manusia yang bersifat berlawanan (antagonistik). Ia dapat
terlihat secara jelas dan dapat pula tersembunyi.
Menurut kamus
besar bahasa Indonesia, konflik adalah percekcokan, perselisihan atau
pertentangan baik dari segi pemikiran atau kebijakan.
Menurut
sosiologis, konflik merupakan proses antara dua orang atau lebih yang berusaha
menyingkirkan dengan cara menghancurkan atau membuat tidak berdaya.
Menurut
Soerjono Soekanto, konflik adalah proses memenuhi tujuan dengan cara menentang
pihak lawan disertai ancaman atau kekerasan.
Menurut Lewis
A.Coser, konflik adalah perjuangan nilai kekuasaan dan sumber daya yang
bersifat langka dengan maksud menetralkan, mencederai atau melenyapkan lawan.
Menurut Gillin
dan Gillin, konflik merupakan proses interaksi yang berlawanan .
Konflik adalah
proses yang dimulai ketika satu pihak menganggap pihak lain secara negatif
mempengaruhi, atau akan secara negatif mempengaruhi, sesuatu yang menjadi
kepedulian pihak pertama.
B. Pandangan Mengenai Konflik
Terdapat perbedaan pandangan terhadap peran konflik dalam
kelompok atau organisasi. Ada yang berpendapat bahwa konflik harus dihindari
atau dihilangkan, karena jika dibiarkan maka akan merugikan organisasi.
Berlawanan dengan ini, pendapat lain menyatakan bahwa jika konflik dikelola
sedemikian rupa maka konflik tersebut akan membawa keuntungan bagi kelompok dan
organisasi. Stoner dan Freeman menyebut konflik tersebut sebagai konflik
organisasional (organizational
conflict).
Pertentangan pendapat ini oleh Robbins (1996:431) disebut
sebagai the Conflict Paradox, yaitu
pandangan bahwa di satu sisi konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja
kelompok, namun di sisi lain kebanyakan kelompok dan organisasi berusaha untuk
meminimalisir konflik.
Dalam uraian di bawah ini disajikan beberapa pandangan
tentang konflik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Robbins (1996:429) :
Ø
Pandangan Tradisional (The
Traditional View)
Pandangan ini menyatakan bahwa semua konflik itu
buruk. Konflik dilihat sebagai sesuatu yang negatif, merugikan dan harus
dihindari. Untuk memperkuat konotasi negatif ini, konflik disinonimkan dengan
istilah violence, destruction, dan irrationality. Pandangan
ini konsisten dengan sikap-sikap yang dominan mengenai perilaku kelompok dalam
dasawarsa 1930-an dan 1940-an. Konflik dilihat sebagai suatu hasil
disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurangnya kepercayaan dan
keterbukaan di antara orang-orang, dan kegagalan manajer untuk tanggap terhadap
kebutuhan dan aspirasi karyawan.
Ø Pandangan Hubungan Manusia (The Human Relations View)
Pandangan ini berargumen bahwa konflik merupakan
peristiwa yang wajar terjadi dalam semua kelompok dan organisasi. Konflik merupakan
sesuatu yang tidak dapat dihindari, karena itu keberadaan konflik harus
diterima dan dirasionalisasikan
sedemikian rupa sehingga bermanfaat bagi peningkatan kinerja organisasi.
Pandangan ini mendominasi teori konflik dari akhir dasawarsa 1940-an sampai
pertengahan 1970-an.
Ø
Pandangan Interaksionis (The
Interactionist View)
Pandangan ini cenderung mendorong terjadinya konflik, atas dasar suatu
asumsi bahwa kelompok yang koperatif, tenang, damai, dan serasi, cenderung
menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu,
menurut aliran pemikiran ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimun secara berkelanjutan, sehingga
kelompok tetap bersemangat (viable), kritis-diri (self-critical), dan kreatif. Stoner dan Freeman (1989:392) membagi pandangan
tentang konflik menjadi dua bagian, yaitu pandangan tradisional (old view) dan pandangan modern (current view).
C. Faktor Penyebab Timbulnya Konflik
Menurut Robbins (1996), konflik muncul karena ada kondisi
yang melatar -belakanginya (antecedent conditions). Kondisi
tersebut, yang disebut juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari
tiga kategori, yaitu :
a.
Komunikasi
Komunikasi yang buruk, dalam
arti komunikasi yang menimbulkan kesalah - pahaman antara pihak-pihak yang terlibat,
dapat menjadi sumber konflik. Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa
kesulitan semantik, pertukaran informasi yang tidak cukup, dan gangguan dalam
saluran komunikasi merupakan penghalang terhadap komunikasi dan menjadi kondisi
anteseden untuk terciptanya konflik.
b. Struktur
Istilah struktur dalam
konteks ini digunakan dalam artian yang mencakup: ukuran (kelompok), derajat
spesialisasi yang diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi
(wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan kelompok, gaya
kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat ketergantungan antara kelompok.
Penelitian menunjukkan bahwa ukuran kelompok dan derajat spesialisasi merupakan
variabel yang mendorong terjadinya konflik. Makin besar kelompok, dan makin terspesialisasi
kegiatannya, maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya konflik.
c.
Variabel Pribadi
Sumber konflik lainnya yang
potensial adalah faktor pribadi, yang meliputi: sistem nilai yang dimiliki
tiap-tiap individu, karakteristik kepribadian yang menyebabkan individu
memiliki keunikan (idiosyncrasies) dan berbeda dengan
individu yang lain. Kenyataan menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu,
misalnya, individu yang sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah orang
lain, merupakan sumber konflik yang potensial. Jika salah satu dari kondisi
tersebut terjadi dalam kelompok, dan para karyawan menyadari akan hal tersebut,
maka muncullah persepsi bahwa di dalam kelompok terjadi konflik. Keadaan ini
disebut dengan konflik yang dipersepsikan (perceived conflict).
Kemudian jika individu terlibat secara emosional, dan mereka merasa cemas,
tegang, frustrasi, atau muncul sikap bermusuhan, maka konflik berubah menjadi
konflik yang dirasakan (felt conflict). Selanjutnya, konflik yang
telah disadari dan dirasakan keberadaannya itu akan berubah menjadi konflik
yang nyata, jika pihak-pihak yang terlibat mewujudkannya dalam bentuk perilaku.
Misalnya, serangan secara verbal, ancaman terhadap pihak lain, serangan fisik,
huru-hara, pemogokan, dan sebagainya.
Berbeda dengan Robbins yang hanya menyebut tiga factor
dalam antecedent conditions, Schermerhorn merinci antecedent
conditions menjadi lima faktor, yaitu :
1. Ketidakjelasan
peranan atau peranan yang mendua (role ambiguities)
2. Persaingan untuk mendapatkan sumberdaya yang
terbatas
3. Rintangan-rintangan
dalam komunikasi (communication barriers)
4. Konflik sebelumnya yang tidak terselesaikan
5. Perbedaan-perbedaan
individual, yang mencakup: perbedaan kebutuhan, nilai-nilai, dan perbedaan
tujuan.
Selanjutnya,
Kreitner dan Kinicki (1995:284-285) merinci lagi antecedent conditions itu menjadi 12 faktor sebagai berikut :
1. Ketidakcocokan
kepribadian atau sistem nilai.
2. Batas-batas pekerjaan yang tidak jelas atau
tumpang-tindih.
3. Persaingan
untuk memperoleh sumberdaya yang terbatas.
4. Pertukaran informasi atau komunikasi yang tidak
cukup (inadequate (communication).
5. Kesalingtergantungan
dalam pekerjaan (misalnya, seseorang tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya
tanpa bantuan orang lain).
6. Kompleksitas
organisasi (konflik cenderung meningkat bersamaan dengan semakin meningkatnya
susunan hierarki dan spesialisasi pekerjaan).
7. Peraturan-peratuan,
standar kerja, atau kebijakan yang tidak jelas atau tidak masuk akal.
8. Batas
waktu penyelesaian pekerjaan yang tidak masuk akal sehingga sulit dipenuhi (unreasonable
deadlines).
9. Pengambilan keputusan secara kolektif (semakin
banyak orang yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan, semakin
potensial untuk konflik).
10. Pengambilan
keputusan melalui konsensus.
11. Harapan-harapan
yang tidak terpenuhi (karyawan yang memiliki harapan yang tidak realistik
terhadap pekerjaan, upah, atau promosi, akan lebih mudah untuk konflik).
12. Tidak menyelesaikan atau menyembunyikan konflik.
Menurut Kreitner dan Kinicki (1995), manajer atau
pimpinan organisasi harus proaktif untuk mengidentifikasikan keberadaan kondisi
- kondisi tersebut dalam organisasinya, dan jika salah satu atau lebih dari
kondisi itu muncul, maka ia harus segera mengambil tindakan, sebelum kondisi
itu menjadi konflik terbuka atau konflik yang nyata (manifest conflict). Dengan
cara seperti ini, diharapkan konflik tidak meluas ke seluruh organisasi dan
akhirnya mempengaruhi kinerja karyawan. Untuk itulah maka manajer harus
memiliki kemampuan untuk mengelola konflik, sehingga konflik tidak menjadi
faktor yang mengancam keberlangsungan hidup organisasi, tetapi menjadi faktor
yang fungsional untuk meningkatkan kinerja organisasi.
D. Jenis Konflik
Terdapat berbagai macam jenis konflik, tergantung pada dasar
yang digunakan untuk membuat klasifikasi. Ada yang membagi konflik berdasarkan
pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, ada yang membagi konflik dilihat dari
fungsi dan ada juga yang membagi konflik dilihat dari posisi seseorang dalam
suatu organisasi.
a)
Konflik Dilihat dari Posisi Seseorang dalam Struktur
Organisasi
Jenis konflik ini disebut juga konflik intra keorganisasian. Dilihat dari posisi seseorang dalam struktur organisasi, Winardi membagi konflik menjadi empat macam. Keempat jenis konflik tersebut adalah sebagai berikut :
Jenis konflik ini disebut juga konflik intra keorganisasian. Dilihat dari posisi seseorang dalam struktur organisasi, Winardi membagi konflik menjadi empat macam. Keempat jenis konflik tersebut adalah sebagai berikut :
·
Konflik vertikal, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan yang memiliki kedudukan yang
tidak sama dalam organisasi. Misalnya, antara atasan dan bawahan.
·
Konflik horizontal,
yaitu konflik
yang terjadi antara mereka yang memiliki kedudukan yang sama atau setingkat
dalam organisasi. Misalnya, konflik antar karyawan, atau antar departemen yang
setingkat.
·
Konflik garis-staf, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan lini yang
biasanya memegang posisi komando, dengan pejabat staf yang biasanya berfungsi
sebagai penasehat dalam organisasi.
·
Konflik peranan, yaitu konflik yang terjadi karena seseorang
mengemban lebih dari satu peran yang saling bertentangan.
b)
Konflik Dilihat dari Pihak yang Terlibat di Dalamnya
Berdasarkan pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik, Stoner membagi konflik menjadi lima macam , yaitu:
Berdasarkan pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik, Stoner membagi konflik menjadi lima macam , yaitu:
·
Konflik dalam diri individu (conflict within the individual)
yaitu konflik ini terjadi jika seseorang harus memilih tujuan yang saling
bertentangan, atau karena tuntutan tugas yang melebihi batas kemampuannya.
Termasuk dalam konflik individual ini, menurut Altman, adalah frustasi, konflik
tujuan dan konflik peranan .
·
Konflik antar-individu (conflict between individuals) yaitu terjadi
karena perbedaan kepribadian antara individu yang satu dengan individu yang lain.
·
Konflik antara individu dan kelompok (conflict between
individuals and groups) yaitu terjadi jika individu gagal menyesuaikan diri
dengan norma-norma kelompok tempat ia bekerja.
·
Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama (conflict among groups in the
same organization) yaitu konflik ini terjadi karena masing-masing kelompok
memiliki tujuan yang berbeda dan masing-masing berupaya untuk mencapainya. Masalah
ini terjadi karena pada saat kelompok-kelompok makin terikat dengan tujuan atau
norma mereka sendiri, mereka makin kompetitif satu sama lain dan berusaha
mengacau aktivitas pesaing mereka, dan karenanya hal ini mempengaruhi
organisasi secara keseluruhan .
·
Konflik antar organisasi (conflict among organizations)
yaitu konflik ini
terjadi jika tindakan yang dilakukan oleh organisasi menimbulkan dampak negatif
bagi organisasi lainnya. Misalnya, dalam perebutan sumberdaya yang sama.
c)
Konflik Dilihat dari Fungsi
Dilihat dari fungsi, Robbins membagi
konflik menjadi dua macam, yaitu:
·
Konflik fungsional (Functional Conflict)
Konflik fungsional adalah konflik yang mendukung pencapaian
tujuan kelompok, dan memperbaiki kinerja kelompok.
·
konflik disfungsional (Dysfunctional Conflict)
Konflik disfungsional adalah konflik yang merintangi
pencapaian tujuan kelompok.
Menurut Robbins, batas yang menentukan apakah suatu konflik
fungsional atau disfungsional sering tidak tegas (kabur). Suatu konflik mungkin
fungsional bagi suatu kelompok, tetapi tidak fungsional bagi kelompok yang
lain. Begitu pula, konflik dapat fungsional pada waktu tertentu, tetapi tidak
fungsional di waktu yang lain. Kriteria yang membedakan apakah suatu konflik
fungsional atau disfungsional adalah dampak konflik tersebut terhadap kinerja
kelompok, bukan pada kinerja individu. Jika konflik tersebut dapat meningkatkan
kinerja kelompok, walaupun kurang memuaskan bagi individu, maka konflik
tersebut dikatakan fungsional. Demikian sebaliknya, jika konflik tersebut hanya
memuaskan individu saja, tetapi menurunkan kinerja kelompok maka konflik
tersebut disfungsional.
E. Strategi dalam Manajemen Konflik
a.
Menghindar
Menghindari konflik dapat dilakukan jika isu atau masalah
yang memicu konflik tidak terlalu penting atau jika potensi konfrontasinya
tidak seimbang dengan akibat yang akan ditimbulkannya. Penghindaran
merupakan strategi yang memungkinkan pihak-pihak yang berkonfrontasi untuk
menenangkan diri. Manajer perawat yang terlibat didalam konflik dapat
menepiskan isu dengan mengatakan “Biarlah kedua pihak mengambil waktu untuk
memikirkan hal ini dan menentukan tanggal untuk melakukan diskusi”
b.
Mengakomodasi
Memberi
kesempatan pada orang lain untuk mengatur strategi pemecahan masalah,
khususnya apabila isu tersebut penting
bagi orang lain. Hal ini memungkinkan timbulnya kerjasama dengan memberi kesempatan pada mereka untuk membuat keputusan. Perawat yang menjadi
bagian dalam konflik dapat mengakomodasikan pihak lain dengan menempatkan
kebutuhan pihak lain di tempat yang pertama.
c.
Kompetisi
Gunakan
metode ini jika anda percaya bahwa anda memiliki lebih banyak informasi dan
keahlian yang lebih dibanding yang lainnya atau ketika anda tidak ingin
mengkompromikan nilai-nilai anda. Metode ini mungkin bisa memicu konflik tetapi
bisa jadi merupakan metode yang penting untuk alasan-alasan keamanan.
d.
Kompromi
atau Negosiasi
Masing-masing
memberikan dan menawarkan sesuatu pada waktu yang bersamaan, saling memberi dan
menerima, serta meminimalkan kekurangan
semua pihak yang dapat menguntungkan semua pihak.
e.
Memecahkan
Masalah atau Kolaborasi
·
Pemecahan sama-sama menang
dimana individu yang terlibat mempunyai tujuan kerja yang sama.
·
Perlu adanya satu komitmen dari semua pihak yang terlibat
untuk saling mendukung dan saling
memperhatikan satu sama lainnya.
f.
Pemecahan persoalan
Dalam strategi pemecahan persoalan, diambil
asumsi dasar semua pihak mempunyai keinginan menangualngi konflik yang terjadi
dan karenanya oerlu dicarikan ukuran-ukuran yang dapat memuaskan pihak-pihak
yang terlibat dalam konflik. Atas dasar asumsi tersebut maka dalam strategi
pemecahan persoalan harus selalu dilalui dua tahap penting, yaitu proses
penemuan gagasan dan proses pematangannya. Hasil penelitian yang pernah
dilakukan Amerika membuktikan bahwa usaha pemecahan persoalan menjadi lebih
produktif bila semua gagasan dikumpulkan terlebih dahulu sebelum dibahas.
Penelitian yang sama juga membuktikan bahwa
mutu cara pemecahan akan lebih baik bila pimpinan terlebih dahulu membahas
persoalannya sebelum membicarakan cara pemecahannya. Karena maksud pemecahan
persoalan ialah untuk membahas berbagai macam kemungkinan, maka justru
menciptakan kemungkinan berbeda pendapat, bukan menghilangkannya.
g.
Musyawarah
Dalam strategi ini terlebih dahulu harus
ditentukan secara jelas apa sebenarnya yang menjadi persoalan. Berdasarkan
jelasnya persoalan itulah kemudian kedua belah pihak yang sedang dalam
pertikaian mengadakan pembahasan untuk mendapatkan titik pertemuan.
Pada waktu perundingan atau musyawarah
tersebut dilakukan dapat pula dikembangkan suatu konsensus bahwa setelah terjadi kesepakatan, masing-masing
pihak harus berusaha mencegah timbulnya konflik lagi.
h.
Persuasi
Dalam strategi ini usaha penanggulangan
konflik dilakukan dengan menemukan kepentingan dan tujuan yang lebih tinggi
dari tujuan pihak-pihak yang sedang bertikai.
i.
Mencari lawan yang sama
Strategi ini pada prinsipnya hampir sama
dengan strategi ketiga. Perbedaannya
adalah bahwa pada strategi ini semua diajak untuk lebih bersatu kaena harus
menghadapi pihak ketiga sebagai pihak yang dianggap merupakan lawan dari kedua
belah pihak yang bertikai.
j.
Meminta bantuan pihak ketiga
Hal yang penting adalah mengetahui dibidang
apa pertikaian , dalam arti apakah terjadinya berkaitan dengan konflik politik,
konflik wewenang, konflik hukum, konflik teknis pekerjaan, dan lainnya. Hal ini
penting guna dapat memilih pihak ketiga
yang kiranya dapat untuk menanggulangi akibat yang lebih negatif dari suatu
konflik.
k.
Peningkatan interaksi dan komunikasi
Alasan penggunaan strategi ini adalah bahwa
bila pihak-pihak yang berkonflik dapat meningkatkan interaksi dan komunikasi
mereka, pada suatu saat mereka akan dapat lebih mengerti dan menghargai dasar
pemikiran dan prilaku pihak lain.
Pengertian dan penghargaan ini penting, karena dapat mengurangi
pandangan buruk terhadap kelompok lain.
l.
Latihan kepekaan
Strategi ini bisa disebut “encounter session”
strategi ini umumnya digunakan untuk menghadapi konflik yang terjadi dalam suatu kelompok ataupun antar kelompok.
Pihak-pihak yang berkonflik diajak masuk dalam satu kelompok. Dalam kelompok
ini masing-masing pihak diberi kesempatan menyatakan pendapatnya termasuk
pendapatnya yang negatif, mengenai pihak yang
lain. Sementara itu, pihak yang dikritik diharapkan mendengarkannya
lebih dahulu kemudian dapat pula mengemukakan pendapatnya. Dengan telah
dikeluarkan, segala perasaan atau “ganjalan” yang dikandung, diharapkan
masing-masing pihak akan lega.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Konflik dapat terjadi dalam organisasi apapun. Untuk itulah
manajer atau pimpinan dalam organisasi harus mampu mengelola konflik yang
terdapat dalam organisasi secara baik agar tujuan organisasi dapat tercapai
tanpa hambatan-hambatan yang menciptakan terjadinya konflik.
Terdapat banyak cara dalam penanganan suatu konflik. Manajer
atau pimpinan harus mampu mendiagnosis sumber konflik serta memilih strategi
pengelolaan konflik yang sesuai sehingga diperoleh solusi tepat atas konflik
tersebut. Dengan pola pengelolaan konflik yang baik maka akn diperoleh pengalaman
dalam menangani berbagai macam konflik yang akan selalu terus terjadi dalam
organisasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Garry Dessler. Manajemen Sumber Daya
Manusia, Jilid 2. Jakarta : PT. Prehelinso. 1989.
Hani Handoko. Manajemen Personalia dan
Sumber Daya manusia. Yogyakarta : BPFE. 2001.
Wahyudi. Manajemen Konflik Dalam
Organisasi, Edisi Kedua. Bandung : Alfabeta. 2006.
Robbins S. Perilaku Organisasi:
Konsep, Kontroversi dan Aplikasi. Jakarta : PT Prenhalinddo.1996.
Indrawijaya, Adam I. Perilaku Organisasi. Bandung: Sinar Baru
Algesindo.2009.
Bagus ni artikelnya tentang konflik manajemen |
BalasHapusTerimakasih sudah berbagi ilmu yang berkaitan dengan konflik manajemen | salam kenal dan sukses selalu
Terimakasih artikelnya bermanfaat.
BalasHapusZN
http://www.trainingauditor.co.id
samasama ^_^
BalasHapus