BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Istilah “sosiologi” dicuatkan oleh
Auguste Comte (1768-1857), salah seorang pendiri disiplin ilmu ini. Secara
sederhana “sosiologi” berarti studi mengenai masyarakat, tetapi dalam
prakteknya “sosiologi” berarti studi mengenai masyarakat dipandang dari satu
segi tertentu. Baik Comte maupun Herbert Spencer (1820-1903) seorang pendiri
lainnya, menekankan masyarakat sebagai unit dasar dari analisa sosiologis,
sedang bermacam-macam pelembagaan (seperti keluarga dan lembaga-lembaga
politik, ekonomi dan keagamaan) dan interelasi antara lembaga-lembaga itu
merupakan sub unit dari analisa. Maka dalam ikhtiar untuk memberikan penekanan
pada konteks kemasyarakatan, para sosiolog modern dengan berbagai cara dalam
mendefinisikan sosiologi sebagai suatu
“ilmu pengetahuan yang membahas kelompok-kelompok sosial” “studi
mengenai interaksi-interaksi manusia dan interelasinya”. Karena itu pusat
perhatian sosiologi ialah tingkah laku manusia, namun tidak terkonsentrasikan
pada tingkah laku individual dan tingkah laku kolektifnya karena hal itu
dianggap sebagai bidang psikiatri dan psikologi. Apa yang menjadi pusat
perhatian sosiologi adalah tingkah laku manusia baik yang individual maupun
yang kolektif, namun lebih banyak segi kolektifnnya dan relasinya dengan
masyarakat. Dengan demikian sosiologi merupakan studi mengenai tingkah laku
manusia dalam konteks sosial.
Kajian dari sosiologi politik adalah
tingkah laku masyarakat secara individu maupun secara kolektif dalam
berpolitik. Partisipasi politik adalah bagian penting dalam kehidupan politik
suatu negara, terutama bagi negara yang menyebut dirinya sebagai negara
demokrasi, partisipasi politik merupakan salah satu indikator utama. Artinya,
suatu negara baru bisa disebut sebagai negara demokrasi jika pemerintah yang
berkuasa memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada warga negara untuk
berpartisipasi dalam kegiatan politik sebaliknya, warga negara yang
bersangkutan juga harus memperlihatkan tingkat partisipasi politik yang cukup
tinggi. Jika tidak, maka kadar
kedemokratisan negara tersebut masih diragukan. Masalah partisipasi politik
bukan hanya menyangkut watak atau sifat dari pemerintahan negara, melainkan
lebih berkaitan dengan sifat dan karakter masyarakat suatu negara dan pengaruh
yang ditimbulkannya. Oleh karena itu, partisipasi politik menjadi kajian
penting dalam sosiologi politik, disamping juga menjadi kajian ilmu politik.
Dalam pembahasan ini partisipasi politik menjadi topik inti yang harus
dipelajari dengan sungguh-sungguh.
Atas dasar pemikiran tersebut,
kelompok kami memberi judul makalah ini “PARTISIPASI POLITIK”.
- Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, maka rumusan masalah dari makalah ini adalah:
1. Apa pengertian dari partisipasi politik?
2. Bagaimana tipologi dari partisipasi politik?
3. Bagaimana bentuk dan hierarki dari partisipasi politik?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Partisipasi politik
Sebelum
mendefinisikan partisipasi politik secara komprehensif, terlebih dahulu
mendefinisikan secara kosa kata. Ada dua kosa kata yaitu partisipasi dan
politik. Partisipasi adalah perihal turut berperan serta dalam suatu kegiatan;
keikutsertaan; peran serta, Miriam Budiardjo mengatakan bahwa Politik adalah
usaha menggapai kehidupan yang baik. Politik sangat erat kaitannya dengan
masalah kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan publik dan alokasi atau
distribusi.
Sebagai
definisi umum dapat dikatakan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan
seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan
politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan Negara dan, secara lagsung atau tidak langsung,
memengaruhi kebijakan pemerintah (public
policy).[1]
Kegiatan ini mencakup kegiatan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum,
menghadiri rapat umum, mengadakan hubungan (contacting)
atau lobbying dengan pejabat
pemerintah atau anggota parlemen, menjadi anggota partai atau salah satu
gerakan sosial dengan direct action,
dan sebagainya.
Dalam
buku Dasar-Dasar Ilmu Politik (Miriam Budiardjo, 2007) disebutkan pula
pengertian partisipasi politik menurut beberapa tokoh.
Herbert
McClosky seorang tokoh masalah partisipasi berpendapat:
Partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga
masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan
penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan
kebijakan umum. (The term political
participation will refer to those voluntary activities by which members of a
society share in the selection of rulers and, directly or indirectly, in the
formation of public policy).
Dalam hubungan dengan Negara-negara
baru Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam No Easy Choice: Political
Participation in Developing Countries member tafsiran yang lebih luas
dengan memasukan secara eksplisit tindakan illegal dan kekerasan.
Partisipasi politik adalah kegiatan
warga yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk memengaruhi
pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau
kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau
dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif. (By political participation we mean activity
by private citizens designed to influence government decision making.
Participation may be individual or collective, organized or spontaneous,
sustained or sporadic, peaceful or violent, legal or illegal, effective or in
effective).
Di Negara- Negara demokrasi konsep partisipasi politik bertolak dari paham
bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, yang dilaksanakan melalui kegiatan
bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat itu dan
untuk menentukan orang-orang yang akan memegang tampuk pimpinan. Jadi, partisipasi politik merupakan pengejawantahan dari
penyelenggaraan kekuasaan politik yang abash oleh rakyat.
Samuel P. Huntington dan
Joan M. Nelson, Partisipasi politik adalah kegiatan warga preman (private
citizen) yang bertujuan memengaruhi pengambilan kebijakan oleh pemerintahan.
Michael Rush Philip Althoff, partisipasi politik adalah
keterlibatan individu sampai macam-macam tingkatan di dalam sistem politik.
Kevin R. Hardwic, partisipasi politik memberi perhatian cara-cara
warga negara berupaya menyampaikan kepentingan-kepentingan mereka terhadap
pejabat-pejabat publik agar mampu mewujudkan kepentingan-kepentingan tersebut.
Ramlan Surbakti partisipasi politik adalah keikut sertaan warga
negara biasa dalam menentukan segala keputusan menyangkut atau memengaruhi
hidupnya. Sesuai dengan istilah partisipasi (politik) berarti keikutsertaan
warga negara biasa (yang tidak mempunyai kewenangan) dalam memengaruhi proses
pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik.
Partisipasi politik adalah bagian penting dalam kehidupan politik
semua negara, terutama bagi negara yang mmenyebut dirinya sebagai negara
demokrasi, partisipasi politik merupakan salah satu indikator utama. Artinya,
suatu negara baru bisa disebut sebagai negara demokrasi jika pemerintah yang
berkuasa memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada warga negara untuk
berpartisipasi dalam kegiatan politik, sebaliknya warga negara yang
bersangkutan juga harus memperlihatkan tingkat partisipasi politik yang cukup
tinnggi. Jika tidak, maka kadar kedemokratisan negara tersebut masih diragukan
Masalah partisipasi politik bukan hanya menyangkut watak atau sifat
dari pemerintahan negara, melainkan sifat, watak atau karakter masyarakat suatu
negara dan berpengaruh yang ditimbulkannya. Oleh karena itu, partisipasi politik
menjadi kajian penting dalam sosiologi politik, disamping juga menjadi kajian
ilmu politik.
B.
Tipologi
dan Model Partisipasi Politik
Dari sisi tipologi, partisipasi politik dapat dibedakan menjadi
partisipasi aktif dan partisipasi pasif. Yang termasuk kedalam partisipasi
aktif: mengajukan usul mengenai suatu kebijakan umum yang berlainan dengan
kebijakan yanng dibuat pemerintah, mengajukan kritik dan perbaikan untuk
meluruskan kebijakan, membayar pajak, dan memilih pemimpin pemerintahan.
Sebaliknya, kegiatan yang termasuk dalam kategori partisipasi pasif berupa
kegiatan yang mentaati pemerintah, menerima, dan melaksanakan saja setiap
keputusan politik. Partisipasi politik aktif menunjukan kegiatan yang
berorientasi pada proses infut dan output politik, sedangkan partisipasi
politik pasif merupakan kegiatan yang berorientasi pada proses output.
Disamping itu, terdapat sejumlah anggota masyarakat yang tidak termasuk dalam
kategori partisipasi politik aktif maupun partisipasi politik pasif. Kelompok
ini muncul didasarkan pada pandangan
mereka yang menganggap masyarakat dan sistem politik yang ada telah
menyimpang dari apa yang mereka cita-citakan. Mereka disebut sebagai kelompok
apatis dan golongan putih (golput).
Tipologi partisipasi politik dapat pula didasarkan pada jumlah
pelaku, yaitu individual dan kolektif. Partisipasi politik individual ialah
kegiatan warga negara secara perseorangan terlibat dalam kehidupan politik.
Adapun yang dimaksud partisipasi politik
kolektif adalah kegiatan warga negara secara serentak untuk memengaruhi
penguasa seperti kegiatan dalam pemilihan umum. Selanjutnya, partisipasi
kolektif dibedakan menjadi dua, yaitu partisifasi kolektif nonkonvensional
(agresif), seperti pemogokan yang sah, pembangkangan warga negara (civil disobedience),
pemikiran pembangunan umum, dan huru-hara. Partisipasi politik kolektif secara
agresif dibedakan menjadi dua, yaitu aksi yang kuat ddan aksi yang lemah, kedua
aksi ini tidak menunjukan sifat yang baik atau buruk. Kegiatan politik dapat
dikategorikan kuat, menurut Douglas A. Hibbs, apabila memenuhi tiga
kondisiberikut: bersifat anti rezim dalam arti melanggara peraturan mengenai
partisipasi politik yang normal (melanggar hukum), menggangu fungsi
pemerintahan, dan merupakan kegiatan kelompok yang dilakukan oleh nonelit. Ini
artinya aksi protes yang dibenarkan oleh hukum tidak termasuk dalam kategori
partisipasi politik agresif, apalagi partisipasi politik yang kuat secara
agresif.
Berbicara partisipasi politik dari sisi model. Dari sisi ini,
partisipasi politik apabila didasarkan pada faktor kesadaran politik dan
kepercayaan kepada pemerintah (sistem politik), dapat dibedakan menjadi empat model.
- Apabila seseorang memiliki kesadaran
politik dan kepercayaan pada pemerintah yang tinggi, partisipasi politik
cenderung aktif.
- Apabila kesadaran politik dan kepercayaan
kepada pemerintah rendah, partisipasi politik cenderung pasif tertekan
(apatis).
- Apabila kesadaran politik tinggi tetapi
kepercayaan terhadap pemerintah rendah, partisipasi politik cenderung militan-radikal.
- Apabila kesadaran politik sangat rendah
tetapi kepercayaan terhadap pemirintah sangat tinggi, partisipasi
politik cenderung tidak akti
(pasif).
Baik
faktor kesadaran politik maupun faktor kepercayaan kepada pemerintah bukan
merupakan variabel atau faktor-faktor yang berdiri sendiri (variabel
indevenden). Dengan kata lain, tinggi rendah keduanya faktor itu dipengaruhi
faktor lain, seperti status sosial dan status ekonomi, afiliasi politik orang
tua, dan pengalaman berorganisasi. Adapun hubungan faktor tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut. Setatus sosial dan status ekonomi, afiliasi
politik orang tua, dan pengalaman berorganisasi dikategorikan sebagai variabel
pengaruh atau variabel independen. Kesadaran politik dan kepercayaan terhadap
pemerintah dikategorikan sebagai variabel antara atau intevening variables,
kemudian, partisipasi politik dikategorikan sebagai variabel terpengaruh atau
variabel dependen.
C.
Bentuk
dan Hierarki Partisipasi politik
Bentuk
dan hierarki partisipasi politik itu sendiri dalam kerangka konsep Rush dan
Althoff, secara berturut-turut adalah:
- Voting (pemberian suara),
- Ikut serta dalam diskusi politik informal
minat umum dalam politik,
- Partisipasi dalam rapat umum,
- Keanggotaan pasif suatu organisasi semu
politik (quasi political),
- Keanggotaan aktif suatu organisasi semu
politik (quasi political),
- Keanggotaan pasif suatu organisasi
politik,
- Keanggotaan aktif suatu organisasi
politik,
- Mencari jabatan politik atau administrasi,
- Menduduki jabatan politik atau
administrasi.
Untuk menganalisis
tingkatan-tingkatan yang berpartisipasi politik, Samuel P. Huntington dan Joan
M. Nelson mengajukan dua kriteria penjelas:
·
Dilihat
dari dua lingkup atau proporsi dari suatu kategori warga negara yang melibatkan
diri dalam kegiatan-kegiatan partisipasi politik.
·
Intensitas,
ukuran, jangka waktu, dan arti penting dari kegiatan khusus itu bagi sistem
politik.
Hubungan antara kedua kriteria ini cenderung diwujudkan dalam
hubungan “berbanding terbalik”. Lingkup
partisipasi politik yang besar biasanya terjadi dalam intensitas yang kecil
atau rendah, misalnya partisipasi dalam pemilihan umum. Sebaliknya, jika
lingkup partisipasi politik rendah atau kecil, intensitasnya semakin tinggi,
misalnya kegiatan para aktivis partai politik, pejabat partai politik, kelompok
penekan. Jadi, terjadi hubungan, “semakin luas ruang lingkup partisipasi
politik semakin rendah atau kecil intensitasnya. Sebaliknya, semakin kecil
ruang lingkup partisipasi politik, maka intensitasnya semakin tinggi”.
Merangkum berbagai bentuk partisipasi politik, Huntington dan Nelson
(1994) mengklasifikasikan, partisipasi politik dalam empat bentuk, menurutnya
dari berbagai studi mengenai partisipasi politik menggunakan berbagai
klasifikasi yang berbeda-beda. akan tetapi, riset yang kebanyakan dilakukan
sekarang membedakan jenis-jenis perilaku dalam empat jenis berikut.
a.
Kegiatan
pemilihan yang mencakup pemberian suara, memberikan sumbangan untuk kampanye,
bekerja dalam kegiatan pemilihan, mencari dukungan bagi seorang calon, atau
setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil pemilihan.
b.
Lobbying
yang mencakup upaya-upaya, baik perorang maupun kelompok untuk melindungi
pejabat-pejabat pemerintahan atau pimpinan-pimpinan politik dengan maksud
mempengaruhi keputusan-keputusan yang akan diambil.
c.
Kegiatan
organisasi, menyangkut kegiatan-kegiatan sebagai anggota atau pejabat suatu
organisasi yang tujuan utamanya mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah.
d.
Mencari
koneksi, yaitu tindakan perorangan yang ditunjukan terhadap pejabat-pejabat
pemerintahan dan biasanya dengan maksud memperoleh manfaat baik hanya seoorang atau beberapa orang.
Bila
dilihat dari jumlah pelaku, partisipasi politik dapat dibedakan menjadi
berikut:
a.
Partisipasi
individual, yaitu partisipasi yang dilakukan oleh orang perorang secara
individual, misalnya menulis surat yang berisi tuntutan atau keluhan kepada
pemerintah.
b.
Partisipasi
kolektif, yakni kegiatan politik yang dilakukan oleh sejumlah warga negara secara
serentak yang dimaksudkan untuk mempengaruhi penguasa. Partisipasi kolektif ini
di bagi lagi menjadi dua, yaitu konvensional dan non-konvensional.
Tur
Wahyudin (2008), membagi bentuk partisipasi politik berdasarkan tipe
masyarakatnya seperti berikut ini:
a.
Masyarakat
Primitif, dalam masyarakat primitif, kehidupan politik cenderung erat
terintegrasi dengan kegiatan masyarakat pada umumnya. Oleh sebab itu,
partisipasi politik pada masyarakat ini cenderung tinggi dan mungkin sulit
untuk membedakannya dari kegiatan yang lain.
b.
Masyarakat
Berkembang, dalam masyarakat berkembang, karena adanya kombinasi dari institusi
dan pengaruh modern dan tradisional, partisipasi umumnya dibatasi oleh
faktor-faktor seperti tingkatan melek huruf dan masalah umum. Oleh karenanya,
partisipasi dalam masyarakat ini dalam beberapa bentuk cenderung sangat tinggi,
dan yang lainnya cenderung sangat rendah.
c.
Masyarakat
Totaliter, salah satu karakteristik paling penting dari masyarakat totaliter
adalah bahwa mereka berusaha mengontrol partisipasi dalam proses politik pada semua tingkatan.

Masyarakat Totaliter
![]() |
Masyarakat Berkembang
![]() |
Masyarakat Primitif
Piramid partisipasi politik dari David F. Roth dan Frank L. Wilson
![]() |

![]() |
||||
|
Aktivis
![]() |
||||
|
Partisipan
![]() |
||||
|
Pengamat
![]() |
|||
|
Apolitis
Selain
itu, bentuk partisipasi dapat diukur dengan sebuah gambar yang menunjukan
hierarki yang paling sederhana yang
didasarkan atas taraf dan luasnya partisipasi. Setidaknya, gambar
berikut ini dapat menjelaskan suatu bentuk sekaligus hierarki partisipasi
politik.
Tingkatan
Partisipasi Politik
![]() |










Apathi total
Sumber : Rush Althoff, Pengantar Sosiologi Politik, Rajawali Pers,
2003:122
Hierarki yang dinyatakan pada gambar diatas dimaksudkan untuk
memotret tingkatan partisipasi politik dalam suatu kekuasaan dan untuk dapat
diterapkan pada seluruh tipe sistem politik. Definisi dari berbagai tingkatan
gambar di atas, tentunya memiliki perbedaan antara satu dan lainnya dengan
melihat besar kecilnya suatu aktivitas terkait dengan politik.
Milbarth (1965), sebagaimana dikutip
Risang Rimbatmaja (2004) melakukan pembagian partisipasi yang rutin ke dalam
berbagai kategori, antara lain, edipoosic versus continous. Partisipasi yang
episodik adalah partisipasi yang terikat pada waktu spesifik tertentu, misalnya
dalam pemilu. Di sisi lain, partisipasi yang terikat pada waktu yang relatif
panjang seperti memegang jabatan politis. Dalam bentuk episodik, Milbarth
membuat pemetaan yang tampaknya masih relevan untuk kondisi sekarang.
Rinciannya mengandung empat dimensi yang hierarkis, seperti berikut.
- Kegiatan-kegiatan sebagai gladiator
(Gladiator Activities)
·
Holding
Public and party office
·
Being
a candidate for office
·
Attending
a caucus or a strategi meeting
·
Becoming
an active member in political party
·
Contributing
time in a political campaign
- Kegiatan-kegiatan transisi (Transition
Activities)
·
Atteending
a political meeting or rally
·
Making
a monetary contribution to party or candidate
·
Contacting
a public official or a political leader
- Kegiatan-Kegiatan Sebagai Penonton (Spectator
Activities)
·
Wearing
a button or putting a sticker on one’s car
·
Atempting
to talk another into voting a certain
way
·
Initiating
a political discussion
·
Votting
·
Exposing
oneself to political stimuli
- Apatis (Apathetic)
Klasifikasi partisipasi versi Milbarth tersebut menggunakan analogi
permainan gulat di zaman roma yang terkenal,yakni gladiator. Sebelumnya, ada
tiga peran penting dalam permainan itu yakni :

Pemain
(Gladiators)
![]() |
Transisi

Penonton
(Spectators)
- Yang bermain (gladiator)
5-7% populasi termasuk gladiators, yaitu orang yang sangat aktif
dalam dunia politik.
- Yang menonton (spectator)
60% populasi aktif secara minimal, termasuk memakai hak pilihnya.
- Transisi yang menuju tingkat tertinggi
(transition), yakni gladiator.
Bagian terendah adalah mereka yang apatis. Mereka sebetulnya tidak
termasuk dalam piramida karena tidak mengikuti permainan tersebut. Namun
demikian, agak sulit mengabaikan bentuk ini mengingat dalam realitaas politik,
kelompok itu emang eksis dan terkadang mebawa pengaruh politik. Masih berkaitan
Masih berkaitan dengan partisipasi rutin, Barnes dan Kaase (1979)
melakukan rincian sedikit berbeda. Mereka melihat partisipasi rutin dalam
konteks pemilu dan politik sehari-hari dalam bentuk berikut:
- Memapari dirinya sendiri dengan artikel
pemilu dan politik
- Mendiskusikan politik dan pemilu
- Menjadi opinion leader
- Menggunakan simbol-simbol partai
- Menghadiri pertemuan politik.
Apabila dibandingkan, tampak bahwa sebagian besar dimensi versi
Barnes dan Kaase sebetulnya masuk dalam kategori penonton dalam versi Milbarth.
Satu dimensi masuk kategori yang lebih advance, yakni teransisi. Karena
substansinya sama, kedua rincian itusebetulnya subsitutif, dalam pengertian,
tidak akan ada beda substansi bila kita mengambil versi Milbarth ataupun yang
Barnes dan kaase.
Berkenaan dengan beragamnya bentuk dan tingkatan partisipasi
politik di atas, Gabriel A. Almond membedakan partisipasi politik menjadi dua
bentuk aksi, yaitu:
1.
Partisipaasi
politik konvensional, yaitu bentuk partisipasi politik yang “normal” dalam
demokrasi modern.
2.
Partisipasi
politik non-konvensional, yaitu kegiatan ilegal dan bahkan penuh kekerasan
(violence) dan revolusioner (Mochtar Mas’eod dan MacAndrew, 1995:48)
Bentuk-bentuk
partisipasi politik versi Almond
- Konvensional
·
Pemberian
suara
·
Diskusi
politik
·
Kegiatan
kampanye
·
Membentuk
dan bergabung dengan kelompok kepentingan
·
Komunikasi
individual dengan pejabat politik dan administrasi
- Non-Konvensional
·
Pengajuan
petisi
·
Berdemontrasi/unjuk
rasa
·
Konfrontasi
·
Mogok
·
Tindak
kekerasan politik terhadap harta benda (perusakan, pemboman, pembakaran)
·
Tindakan
kekerasan politik teradap manusia (penculikan, pembunuhan)
·
Perang
gerilya
D.
Konsep
partisipasi politik
Partisipasi berasal dari bahsa latin, yaitu pars yang
artinya bagian dan capere (sipasi) yang artinya memangambil. Bila
dihubungkan “berarti mengambil bagian”. Dalam bahasa Inggris, participale atau
participation berarti mengambil bagian atau mengambil peranan dalam aktivitas
atau kegiatan politik suatu negara.
Menurut Gabriel Almond (1999), partisipasi politik tidak hanya
sebatas sebagai mengambil bagian atau peranan dalam konteks kegiatan politik.
Akan tetapi, menurutnya partisipasi politik selalu diawali oleh adanya
artikulasi kepentingan dimana seorang individu mampu mengontrol sumber daya
politik, seperti halnya seorang pemimpin partai politik atau seorang diktator
militer. Peran mereka sebagai aggregator politik (penggalang/penyatu dukungan)
akan sangat menentukan bagi bentuk partisipasi politik selanjutnya. Menurutnya
negara besar memiliki bangunan organisasi yang telah terspesialisasi dalam menyalurkan bentuk agregasi politik
berikut kebijakan terkait menghasilkan partai politik. Oleh karena itu,
partisipasi politik menurut Gabriel Almond (1999), terbagi kedalam tiga
kategori.
![]() |
|||||
![]() |
|||||
![]() |
Gaventa
dan Valderama (2001) menyatakan, bahwa partisipasi politik melibatkan interaksi
perseorangan atau organisasi, biasanya partai politik, dengan negara. Karena
itu, partisipasi politik sering kali dihubungkan dengan demokrasi politik,
perwakilan, dan partisipasi tak langsung. Lanjutnya partisipasi politik
diungkapkan dalam tindakan individu atau kelompok terorganisasi untuk melakukan
pemungutan suara, kampanye, protes, untuk mempengaruhi wakil-wakil
pemerintahan. Dengan demikian, Gaventa dan Valderama lebih melihat partisipasi
politik sebagai orientasi pada “mempengaruhi”
dan “mendudukan wakil-wakil rakyat”.
E.
Fungsi
Partisipasi politik
Sebagai suatu tindakan atau
aktivitas, baik secara individualmaupun kelompok, partisipasi politik memiliki
beberapa fungsi. Robert Lane (Rush dan Althoff, 2005) dalam studinya tentang
keterlibatan politik , menemukan empat fungsi partisipasi politik bagi
individu-individu.
1.
Sebagai
sarana untuk mengejar kebutuhan ekonomis.
2.
Sebagai
sarana untuk memuaskan suatu kebutuhan bagi penyesuaian sosial.
3.
Sebagai
saran untuk mengejar nilai-nilai khusus.
4.
Sebagai
sarana untuk memenuhi keutuhan alam bawah sadar dan kebutuhan psikologis
tertentu.
Dari
sisi lain, Arbit Sanit (Sastroatmodjo, 1995) memandang ada tiga fungsi
partisipasi politik.
1.
Memberikan
dukungan kepada penguasa dan pemerintah yang dibentuknya beserta sistem politik
yang dibentuknya.
2.
Sebagai
usaha untuk menunjukkan kelemahan dan kekurangan pemerintahan
3.
Sebagai
tantangan terhadap penguasa dengan maksud menjatuhkannya sehingga kemudian
diharapkan terjadi perubahan struktural dalam pemerintahan dan dalam sistem
politik, misalnya melalui pemogokan, hura-hura dan kudeta.
Partisipasi
politik juga mempunyai fungsi bagi kepentingan pemerintahan. Untuk kepentingan
pemerintahan, partisipasi politik mempunyai fungsi sebagai berikut:
1.
Untuk
mendorong program-program pemerintah. Hal ini berarti bahwa peran serta
masyarakat diwujudkan untuk mendukung program politik dan program pemerintah.
2.
Sebagai
institusi yang menyuarakan kepentingan masyarakat untuk masukan bagi pemerintah
dalam mengarahkan dan meningkatkan pembangunan.
3.
Sebaga
sarana untuk memberikan masukan, saran dan kritik terhadap pemerintah dalam
perencanaan dan pelaksanaan program-program pembanngunan.
F.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi partisipasi politik
Partisipasi politik sebagai suatu
aktivitas, tentu dipengaruhi oleh berbagai faktor, banyak pendapat yang
menyoroti faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi politik. Ada yang
menyorotinya dari dalam diri seseorang, dari luar dan ada yang
menggabungkannya. Arnstein S.R melihat bahwa partisipasi politik masyarakat
didasarkan kepada faktor politik untuk menentukan suatu produk akhir. Lebih
rinci, ia menjelaskan faktor politik tersebut meliputi komunikasi politik,
kesadaran politik, pengetahuan masyarakat terhadap proses pengambilan
keputusan, dan kontrol masyarakat terhadap kebijakan publik. Sedangkan menurut
Frank Lindenfeld, faktor utama yang mendorong seseorang berpartisipasi politik
adalah kepuasan finansial. Dalam studinya, ia menemukan bahwa status ekonomi
yang rendah menyebabkan seseorang merasa teralienasi dari kehidupan politik,
dan orang yang bersangkutanpun akan menjadi apatis. Menurutnya, hal ini tidak
terjadi pada orang yang memiliki kemapanan ekonomi.
Surbakti
menyebutkan dua variabel penting yang mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat
partisipasi politik seseorang, pertama, aspek kesadaran politik seseorang yang
meliputi kesadaran terhadap hak dan kewajiban sebagai warga negara, misalnya
hak-hak politik, hak ekonomi, hak mendapat perlindungan hukum, hak mendapatkan
jaminan sosial dan kewajiban-kewajiban, seperti kewajiban dalam sistem politik,
kewajiban kehidupan sosial, dan kewajiban lainnya. Kedua, menyangkut
bagaimanakah penilaian dan apresiasinya terhadap pemerintah, baik terhadap
kebijakan-kebijakan pemerintah dan pelaksanaan pemerintahannya.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Setelah menguraikan dari bab
pembahasan diatas, maka kami memberi kesimpulan bahwa partisipasi politik
merupakan pengejawantahan dari bentuk negara yang demokratis. Karena warga
negara dapat ikut serta dalam melakukan
tindakan politik baik secara langsung ataupun tidak langsung memberikan
pengaruh terhadap pengambilan keputusan dalam kebijakan politik. Yang mana
bentuk partisipasi warga masyarakat itu berbeda-beda dan mempunyai hierarki-hierarki
yang membedakannya.
Terlepas dari itu semua, kita sebagai
mahasiswa yang mempunyai fungsi sebagai Agent Social of Change, Agent
Social of Control, dan Agent Social of Value harus dapat
mereaktualisasikannya terhadap negara kita dengan melakukan partisipasi politik
demi perubahan yang revolusioner.
DAFTAR PUSTAKA
Budiarjo, Miriam. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama
Gatara, Said dan Said, Moh. Dzulkiah. 2007. Sosiologi Politik. Bandung. Pustaka Setia
Rush, Michael dan Althoff, Phillip. 2011. Pengantar Sosiologi
Politik. Jakarta: Rajawali Pers
Sahid, Komarudin. 2011. Sosiologi Politik. Bogor: Ghalia
Indonesia
Wahyudin, Tur. 2008. Partisipasi Politik, dalam http://turwahyudin. wordpress.com/2008/04/16/partispasi-politik/, diakses tanggal ! Desember 2009
William, Liddle. 1992. Partisipasi dan Partai Politik Indonesia
pada Awal Orde Baru. Jakarta: Pustaka Utama Grafitri
[1]
Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu
Politik. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. 2009. IV, hlm. 367
Tidak ada komentar:
Posting Komentar