Minggu, 08 September 2013

Makalah Kebijakan Publik dalam Mengatasi Tindak Pidana Korupsi



BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
            Korupsi di Indonesia sudah menjadi permasalahan mendasar bahkan telah mengakar sedemikian dalam sehingga sulit untuk diberantas. Hal ini terlihat semakin lama tindak pidana korupsi di Indonesia semakin meluas. Maraknya korupsi di Indonesia disinyalir terjadi di semua bidang dan sektor pembangunan. Apalagi setelah ditetapkannya pelaksanaan otonomi daerah, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diperbaharui dengan  Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, disinyalir korupsi terjadi bukan hanya pada tingkat pusat tetapi juga pada tingkat daerah dan bahkan menembus ke tingkat pemerintahan yang paling kecil di daerah. Korupsi tidak saja terjadi pada lingkungan pemerintahan dan pengusaha bahkan telah merambah sampai lembaga perwakilan rakyat dan lembaga peradilan.
            Berdasarkan hasil survei lembaga konsultan PERC yang berbasis di Hong Kong menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang paling korup di antara 12 negara Asia. Pemerintah Indonesia sebenarnya telah berupaya banyak dalam mengatasi praktek-praktek korupsi. Upaya pemerintah dilaksanakan melalui berbagai kebijakan berupa peraturan perundang-undangan dari yang tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sampai dengan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, pemerintah juga membentuk komisi-komisi yang berhubungan langsung dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
            Upaya pencegahan praktek korupsi juga dilakukan di lingkungan eksekutif atau penyelenggara negara, di mana masing-masing instansi memiliki Internal Control Unit (unit pengawas dan pengendali dalam instansi) yang berupa inspektorat. Fungsi inspektorat mengawasi dan memeriksa penyelenggaraan kegiatan pembangunan di instansi masing-masing, terutama pengelolaan keuangan negara, agar kegiatan pembangunan berjalan secara efektif, efisien, dan ekonomis sesuai sasaran. Di samping pengawasan internal, ada juga pengawasan dan pemeriksaan kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh instansi eksternal yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP).
            Dengan telah berlakunya Undang-Undang Pemberantasan Korupsi sebagai landasan hukum pemberantasan korupsi dan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi yang bersifat independen dan komitmen politik  pemerintah melalui Instruksi Presiden tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi diharapkan dari waktu ke waktu korupsi di Indonesia berhasil diberantas dan dihilangkan.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan  sebagai berikut :
1.      Bagaimana Formulasi Kebijakan Publik dalam Mengatasi Tindak Pidana Korupsi ?
2.      Bagaimana Strategi Pelaksanaan Alternatif Kebijakan yang Dipilih dalam Mengatasi Tindak Pidana Korupsi ?

1.3. Maksud dan Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka dapat dirumuskan beberapa maksud dan tujuan sebagai berikut :
1.      Menjelaskan bagaimana Formulasi Kebijakan Publik dalam Mengatasi Tindak Pidana Korupsi
2.      Menjelaskan bagaimana Strategi Pelaksanaan Alternatif Kebijakan yang Dipilih dalam Mengatasi Tindak Pidana Korupsi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Formulasi Kebijakan Publik dalam Mengatasi Tindak Pidana Korupsi
2.1.1. Agenda Setting
            Korupsi di Indonesia terlanjur membudaya dan mengakar kuat sejak sekian lama. Begitu memprihatinkan, bahkan sampai budaya korupsi seakan sempat dilabeli sebagai salah satu gaya hidup. Dianggap biasa dan wajar untuk dilakukan. Hukum Indonesia pada tahun 2000 sampai dengan 2006 dinilai melambat saat menangani kasus korupsi. Satu demi satu kasus ditimbun dan hanya mengendap di arsip persidangan. Ada tersangka yang akhirnya mangkir, atau dengan beruntung dihadiahi Surat Penghentian Penyidikan oleh persidangan. Memang perlu perjuangan keras hukum Indonesia untuk berani bersikap tegas pada kasus korupsi. Terutama pada kasus korupsi yang menyerang nama-nama penting di Indonesia. Ketegasan tersebut mulai kentara pada era Antasari Azhar berkuasa pada ujung tombak Komisi Pemberantasan Korupsi yang dibentuk pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono ini.
            Berita pengungkapan secara besar-besaran kasus korupsi yang dimuat dalam media dapat menimbulkan efek gentar pada koruptor. Media melalui kuasa pengagendaan dan settingnya selain berperan mengungkap kasus korupsi juga membantu pemerintah dalam hal sosialisasi anti korupsi. Media dapat mencelikan mata koruptor, bahwa bukan lagi saatnya hidup tenang dengan uang rakyat[1].
            Dalam teori Agenda Setting, terdapat tiga macam agenda, yaitu agenda media, agenda publik, dan agenda kebijakan. Agenda media merupakan prioritas media dalam meliput suatu berita kejadian, agenda publik, merupakan tingkat perbedaan penonjolan suatu berita menurut opini publik dan pengetahuan mereka, dan agenda kebijakan, yang adalah penggambaran berita dan kebijakan yang dikemukan oleh politikus.
2.1.2 Policy Problem Formulation
Policy problem formulation dalam mengatasi tindak Pidana Korupsi[2] :
Ø  Penegakan hukum yang tidak konsisten dan cenderung setengah-setengah
Ø  Struktur birokrasi yang berorientasi ke atas, termasuk perbaikan birokrasi yang cenderung terjebak perbaikan renumerasi tanpa membenahi struktur dan kultur
Ø  Kurang optimalnya fungsi komponen-komponen pengawas atau pengontrol, sehingga tidak ada check and balance
Ø  Banyaknya celah atau lubang-lubang yang dapat dimasuki tindakan korupsi pada sistem politik dan sistem administrasi negara Indonesia
Ø  Kesulitan dalam menempatkan atau merumuskan perkara, sehingga dari contoh-contoh kasus yang terjadi para pelaku korupsi begitu gampang mengelak dari tuduhan yang diajukan oleh jaksa
Ø  Taktik-taktik koruptor untuk mengelabui aparat pemeriksa, masyarakat, dan negara yang semakin canggih
Ø  Kurang kokohnya landasan moral untuk mengendalikan diri dalam menjalankan amanah yang diemban.
2.1.3 Policy Design
2.1.3.1 Tujuan Kebijakan
Tujuan kebijakan undang-undang Tindak Pidana Korupsi[3] :
Ø  Tujuan dengan diundangkan UU korupsi ini diharapkan dapat memenuhi dan mengantisipasi perkembangan dan kebutuhan hukum bagi masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan, perekonomian negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya (UU No 31 Tahun 1999)
Ø  Mengoptimalkan upaya – upaya penyidikan atau penuntutan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang negara.
Ø  Mencegan dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalah gunaan wewenang yang di lakukan oleh jaksa (Penuntut Umum) atau Anggota polri dalam rangka penegakan hukum
Ø  Meningkatkan Kerjasama antara kejaksaan dgn kepolisian Negara RI, selain denagan BPKP,PPATK,dan intitusi Negara yang terkait denagn upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi (instruksi Presiden Nomor 5tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, yang menginstruksikan secara khusus Kepada Jalsa Agung dan kapolri)
Ø  Adanya gerakan perlawanan terhadap KPK sebagai simbol antikorupsi mengindikasikan adanya konsolidasi dari orang atau kelompok yang berharap situasi tidak berubah. Karena itu, KPK perlu menjadi bagian penting dari usaha mengkonsolidasikan gerakan antikorupsi di Indonesia, sehingga usaha melawan KPK bisa ditangkis.
Ø  Selain kriminalisasi terhadap pimpinan KPK yang terjadi pada Bibit dan Chandra, upaya pelemahan KPK dilakukan melalui jalur hukum, yakni permohonan uji materiil (judicial review) terhadap Undang-Undang KPK kepada Mahkamah Konstitusi. Dalam catatan ICW, sedikitnya sudah 13 kali permohonan judicial review atas sejumlah ketentuan dalam UU KPK diajukan.
Ø  Bentuk lain dari upaya sistematis melemahkan KPK adalah memangkas wewenang lembaga ini melalui proses legislasi. Ada sejumlah kewenangan KPK yang menjadi target pemangkasan. Beberapa di antaranya adalah, kewenangan melakukan penyadapan, penuntutan, kewenangan penyitaan dan penggeledahan yang akan diatur lebih lanjut, larangan SP3 yang akan dipertimbangkan kembali oleh DPR, dan lain sebagainya.


2.1.3.2 Alternatif Kebijakan dalam mengatasi Tindak Pidana Korupsi
Alternatif Kebijakan dalam mengatasi Tindak Pidana Korupsi terdiri dari[4] :
Ø  Menegakkan hukum secara adil dan konsisten sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan norma-norma lainnya yang berlaku
Ø  Menciptakan kondisi birokrasi yang ramping struktur dan kaya fungsi. Penambahan/rekruitmen pegawai sesuai dengan kualifikasi tingkat kebutuhan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas
Ø  Optimalisasi fungsi pengawasan atau kontrol, sehingga komponen-komponen tersebut betul-betul melaksanakan pengawasan secara programatis dan sistematis
Ø  Mendayagunakan segenap suprastruktur politik maupun infrastruktur politik dan pada saat yang sama membenahi birokrasi sehingga lubang-lubang yang dapat dimasuki tindakan-tindakan korup dapat ditutup
Ø  Adanya penjabaran rumusan perundang-undangan yang jelas, sehingga tidak menyebabkan kekaburan atau perbedaan persepsi diantara para penegak hukumdalam menangani kasus korupsi
Ø  Semua elemen (aparatur negara, masyarakat, akademisi, wartawan) harus memiliki idealisme, keberanian untuk mengungkap penyimpangan-penyimpangan secaraobjektif, jujur, kritis terhadap tatanan yang ada disertai dengan keyakinan penuhterhadap prinsip-prinsip keadilan
Ø  Melakukan pembinaan mental dan moral manusia melalui khotbah-khotbah, ceramah atau penyuluhan di bidang keagamaan, etika dan hukum. Karena bagaimanapun juga baiknya suatu sistem, jika memang individu-individu di dalamnya tidak dijiwai olehnilai-nilai kejujuran dan harkat kemanusiaan, niscaya sistem tersebut akan dapat disalahgunakan, diselewengkan atau dikorup


2.1.3.3 Penyusunan Model Alternatif Kebijakan
            Model yang digunakan dalam kebijakan mengatasi Tindak Pidana Korupsi  adalah Institutional Model yaitu hubungan kebijkan publik dengan lembaga pemerintah sangat kuat karena pemahamannya tidak akan ada kebijakan publik bila tidak diformulasikan, diimplementasikan, dan ditegakan oleh lembaga pemerintah[5].

2.1.3.4 Penilaian dan Perangkingan Alternatif
A. Penilaian Alternatif Kebijakan
No
KRITERIA
DIMENSI            

1.

Technical Feasibility

Menegakkan hukum secara adil dan konsisten sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan norma-norma lainnya yang berlaku, merupakan langkah yang sangat fundamental dalam mengatasi kasus korupsi di Indonesia karena dengan cara tersebut kasus korupsi dapat ditekan dan memberikan efek jera
2.
Economic and Financial feasibility

Menciptakan kondisi birokrasi yang ramping struktur dan kaya fungsi. Penambahan/rekruitmen pegawai sesuai dengan kualifikasi tingkat kebutuhan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas adalah cara yang tepat dalam menyederhanakan pelayanan terhadap masyarakat, memperkecil peluang bagi pegawai untuk melakukan korupsi dan menurunkan beban APBN dalam belanja pegawai.
3.
Political Viability
Sejauh ini dampak dari Semua elemen (aparatur negara, masyarakat, akademisi, wartawan) harus memiliki idealisme, keberanian untuk mengungkap penyimpangan-penyimpangan secara objektif, jujur, kritis terhadap tatanan yang ada disertai dengan keyakinan penuh terhadap prinsip-prinsip keadilan, dan untuk mencapai semua itu harus adanya sikap partisipatif dari semua stake holder dalam mewujudkan Indonesia bersih dari praktik KKN


4.
Administrative Operability
Tercapainya suatu kebijakan tidak terlepas dari adanya komitmen dari semua stake holder tersebut dalam mencapai sebuah kebijakan
           
B. Perangkingan Alternatif Kebijakan
NO
KRITERIA
ALTERNATIF KEBIJAKAN
KETERANGAN


Bobot
Nilai
Skor

1
Technical Feasibility
100
56,25
80
2
Economic and Financial feasibility
100
75
80
Untuk mengatasi tindak pidana korupsi pemerintah telah mengeluarkan biaya yang cukup besar hal ini terlihat dari terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
3
Political Viability
100
62,5
80

4


Administrative Operability
100
62,5
80


Jumlah

300
256,5
240



Rangking

2










Keterangan :
B=Bobot;                    N=NIilai;                    S=Skor;                     

2.1.3.5 Rekomendasi Alternatif Kebijakan
       Rekomendasi alternatif kebijakan terdiri dari :
Ø  Menegakkan hukum secara adil dan konsisten sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan norma-norma lainnya yang berlaku merupakan cara yang tepat dalam mengatsi pemberantasan korupsi yang sistemik dan konsisten demi tercapainya visi Indonesia yang bebas korupsi. Namun meski pun merupakan hal yang sulit, pemberantasan korupsi yang sistemik di Indonesia bukan merupakan hal yang mustahil, terlebih dengan adanya lembaga seperti KPK yang mempunyai kewenangan yang lengkap di bidang penindakan maupun pencegahan.
Ø  Dengan strategi pencegahan yang memperhatikan prinsip supply dan demand, dan strategi penindakan yang difokuskan pada peningkatan efek jera dan penyelamatan kebocoran keuangan negara yang dipadukan dalam suatu strategic map yang terintegrasi memberikan harapan bahwa proses pemberantasan korupsi di Indonesia dapat segera terwujud.
Ø  Meski pun KPK sudah dilengkapi dengan berbagai kewenangan dan fasilitas yang menunjang untuk menjadi focal point dalam pemberantasan korupsi yang sistemik di Indonesia, namun tetap dibutuhkan beberapa prasyarat demi tercapainya visi Indonesia yang bebas korupsi. Secara umum prasyarat keberhasilan suatu strategi pemberantasan korupsi adalah: (i) kesiapan dan keahlian dari personel penegak hukum dalam menangani kasus korupsi yang semakin sistemik dan rumit, (ii) perlunya dukungan politik yang konsisten dari pemerintah, serta (iii) perlunya dukungan masyarakat luas baik masyarakat Indonesia mau pun dukungan internasional untuk mendukung terlaksananya program antikorupsi yang telah disusun dan dipublikasikan selama ini. Pemberantasan korupsi harus diorientasikan kepada usaha penyelamatan keuangan dan kekayaan negara, memerangi kemiskinan dan keterbelakangan. Seiring dengan peringatan seratus tahun hari Kebangkitan Nasional penulis mengajak masyarakat untuk secara bersama-sama untuk memerangi korupsi dan meninggalkan perilaku koruptif demi peningkatan kualitas hidup masyarakat Indonesia.







2.2 Strategi Pelaksanaan Alternatif Kebijakan yang Dipilih
Strategi pelaksanaan alternatif kebijakan yang diambil terdiri dari[6] :
1.      Bidang Pencegahan
Ø  Pembentukan Integritas Bangsa
Mengingat begitu luas dan kompleksnya korupsi di Indonesia, salah satu kesimpulan yang bisa diambil adalah bahwa integritas bangsa Indonesia saat ini masih rendah. Dibutuhkan upaya untuk membentuk integritas bangsa. Upaya ini tentunya tidak mudah, diperlukan jangka waktu yang panjang dan konsistensi dalam pelaksanaannya.Pembentukan integritas bangsa dapat dimulai dari pelaksanaan pendidikan anti korupsi dengan target semua usia mulai dari usia anak-anak hingga dewasa. Kita menyadari bahwa pembentukan mental dan kepribadian seseorang dimulai sejak dini sehingga penyusunan kurikulum anti korupsi untuk dimasukkan dalam kurikulum sekolah formal di Indonesia mulai digalakkan. Kampanye dan Training For Trainers (TOT) dengan materi anti korupsi harus terus diupayakan.
Ø  Penerapan Tata Kelola Pemerintahan yang baik (Good Governance)
Seiring dengan telah diberlakukannya sistem desentralisasi dalam pemerintahan Indonesia, penerapan konsep dasar tata kelola pemerintahan yang baik, hendaknya digali dari best practices yang telah dirancang dan diperkenalkan terlebih dahulu oleh beberapa pemerintah provinsi/kota/kabupaten di wilayah Indonesia. Lingkup perbaikan sistem administrasi yang mereka lakukan secara umum meliputi perbaikan layanan publik, penegakan hukum, administrasi, keuangan, dan partisipasi aktif dari masyarakat dengan mengacu kepada prinsip-prinsip yang transparan, akuntabel, efisien, konsisten, partisipatif, dan responsif.


Ø Reformasi Birokrasi
Pada dasarnya semua instansi pemerintah secara bertahap akan diarahkan untuk melakukan reformasi birokrasi. Namun akibat terbatasnya anggaran yang dimiliki negara perlu dilakukan pilot project terlebih dahulu, selain untuk dievaluasi dampaknya juga untuk dijadikan pembelajaran (lesson learn) bagi instansi lain yang akan direformasi.
2. Bidang Penindakan
     Strategi total penindakan, seperti yang dulu dijalankan sejumlah badan-badan antikorupsi, terbukti tidak efektif dalam mengatasi problem korupsi yang sudah sistemik di Indonesia. Namun, kegiatan antikorupsi yang bersifat penindakan harus tetap dilaksanakan. Dalam konteks Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, terutama pasal 11 dan 12, kegiatan penindakan meliputi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang "melibatkan aparat penegak hukum dan penyelenggara negara; mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp satu milyar". Adanya ketentuan-ketentuan yang mengatur kegiatan penindakan oleh KPK menekankan tetap pentingnya aktivitas represif dalam konteks perlawanan terhadap korupsi secara nasional.
     Secara umum, strategi antikorupsi KPK telah didesain sehingga berimbang dimana strategi pencegahan, penindakan, institution-building, dan penggalangan partisipasi masyarakat dapat berjalan secara sinergi. Secara spesifik, strategi penindakan difokuskan kepada aspek-aspek yang paling relevan, untuk kemudian secara periodik disusun-ulang agar dapat beradaptasi dan mengantisipasi kegiatan-kegiatan korupsi yang selalu berubah; baik karena semakin meningkatnya kompleksitas tindakan-tindakan korupsi, atau pun karena perlawanan pihak-pihak yang merasa terancam oleh kegiatan-kegiatan antikorupsi KPK.
     Secara eksplisit, strategi antikorupsi KPK untuk periode 2008-2012 bertujuan "berkurangnya korupsi di Indonesia". Untuk bidang penindakan, strategi berkesinambungan yang dimulai pada tahun 2008 adalah fokus pada kegiatan penindakan kepada aparat penegakan hukum dan sektor pelayanan publik, terutama untuk meningkatkan efek jera.
            Berdasarkan analisis SWOT, potensi peluang yang ada lebih besar dibandingkan dengan ancaman yang dihadapi, sedangkan kekuatan yang dimiliki juga lebih besar dibandingkan kelemahan. Berdasarkan pertimbangan tersebut dan memperhatikan visi, misi, tujuan, dan sasaran, grand strategy yang dikembangkan dalam rangka mencapai visi, misi, tujuan, dan sasaran adalah sebagai berikut:
1.      Pelibatan semua pihak dalam pemberantasan korupsi, dimana KPK menempatkan diri sebagai pemicu dan pendorong dalam pemberantasan korupsi
2.      Pemberantasan korupsi dilakukan secara komprehensif menggunakan pola deteksi - aksi dengan kegiatan: proaktif investigasi (deteksi), preventif, represif, dan rehabilitasi.
Adapun strategi operasional yang dipakai adalah sebagai berikut:
1.      Strategi Penindakan dan koordinasi serta supervisi dengan lembaga penegak hukum;
2.      Strategi Pencegahan dan koordinasi serta supervisi dengan lembaga negara/pemerintah pusat dan daerah;
3.      Strategi Monitoring dan supervisi instansi pelayanan publik;
4.      Strategi Penggalangan Keikutsertaan Masyarakat;
5.      Strategi Pembangunan Kelembagaan



BAB III
PENUTUP
Simpulan
            Uraian mengenai fenomena korupsi dan berbagai dampak yang ditimbulkannya telah menegaskan bahwa korupsi merupakan tindakan buruk yang dilakukan oleh aparatur birokrasi serta orang-orang yang berkompeten dengan birokrasi. Korupsi dapat bersumber dari kelemahan-kelemahan yang terdapat pada sistem politik dan sistem administrasi negara dengan birokrasi sebagai prangkat pokoknya. Keburukan hukum merupakan penyebab lain meluasnya korupsi. Seperti halnya delik-delik hukum yang lain, delik hukum yang menyangkut korupsi di Indonesia masih begitu rentan terhadap upaya pejabat-pejabat tertentu untuk membelokkan hukum menurut kepentingannya. Dalam realita di lapangan, banyak kasus untuk menangani tindak pidana korupsi yang sudah diperkarakan bahkan terdakwapun sudah divonis oleh hakim, tetapi selalu bebas dari hukuman. Itulah sebabnya kalau hukuman yang diterapkan tidak adil, upaya pemberantasan korupsi dapat dipastikan gagal.
            Oleh karena itu alternatif kebijakan yang diambil adalah dengan menegakkan hukum secara adil dan konsisten sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan norma-norma lainnya yang berlaku dan mendayagunakan segenap suprastruktur politik maupun infrastruktur politik dan pada saat yang sama membenahi birokrasi sehingga lubang-lubang yang dapat dimasuki tindakan-tindakan korup dapat ditutup





DAFTAR PUSTAKA
UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
http://blog.bestlagu.com/contoh-kebijakan-publik      
http://www.setneg.go.id/index.php?Itemid=219&id=2259&option=com_content&task=view


[3] UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
[5] http://blog.bestlagu.com/contoh-kebijakan-publik


[6]http://www.setneg.go.id/index.php?Itemid=219&id=2259&option=com_content&task=view

6 komentar: