BAB I
PENDAHULUAN
Sulit
dipungkiri, Indonesia ditinjau dari aspek manapun merupakan sebuah bangsa yang
majemuk. Ini terlebih jika dikontrakan dengan bangsa-bangsa lain seperti
Jepang, Korea, Thailand, ataupun Anglo Saxon (Inggris). Kemajemukan ini tampak
dalam manifestasi kebudayaan bangsa Indonesia yang tidak “satu”. Budaya
Indonesia dapat dengan mudah dipecah kedalam budaya Jawa, Sunda, Batak,
Minangkabau, atau pun Toraja, sebagai misal.
Kemajemukan
juga termanifestasi dalam masalah agama, lokasi domestik, tingkat ekonomi
ataupun perbedaan-perbedaan sikap dalam politik. Sikap politik, secara khusus,
paling mudah menampakkan diri ke dalam bentuk partai-partai politik yang
bervariasi dan hidup berkembang di bumi Indonesia.
Ciri
dari masyarakat majemuk adalah secara atruktural memiliki sub-sub kebudayaan
yang bersifat diverse. Ia kurang mengalami perkembangan dalam hal sistem nilai
atau konsesur yang disepakati oleh seluruh anggota masyarakat. Kurang pola
ditandari oleh berkembanganya sistem nilai dari kesatuan-kesatuan sosial yang
menjadi bagian-bagiannya dengan penganutan peranggotanya masing-masing secara
tegar dalam tebentuknya yang relative murni serta sering timbulnya
konflik-konflik sosial. Masyarakat majemuk biasanya tersegmentasi kedalam
kelompok yang punyai sub kebudayaan yang berbeda.
Sebab
itu, merupakan suatu kajian menarik guna melihat seperti apa manifestasi
kemajemukan struktur masyarakat Indonesia ini. Kemudian penelaahan akan
dilakukan seputar kelebihan serta kelemahan dari struktur majemuk masyarakat
Indonesia ini.
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Masyarakat
multikultural merupakan suatu masyarakat yang terdiri atas banyak struktur
kebudayaan.Hal tersebut disebabkan karena banyaknya suku bangsa yang memilik
struktur budaya sendiri yang berbeda dengan budaya suku bangsa yang lainnya.
Masyarakat majemuk adalah suatu masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih
elemen yang hidup sendiri- sendiri. Perbedaan-perbedaan sukubangsa, agama,
adat, dan kedaerahan seringkali disebut sebagai ciri masyarakat Indonesia yang
bersifat majemuk, suatu istilah yang mula-mula dikenalkan oleh Furnivall untuk
menggambarkan masyarakat Indonesia pada masa Hindia Belanda. Konsep masyarakat
majemuk sebagaimana yang digunakan oleh ahli-ahli ilmu kemasyarakatan dewasa
ini memang merupakan perluasan dari konsep Furnivall tersebut.
Masyarakat
Indonesia pada masa Hindia Belanda, demikianlah menurut Furnivall, merupakan
suatu masyarakat majemuk (plural society), yakni suatu masyarakat yang terdiri
atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu
sama lain di dalam kesatuan politik (JS Furnivall, Netherlands India: A Study
of Plural Economy, Cambridge at The University Press, 1967, halaman 446-469).
B. RUMUSAN MASALAH
Dalam
penyusunan makalah ini penulis membatasi permasalahan-permasalahan sebagai
berikut:
1. Pengertian
masyarakat majemuk
2. Keanekaragaman
kultur indonesia
3. Struktur
masyarakat indonesia sebagai masyarakat majemuk
4. Konfigurasi etnis
masyarakat majemuk
5. Sebab-sebab
pluralitas (mengapa majemuk?)
C. TUJUAN MAKALAH
Dalam
pembuatan makalah ini bertujuan untuk:
1. Kita dapat
mengetahui masalah tentang Indonesia sebagai masyarakat majemuk.
2. Menambah wawasan
dan pengetahuan kepada penulis dan pembaca untuk mengetahui tentang Indonesia
sebagai masyarakat majemuk
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN MASYARAKAT MAJEMUK
Masyarakat
multikultural merupakan suatu masyarakat yang terdiri atas banyak struktur
kebudayaan.Hal tersebut disebabkan karena banyaknya suku bangsa yang memilik
struktur budaya sendiri yang berbeda dengan budaya suku bangsa yang lainnya.
Pendapat dari beberapa ahli tentang pengertian masyarakat multikultural yaitu:
v J.S.Furnivall menyatakan bahwa masyarakat majemuk adalah suatu
masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemen yang
hidup sendiri- sendiri,
tanpa
ada pembauran satu sama lain di dalam satu kesatuan politik.
v Clifford Geertz menyatakan bawah masyarakat majemuk merupakan
masyarakat yang terbagi ke dalam subsistem-subsistem yang lebih kurang berdiri
dan masing-masing subsistem terikat oleh ikatan-ikatan primordial.
v J.Nasikun menyatakan bahwa suatu masyarakat bersifat majemuk sejauh
masyarakat tersebut secara struktural memiliki subkebudayaan-subkebudayaan yang
bersifat deverse yang di tandai oleh kurang berkembangnya sistem nilai yang
disepakati oleh seluruh anggota masyarakat dan juga sistem nilai dari
kesatuan-kesatuan sosial, serta sering munculnya konflik-konflik sosial.
Ciri-ciri masyarakat
majemuk:
v Mempunyai struktur budaya lebih dari satu.
v
Nilai-nilai dasar yang merupakan
kesepakatan bersama sulit berkembang.
v
Sering terjadi konflik-konflik
sosial yang berbau SARA.
v
Struktur sosialnya lebih bersifat
nonkomplementer.
v
Proses integrasi yg terjadi
berlangsung secara lambat.
v Sering terjadi dominasi ekonomi, politik, dan sosial budaya.
Faktor-Faktor Penyebab Timbulnya Masyarakat
Majemuk :
v Keadaan geografis.
v Pengaruh kebudayaan asing.
v Kondisi iklim yang berbeda.
B. KEANEKARAGAMAN KULTUR INDONESIA
Selaku
pisau nalisa, perlu terlebih dahulu dibedah pengertian dari Keanekaragaman
kultur “Mutukultur”. Kajian ini mengenai masyarakat majemuk signifikan terutama
didalam masyarakat yang memang terdiri atas aneka pelapisan sosial dan budaya
yang satu sama lain saling berbeda. Indonesia, sebab itu, mengembangkan slogan
Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu). Slogan ini bersifat
filosofis politis. Oleh sebab itu tanpa adanya unsur pemersatu, akan mudah
kiranya memecah belah kohesi politik masyarakat yang mendalami sekujur
kepulauan nusantara ini.
Mengenai
keanekaragaman kultur ini, Bhikhu Parekh membedakannya menjadi 3 yaitu : (1)
Keanekaragaman Subkultural, (2) Keanekaragaman Perspektif, dan (3)
Keanekaragaman Komunal. Ketiga pengertian mengenai keanekaragaman ini memiliki
dampak berbedanya titik analisis atas kajian keanekaragaman atau multikultur
yang dilakukan.
1). Keanekaragaman
Subkultural
Menurut
Parekh, Keanekaragaman subkultural adalah sutu kondisi dimana para anggota
masyarakat memiliki satu kebudayaan umum yang luas dianut, beberapa diantara
mereka menyakinkan keyakinan dan praktek yang berbeda berkenaan dengan wilayah
kehidupan tertentu atau menempuh cara hidup mereka sendiri yang relative sangat
berbeda. Contoh ini adalah Komunitas Lia Eden, kelompok-kelompok ‘sempalann”
agama mainstream.
2). Keanekaragaman
Perspektif
Manurut
Parekh, Keanekaragaman perspektif adalah suatu kondisi dimana beberapa anggota
masyatakat sangat krisis terhadap beberapa prinsip atau nilai-nilai sentral
kebudayaan yang berlaku dan berusaha untuk menyatakannya kembali disepanjang
garis kelompok yang sesuai. Gerakan-gerakan Feminis dan emansipasi perempuan
merupakan perwakilan dari keanekaragaman perspektif. Kemudian isu-isu
pembentukan masyarakat madani di Indonesia, termasuk ke dalamnya isu-isu
pembentukan Negara Islam atau Negara Pancasila, mewakili Keanekaragaman
Perspektif ini.
3). Keanekaragaman
Komunal
Keanekaragaman Komunal adalah suatu kondisi
sebagian besar masyarakat yang mencakup beberapa komunitas yang sadar diri dan
terorganisasi dengan baik. Mereka menjalankan dan hidup dengan sistem kayakinan
dan praktek yang berlainan antara kelompok satu dengan kelompok lainnya.
Misal
dari Keanekaragaman Komunal ini adalah para imigran yang baru tiba,
komunitas-komunitas Yahudi di Eropa dan Amerika, kaum Gypsi, masyarakat Amish,
kelompok-kelompok cultural yang berkumpul secara territorial seperti kaum
Basque di Spanyol. Di Indonesia asuk ke dalam kelompok ini misalnya
kawasan-kawasan Perinan (hunian komunitas Cina), wilayah-wilayah yang dihuni
suku-suku bangsa di luar wilayahnya (komunitas Batak di Jakarta dan Bandung,
misalnya).
C. STRUKTUR MASYARAKAT INDONESIA SEBAGAI MASYARAKAT
MAJEMUK
Struktur
masyarakat Indonesia ditandai oleh dua cirinya yang bersifat unik.
1. Horizontal
Ditandai
oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan social berdasarkan perbedaan
suku-bangsa, perbedaan agama, adat serta perbedaan-perbedaan kedaerahan.
2. Vertical
Strktur
masyarakat Indonesia ditandai adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara
lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup dalam.
Perbedaan-perbedaan
sukubangsa, agama, adat, dan kedaerahan seringkali disebut sebagai ciri
masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk, suatu istilah yang mula-mula
dikenalkan oleh Furnivall untuk menggambarkan masyarakat Indonesia pada masa
Hindia Belanda. Konsep masyarakat majemuk sebagaimana yang digunakan oleh
ahli-ahli ilmu kemasyarakatan dewasa ini memang merupakan perluasan dari konsep
Furnivall tersebut.
Masyarakat
Indonesia pada masa Hindia Belanda, demikianlah menurut Furnivall, merupakan
suatu masyarakat majemuk (plural society), yakni suatu masyarakat yang terdiri
atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu
sama lain di dalam kesatuan politik (JS Furnivall, Netherlands India: A Study
of Plural Economy, Cambridge at The University Press, 1967, halaman 446-469).
Dengan cara yang
lebih singkat, Pierre L. van den Berghe menyebutkan beberapa karakteristik
masyarakat majemuk, sebagai berikut:
1. Terjadinya
segmentasi ke dalam kelompok-kelompok yang
seringkali memiliki subkebudayaan yang berbeda satu sama lain.
2. Memiliki struktur
sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat
nonkomplementer.
3. Kurang mampu
mengembangkan konsensus di antara para anggota-anggotanya terhadap nilai-nilai
yang bersifat dasar.
4. Secara relatif
sering kali mengalami konflik-konflik di antara kelompok yang satu dengan
kelompok yang lain.
5. Secara relatif
integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di
dalam bidang ekonomi.
6. Adanya dominasi
politik oleh suatu kelompok atas kelompok yang lain
D. KONFIGURASI ETNIS MASYARAKAT MAJEMUK
Dr.
Nasikun menyatakan bahwa berdasarkan konfigurasinya, masyarakat majemuk dapat
dibedakan ke dalam empat kategori, yaitu:
a. masyarakat majemuk
dengan kompetisi seimbang
b. masyarakat majemuk
dengan mayoritas dominan
c. masyarakat majemuk
dengan minoritas dominan
d. masyarakat majemuk
dengan fragmentasi
Kategori
pertama merupakan masyarakat majemuk yang terdiri atas sejumlah kelompok etnik
yang kurang lebih seimbang, sehingga untuk mencapai integrasi sosial atau
pemerintahan yang stabil diperlukan koalisi lintas-etnis.
Kategori
kedua dan ketiga merupakan varian-varian masyarakat majemuk yang memiliki
konfigurasi etnik yang tidak seimbang, di mana salah satu kelompok etnik
tertentu (kelompok mayoritas pada kategori kedua dan kelompok minoritas pada
kategori ketiga) memiliki competitive advantage yang strategis di hadapan
kelompok-kelompok yang lain.
Masyarakat
majemuk dengan kategori keempat (dengan fragmentasi) meliputi
masyarakat-masyarakat yang terdiri atas sejumlah besar kelompok etnik, semuanya
dengan jumlah anggota yang kecil dan tidak satupun memiliki posisi politik yang
dominan dalam masyarakat. Kehidupan politik dalam masyarakat dengan konfigurasi
demikian sangatlah labil, karena ketidakmampuan membangun coalition building
yang diperlukan untuk mengakomodasi konflik-konflik yang pada umumnya bersifat
anarkhis sebagai akibat dari kecurigaan etnik dan hadirnya pemerintahan yang
otoriterian.
E. SEBAB-SEBAB PLURALITAS (MENGAPA MAJEMUK?)
Ada
beberapa faktor yang menyebabkan mengapa pluralitas masyarakat Indonesia yang
demikian itu terjadi. Yang pertama, keadaan geografik wilayah Indonesia yang
terdiri atas kurang lebih tiga ribu pulau yang terserak di sepanjang equator
kurang lebih tiga ribu mil dari timur ke barat, dan seribu mil dari utara
selatan, merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap terjadinya
pluralitas sukubangsa di Indonesia. Tentang berapa jumlah sukubangsa yang
sebenarnya ada di Indonesia, ternyata terdapat berbagai pendapat yang tidak
sama di antara para ahli ilmu kemasyarakatan. Hildred Geertz misalnya
menyebutkan adanya lebih kurang tiga ratus sukubangsa di Indonesia,
masing-masing dengan bahasa dan identitas kultural yang berbeda-beda.
Skinner
menyebutkan adanya lebih dari 35 sukubangsa di Indonesia, masing-masing dengan
adat istiadat yang tidak sama. Lebih dari sekedar menyebutkan banyaknya
sukubangsa di Indonesia, Skinner menggambarkan juga perbandingan besarnya
sukubangsa-sukubangsa tersebut. Beberapa sukubangsa yang paling besar
sebagaimana disebut oleh Skinner adalah Jawa, Sunda, Madura, Mingangkabau, dan
Bugis. Kemudian ada beberapa sukubangsa yang lain yang cukup besar, yaitu Bali,
Batak Toba, dan Sumbawa. Mengikuti pengertian sukubangsa yang dikemukakan oleh
para ahli antropologi, Dr. Nasikun menggolongkan orang-orang Tionghoa sebagai
salah satu sukubangsa di Indonesia, dan berdasarkan laporan Biro Pusat
Statistik, dan berdasarkan perkiraan tambahan penduduk golongan Tionghoa 3 persen,
serta dengan mengingat kurang lebih 100.000 orang Tionghoa kembali ke Tiongkok
selama tahun 1959 dan 1960, diperkirakan jumlah orang Tionghoa yang tinggal di
Indonesia pada tahun 1961 sebanyak 2,45 juta orang, sementara penduduk pribumi
waktu itu diperkirakan 90.882 juta orang. Walaupun jumlah orang Tionghoa sangat
kecil dibandingkan dengan penduduk pribumi, tetapi mengingat kedudukan mereka
yang sangat penting dalam kehidupan ekonomi, mereka sangat mempengaruhi
hubungan mereka dengan sukubangsa-sukubangsa yang lain (yang secara keseluruhan
disebut pribumi).
Faktor
kedua yang menyebabkan pluralitas masayarakat Indonesia adalah kenyataan bahwa
Indonesia terletak di antara Samudera Indonesia dan Samudera Pasifik. Keadaan
ini menjadikan Indonesia menjadi lalu lintas perdagangan, sehingga sangat
mempengaruhi terciptanya pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia. Telah
sejak lama masyarakat Indonesia memperoleh berbagai pengaruh kebudayaan bangsa
lain melalui para pedagang asing. Pengaruh yang pertama kali menyentuh
masyarakat Indonesia adalah agama Hindu dan Budha dari India sejak kurang lebih
empat ratus tahun sebelum masehi. Hinduisme dan Budhaisme pada waktu itu
tersebar meliputi daerah yang cukup luas di Indonesia, serta lebur bersama-sama
dengan kebudayan asli yang telah hidup dan berkembang lebih dulu. Namun,
pengaruh Hindu dan Budaha terutama dirasakan di Pulau Jawa dan Pulau Bali.
Faktor
ketiga, iklim yang berbeda-beda dan struktur yang tidak sama di antara berbagai
daerah di kepulauan Nusantara, telah mengakibatkan pluralitas regional.
Perbedaan curah hujan dan kesuburan tanah merupakan kondisi yang menciptakan
dua macam lingkungan ekologis yang berbeda, yakni daerah pertanian basah (wet
rice cultivation) yang terutama banyak dijumpai di Pulau Jawa dan Bali, serta
daerah ladang (shifting cultivation) yang banyak dijumpai di luar Jawa.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Jadi
dalam pembahasan ini dapat kami simpulkan bahwa masyarakat majemuk adalah suatu
masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemen yang hidup sendiri- sendiri.
Struktur
masyarakat Indonesia ditandai oleh dua cirinya yang bersifat unik:
a.
Horizontal,Ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan social berdasarkan
perbedaan suku-bangsa, perbedaan agama, adat serta perbedaan-perbedaan
kedaerahan.
b. Vertical ,Strktur
maysrakat Indonesia ditandai adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan
atas dan lapisan bawah yang cukup dalam.
Pierre
L. van den Berghe menyebutkan beberapa karakteristik masyarakat majemuk,
sebagai berikut:
a. Terjadinya
segmentasi ke dalam kelompok-kelompok yang seringkali memiliki subkebudayaan
yang berbeda satu sama lain.
b. Memiliki struktur
sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat
nonkomplementer.
c. Kurang mampu
mengembangkan konsensus di antara para anggota-anggotanya terhadap nilai-nilai
yang bersifat dasar.
d. Secara relatif
sering kali mengalami konflik-konflik di antara kelompok yang satu dengan
kelompok yang lain.
e. Secara relatif
integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di
dalam bidang ekonomi.
f. Adanya dominasi
politik oleh suatu kelompok atas kelompok yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
v Nasikun. 1984. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT Grafiti
Pers.
Nasikun. 1990. Masyarakat Majemuk dan Dinamika
Integrasi Nasional. Suatu Tinjauan Sosiologis. Makalah disampaikan pada Seminar
Pluralitas, Kesenjangan Sosial, dan Integrasi Nasional dalam rangka HUT KNPI
ke17, 23 Juli 1990 di Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar