BAB I
PENDAHULUAN
Etika
publik berawal dari keprihatinan terhadap pelayanan publik yang buruk karena
konflik kepentingan dan korupsi.Berbagai upaya perbaikan birokrasi dan
organisasi politik telah dilakukan. Komisi-komisi dibentuk, pejabat-pejabat
diganti, tetapi korupsi tidak kunjung surut dan pelayanan publik memburuk.
Ketika perbaikan birokrasi dan pengetatan pengawasan dilakukan tetapi korupsi
tetap merajalela, berarti kesalahan berada dalam sistem organisasi itu sendiri.
Hal krusial yang perlu dilakukan adalah mengubah sistem organisasi dengan
mengintegrasikan etika publik ke dalam organisasi pelayanan publik.
Etika
publik tidak hanya menekankan kode etik atau norma, namun juga dimensi
reflektifnya. Etika publik akan membantu para pejabat dan politisi dalam
mempertimbangkan pilihan sarana kebijakan publik dan sekaligus alat evaluasi
yang memperhitungkan konsekuensi etisnya. Karena itu, fokus diarahkan pada
modalitas etika, yaitu bagaimana menjembatani jurang antara norma moral (apa
yang seharusnya dilakukan) dan tindakan faktual. Keprihatinan etika publik pada
modalitas inilah yang membedakannya dari ajaran-ajaran saleh atau moral yang
lain.
BAB II
PEMBAHASAN
a. Pengertian Etika Jabatan Publik
Bicara
soal etika, maka akan sengat erat kaitannya dengan masalah moral, akhlak, dan
baik buruknya suatu perbuatan dilihat dari hukum positif yang berlaku di
masyarakat. Kaitannya dengan sosok pejabat publik atau penyelenggara negara,
maka etika akan menggambarkan sejauh mana kualitas mental dan moral pejabat tersebut.
Perilaku korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan setumpuk perilaku lainnya yang
meresahkan masyarakat dapat dikategorikan sebagai hilangnya nilai-nilai etika
yang seharusnya dijunjung tinggi oleh pejabat publik. Apalagi jika hal tersebut
telah menjadi sebuah kultur, maka tentunya akan sangat berpengaruh terhadap
kemajuan suatu bangsa, dimana maju tidaknya bangsa tersebut sangat bergantung
kepada kualitas mental dan moral serta kemampuan para pemimpinnya.
b.
Dua tuan
Dalam sistem pemerintahan presidensial
Indonesia, menteri adalah pembantu Presiden. Maka, ketika seseorang diminta
Presiden dan bersedia menjadi menteri dalam kabinet pemerintahannya, pada saat
itu juga dia terikat komitmen, bahkan jika pun tanpa kontrak politik tertulis,
secara etis untuk mengabdi dan melayani Presiden hingga masa akhir jabatan.
Namun, sistem pemilu dan kepartaian
Indonesia memberi peluang kepada para menteri kabinet, terutama mereka yang
mengikatkan diri dalam partai politik, untuk diajukan sebagai calon anggota
badan perwakilan (DPR, DPD, DPRD) dalam suatu proses pemilu. Tidak ada
keharusan untuk mundur dari jabatan saat seorang menteri dipastikan sebagai
calon tetap anggota Dewan.
Ketika hasil pemilu memastikan
seorang menteri sebagai calon anggota Dewan terpilih, saat itu juga dia telah
terikat kepada ”tuan” baru, yaitu pemilih. Apalagi jika penetapan calon
terpilih itu berdasar prinsip suara terbanyak, ikatan etik politik calon
bersangkutan dengan pemilih (konstituen) makin nyata dan kuat.
Kompleksitas etika muncul dari
kesejajaran waktu antara menyelesaikan tugas sebagai menteri dan menepati
komitmen sebagai perwakilan rakyat terpilih. Pada waktu bersamaan seorang
menteri harus menyatakan komitmen dan pengabdian untuk dua tuan yang secara
substantif bertolak kepentingan.
c. Pelecehan
kepercayaan
Menteri yang memastikan tetap pada
jabatannya mengambil risiko untuk kehilangan semua jabatan publik. Sebab, dia
harus menyerahkan kursi DPR yang sudah di depan mata kepada orang lain,
sementara untuk waktu tidak lama lagi dia harus pensiun dari jabatan menteri.
Keputusan ini mungkin sekali dinilai
”bagus” di mata presiden. Juga ada kandungan komitmen etik untuk menyelesaikan
tugas hingga akhir masa jabatan. Tindakan seperti ini dapat saja berefek pada
peluang untuk diminta kembali oleh presiden—yang terpilih untuk masa bakti
kedua—untuk berada dalam jajaran kabinet baru.
Bukan tidak mungkin harapan seperti
itu dapat dibaca sebagai sikap pragmatis. Sebab, diakui atau tidak, jabatan
menteri lebih memberi keuntungan ekonomi-politik daripada jabatan sebagai
anggota DPR.
Namun, jelas tidak ada jaminan
menteri bersangkutan pasti akan mendapat tempat di kabinet baru mendatang.
Dinamika dan tuntutan kekuasaan baru Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mungkin
mengubah konstalasi/kalkulasi politik yang berdampak tersingkirnya menteri
bersangkutan dari pertimbangan politik presiden.
Di mata konstituen, keputusan
menolak jabatan sebagai anggota DPR akan dengan mudah dipahami sebagai
pelecehan kepercayaan. Penetapan calon anggota Dewan, terpilih berdasar
perolehan suara terbanyak memastikan, menteri bersangkutan memperoleh
kepercayaan terbesar dibandingkan dengan para calon lain yang separtai. Melepas
kepercayaan pemilih demi mempertahankan jabatan menteri sama dengan mengingkari
makna kedaulatan rakyat dalam proses pemilu.
d. Oportunisme
berkelanjutan
Meletakkan jabatan menteri di
pengujung akhir masa bakti demi jabatan sebagai anggota DPR untuk waktu lima
tahun mendatang juga menimbulkan sinisme publik. Sekilas, keputusan itu
terkesan bijak karena memantulkan komitmen politik yang menghormati kepercayaan
pemilih. Presiden harus dikalahkan demi suara terbanyak yang memercayakan
keperwakilan politik kepada menteri bersangkutan. Namun, sulit untuk memastikan
bahwa para mantan menteri itu akan tegas dalam komitmen menjalankan mandat
pemilih sebagai perwakilan politik hingga akhir masa bakti.
Jika tidak salah mengingat, bukankah
beberapa di antara mereka pada pengalaman lima tahun lalu melepaskan
keanggotaan DPR demi jabatan menteri yang ditawarkan Presiden saat itu? Jabatan
menteri tetap dilihat lebih memberi keuntungan ekonomi-politik daripada jabatan
sebagai anggota DPR.
Karena itu, bukan tidak mungkin para
mantan menteri akan dengan senang hati menanggalkan keanggotaan DPR-nya jika
tawaran kembali dibuka Presiden Yudhoyono untuk kelak duduk dalam jajaran
kabinet baru.
Jika tawaran terbuka kembali dan
anggota DPR yang mantan menteri maupun anggota DPR terpilih menerima tawaran
itu, peluang dan keputusan semacam ini hanya akan menegaskan tradisi politik
yang secara berulang-ulang terus menerabas etika jabatan publik.
Hasilnya, bukan tegaknya etika
jabatan publik, tetapi oportunisme politik berkelanjutan. Hasil ini hanya akan
membuktikan kegagalan demi kegagalan yang dialami Indonesia untuk membangun tata
kelola pemerintahan yang baik dan demokratis.
e. Perlu
makin beretika
Masa depan Indonesia tampak akan
menuntut makin tegaknya etika jabatan publik. Hingga kini, banyak pembaruan
kelembagaan telah dicapai. Demikian pula, pengaturan dan peraturan baru telah
dibuat untuk memastikan prosedur politik transparan dan partisipatif, serta
tata kelola pemerintahan efisien dan bertanggun jawab.
Namun, kelembagaan dan pengaturan
baru itu tampak menjadi sia-sia karena tidak dilambari etika para aktor untuk
secara sukarela, konsisten, dan konsekuen mematuhinya. Yang ada hanya siasat
menelikung demi kepentingan pragmatis.
f. Contoh
Kasus
Pertama, Sri Mulyani Indrawati
mengungkapkan bahwa konsep etika dan pandangan tentang perlunya mencegah
konflik kepentingan bagi pejabat publik di Indonesia masih sangat langka. Orang
yang menegakkan etika itu malah dianggap sebagai orang aneh. Benarkah Pejabat
yang Beretika adalah suatu hal yang langka di Indonesia?
Hal ini pula yang turut menjadi
keresahan seorang Sri Mulyani Indrawati, yang kini telah menanggalkan
jabatannya sebagai Menteri Keuangan RI. Saat berbicara dalam 'Kuliah Umum
tentang Kebijakan Publik dan Etika Publik' di Jakarta, Selasa (18/5/2010)
malam, Sri Mulyani menyinggung persoalan situasi kultur politik di Indonesia
dan sikap pejabat publik yang mengenyampingkan etika.
Lebih jauh lagi, wanita yang akrab
disapa Bu Ani ini mengatakan, bahwa telah terjadi "perkawinan"
kepentingan dalam sistem politik di Indonesia saat ini. Banyak pejabat publik
yang mengambil keputusan politis yang dibangun di atas kepentingan pribadi atau
dengan kata lain etika politiknya masih jauh dari ideal.
Sri Mulyani menuturkan, banyak
pejabat negara yang memiliki bisnis justru sengaja mengambil keuntungan dari
keputusan yang dibuatnya sendiri. Menurutnya hal tersebut adalah suatu penyakit
yang dibawa sejak masa orde baru namun saat ini justru terlihat lebih terbuka. "Ini
adalah suatu hal yang merupakan penyakit di zaman orde baru, namun dulu dibuat
tertutup. Sekarang malah dibuat seolah telah terbuka dengan keputusan
demokratis dan dengan check and balance, tapi sebenarnya tanpa etika,"
tuturnya.
Berkaca pada pengalamannya, Sri
Mulyani juga mengatakan bahwa ia sering kali meminta keluar dari ruang rapat
pejabat publik yang kebetulan menjadi komisaris pada perusahaan yang sedang
dibahas dalam rapat tersebut. Sikap tegas itu justru dibalas dengan cibiran. "Ada
satu saat saya membuat rapat, dan rapat ini jelas berhubungan dengan
perusahaan. Kebetulan yang diundang adalah beberapa komisaris perusahaan itu.
Saya minta yang terkait dan berafiliasi dengan yang dibicarakan silahkan
keluar. Mereka malah bilang, Mba Ani jangan sadis begitu," ujarnya.
Namun, ia melanjutkan, tak mudah untuk mengubah etika politik para pejabat
publik yang telah dianut selama bertahun-tahun.
Namun bila kita berkaca pada fakta
yang ada di lapangan, nampaknya belum ada sanksi yang tegas terhadap ‘ulah'
pejabat publik yang tak beretika. Barangkali disinilah urgensi merumuskan etika
pejabat publik berikut sanksi-sanksi administratif, politik, dan hukum
sekaligus agar kasus-kasus sejenis tidak terulang di masa depan. Begitu pula,
mestinya ada mekanisme "hukuman" bagi para pejabat publik yang
mempertahankan pejabat publik lain yang berbohong atau yang terlibat kasus
korupsi. Semoga ke depannya, sosok pejabat publik yang benar-benar menjunjung
tinggi etika, moral dan integritas bukan lagi menjadi sebuah barang langka di
tengah-tengah bangsa yang ‘konon katanya' adalah bangsa yang bermartabat.
Kedua, empat menteri dalam Kabinet
Indonesia Bersatu menyatakan mundur dari jabatan karena akan segera dilantik
sebagai anggota DPR periode 2009-2014. Sementara dua menteri lainnya akan tetap
pada jabatannya hingga akhir masa bakti 20 Oktober 2009.
Kedua macam tindakan itu tampak
dianggap wajar. Jika dicermati, setiap tindakan itu membawa nuansa
”pelanggaran” terhadap etika pejabat atau jabatan publik.
BAB III
PENUTUP
Dengan posisi strategis sebagai pejabat publik, para pejabat
harus profesional di bidang mereka dengan terus menjaga etika profesi sebagai
pejabat negara, dengan memperhatikan berbagai sisi etis dalam seluruh tindakan
dan kebijakan mereka. Seorang pejabat negara profesional yang mencintai profesi
dan jabatannya, yang melakukan tugas mulia dalam mengemban misi kenegaraan,
akan selalu menjunjung tinggi etika profesi jabatan. Bahwa lewat profesinya
sebagai seorang pejabat negara, dia wajib menjaga nama baik dan citra
sejawatnya di depan publik.
Hal itu amat penting, karena apa pun yang dilakukan pejabat
publik akan berpengaruh bagi kehidupan warga negara. Karena pengaruh tersebut,
tidak ada jalan lain, yakni para pejabat harus menjaga agar perilaku dan
kebijakan mereka selalu baik serta tetap berpijak di jalur etika. Sebab, di
samping itu, apa pun perilaku dan kebijakan yang mereka ambil merupakan garansi
yang membuat warga negara tetap menaruh hormat dan kepercayaan kepada mereka.
Ini juga untuk meyakinkan warga negara bahwa para pejabat negara yang
dipilihnya benar-benar pantas memimpin mereka dengan perilaku yang baik,
terhormat, dan menjadi panutan.
Demi menjaga rasa hormat publik terhadap pejabat negara, dan
demi memelihara etika profesi sebagai pejabat negara yang memiliki tugas-tugas
mulia kenegaraan, sekaligus sebagai wujud komitmen tinggi pemerintah dalam
menegakkan supremasi hukum dan pemberantasan korupsi, perseteruan antara
pejabat negara itu harus segera diakhiri secara elegan dan proporsional.
Mengakhiri konflik ini tidak lain demi menjaga citra dan
menaikkan kredibilitas pejabat negara di mata warga negara, sekaligus
meyakinkan warga bahwa pemerintah memang berkomitmen tinggi dalam pemberantasan
korupsi. Sebab, kekuasaan merupakan sesuatu yang dititipkan oleh warga negara,
bukan milik pribadi. Dengan demikian, setiap pejabat negara harus
mempertanggungjawabkan kepada warga apa pun yang mereka lakukan sebagai
personifikasi negara dan kekuasaan.
Semua itu tentu membutuhkan kesadaran dan kepemimpinan moral
yang tinggi serta kepekaan nurani para pejabat publik yang sedang berseteru
dengan lebih mengedepankan lagi keteladanan. Sebab, di era serba krisis ini,
warga negara sangat membutuhkan adanya komitmen etis dan leadership
moral serta kepekaan nurani pejabat negara.
Daftar
Pustaka
Transkrip
Pidato ‘Kuliah Umum tentang Kebijakan Publik dan Etika Publik', Sri Mulyani
Indrawati
semoga bermanfaat :-)
BalasHapus