Rabu, 11 April 2012

Makalah Etika jabatan Publik


BAB I
PENDAHULUAN

Etika publik berawal dari keprihatinan terhadap pelayanan publik yang buruk karena konflik kepentingan dan korupsi.Berbagai upaya perbaikan birokrasi dan organisasi politik telah dilakukan. Komisi-komisi dibentuk, pejabat-pejabat diganti, tetapi korupsi tidak kunjung surut dan pelayanan publik memburuk. Ketika perbaikan birokrasi dan pengetatan pengawasan dilakukan tetapi korupsi tetap merajalela, berarti kesalahan berada dalam sistem organisasi itu sendiri. Hal krusial yang perlu dilakukan adalah mengubah sistem organisasi dengan mengintegrasikan etika publik ke dalam organisasi pelayanan publik.


Etika publik tidak hanya menekankan kode etik atau norma, namun juga dimensi reflektifnya. Etika publik akan membantu para pejabat dan politisi dalam mempertimbangkan pilihan sarana kebijakan publik dan sekaligus alat evaluasi yang memperhitungkan konsekuensi etisnya. Karena itu, fokus diarahkan pada modalitas etika, yaitu bagaimana menjembatani jurang antara norma moral (apa yang seharusnya dilakukan) dan tindakan faktual. Keprihatinan etika publik pada modalitas inilah yang membedakannya dari ajaran-ajaran saleh atau moral yang lain.


BAB II
PEMBAHASAN

a.      Pengertian Etika Jabatan Publik

Bicara soal etika, maka akan sengat erat kaitannya dengan masalah moral, akhlak, dan baik buruknya suatu perbuatan dilihat dari hukum positif yang berlaku di masyarakat. Kaitannya dengan sosok pejabat publik atau penyelenggara negara, maka etika akan menggambarkan sejauh mana kualitas mental dan moral pejabat tersebut. Perilaku korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan setumpuk perilaku lainnya yang meresahkan masyarakat dapat dikategorikan sebagai hilangnya nilai-nilai etika yang seharusnya dijunjung tinggi oleh pejabat publik. Apalagi jika hal tersebut telah menjadi sebuah kultur, maka tentunya akan sangat berpengaruh terhadap kemajuan suatu bangsa, dimana maju tidaknya bangsa tersebut sangat bergantung kepada kualitas mental dan moral serta kemampuan para pemimpinnya.

b.      Dua tuan

Dalam sistem pemerintahan presidensial Indonesia, menteri adalah pembantu Presiden. Maka, ketika seseorang diminta Presiden dan bersedia menjadi menteri dalam kabinet pemerintahannya, pada saat itu juga dia terikat komitmen, bahkan jika pun tanpa kontrak politik tertulis, secara etis untuk mengabdi dan melayani Presiden hingga masa akhir jabatan.

Namun, sistem pemilu dan kepartaian Indonesia memberi peluang kepada para menteri kabinet, terutama mereka yang mengikatkan diri dalam partai politik, untuk diajukan sebagai calon anggota badan perwakilan (DPR, DPD, DPRD) dalam suatu proses pemilu. Tidak ada keharusan untuk mundur dari jabatan saat seorang menteri dipastikan sebagai calon tetap anggota Dewan.
Ketika hasil pemilu memastikan seorang menteri sebagai calon anggota Dewan terpilih, saat itu juga dia telah terikat kepada ”tuan” baru, yaitu pemilih. Apalagi jika penetapan calon terpilih itu berdasar prinsip suara terbanyak, ikatan etik politik calon bersangkutan dengan pemilih (konstituen) makin nyata dan kuat.

Kompleksitas etika muncul dari kesejajaran waktu antara menyelesaikan tugas sebagai menteri dan menepati komitmen sebagai perwakilan rakyat terpilih. Pada waktu bersamaan seorang menteri harus menyatakan komitmen dan pengabdian untuk dua tuan yang secara substantif bertolak kepentingan.

c.       Pelecehan kepercayaan

Menteri yang memastikan tetap pada jabatannya mengambil risiko untuk kehilangan semua jabatan publik. Sebab, dia harus menyerahkan kursi DPR yang sudah di depan mata kepada orang lain, sementara untuk waktu tidak lama lagi dia harus pensiun dari jabatan menteri.

Keputusan ini mungkin sekali dinilai ”bagus” di mata presiden. Juga ada kandungan komitmen etik untuk menyelesaikan tugas hingga akhir masa jabatan. Tindakan seperti ini dapat saja berefek pada peluang untuk diminta kembali oleh presiden—yang terpilih untuk masa bakti kedua—untuk berada dalam jajaran kabinet baru.

Bukan tidak mungkin harapan seperti itu dapat dibaca sebagai sikap pragmatis. Sebab, diakui atau tidak, jabatan menteri lebih memberi keuntungan ekonomi-politik daripada jabatan sebagai anggota DPR.

Namun, jelas tidak ada jaminan menteri bersangkutan pasti akan mendapat tempat di kabinet baru mendatang. Dinamika dan tuntutan kekuasaan baru Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mungkin mengubah konstalasi/kalkulasi politik yang berdampak tersingkirnya menteri bersangkutan dari pertimbangan politik presiden.

Di mata konstituen, keputusan menolak jabatan sebagai anggota DPR akan dengan mudah dipahami sebagai pelecehan kepercayaan. Penetapan calon anggota Dewan, terpilih berdasar perolehan suara terbanyak memastikan, menteri bersangkutan memperoleh kepercayaan terbesar dibandingkan dengan para calon lain yang separtai. Melepas kepercayaan pemilih demi mempertahankan jabatan menteri sama dengan mengingkari makna kedaulatan rakyat dalam proses pemilu.


d.      Oportunisme berkelanjutan
Meletakkan jabatan menteri di pengujung akhir masa bakti demi jabatan sebagai anggota DPR untuk waktu lima tahun mendatang juga menimbulkan sinisme publik. Sekilas, keputusan itu terkesan bijak karena memantulkan komitmen politik yang menghormati kepercayaan pemilih. Presiden harus dikalahkan demi suara terbanyak yang memercayakan keperwakilan politik kepada menteri bersangkutan. Namun, sulit untuk memastikan bahwa para mantan menteri itu akan tegas dalam komitmen menjalankan mandat pemilih sebagai perwakilan politik hingga akhir masa bakti.
Jika tidak salah mengingat, bukankah beberapa di antara mereka pada pengalaman lima tahun lalu melepaskan keanggotaan DPR demi jabatan menteri yang ditawarkan Presiden saat itu? Jabatan menteri tetap dilihat lebih memberi keuntungan ekonomi-politik daripada jabatan sebagai anggota DPR.

Karena itu, bukan tidak mungkin para mantan menteri akan dengan senang hati menanggalkan keanggotaan DPR-nya jika tawaran kembali dibuka Presiden Yudhoyono untuk kelak duduk dalam jajaran kabinet baru.

Jika tawaran terbuka kembali dan anggota DPR yang mantan menteri maupun anggota DPR terpilih menerima tawaran itu, peluang dan keputusan semacam ini hanya akan menegaskan tradisi politik yang secara berulang-ulang terus menerabas etika jabatan publik.

Hasilnya, bukan tegaknya etika jabatan publik, tetapi oportunisme politik berkelanjutan. Hasil ini hanya akan membuktikan kegagalan demi kegagalan yang dialami Indonesia untuk membangun tata kelola pemerintahan yang baik dan demokratis.


e.       Perlu makin beretika

Masa depan Indonesia tampak akan menuntut makin tegaknya etika jabatan publik. Hingga kini, banyak pembaruan kelembagaan telah dicapai. Demikian pula, pengaturan dan peraturan baru telah dibuat untuk memastikan prosedur politik transparan dan partisipatif, serta tata kelola pemerintahan efisien dan bertanggun jawab.
Namun, kelembagaan dan pengaturan baru itu tampak menjadi sia-sia karena tidak dilambari etika para aktor untuk secara sukarela, konsisten, dan konsekuen mematuhinya. Yang ada hanya siasat menelikung demi kepentingan pragmatis.

f.       Contoh Kasus

Pertama, Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa konsep etika dan pandangan tentang perlunya mencegah konflik kepentingan bagi pejabat publik di Indonesia masih sangat langka. Orang yang menegakkan etika itu malah dianggap sebagai orang aneh. Benarkah Pejabat yang Beretika adalah suatu hal yang langka di Indonesia?

Hal ini pula yang turut menjadi keresahan seorang Sri Mulyani Indrawati, yang kini telah menanggalkan jabatannya sebagai Menteri Keuangan RI. Saat berbicara dalam 'Kuliah Umum tentang Kebijakan Publik dan Etika Publik' di Jakarta, Selasa (18/5/2010) malam, Sri Mulyani menyinggung persoalan situasi kultur politik di Indonesia dan sikap pejabat publik yang mengenyampingkan etika.

Lebih jauh lagi, wanita yang akrab disapa Bu Ani ini mengatakan, bahwa telah terjadi "perkawinan" kepentingan dalam sistem politik di Indonesia saat ini. Banyak pejabat publik yang mengambil keputusan politis yang dibangun di atas kepentingan pribadi atau dengan kata lain etika politiknya masih jauh dari ideal.

Sri Mulyani menuturkan, banyak pejabat negara yang memiliki bisnis justru sengaja mengambil keuntungan dari keputusan yang dibuatnya sendiri. Menurutnya hal tersebut adalah suatu penyakit yang dibawa sejak masa orde baru namun saat ini justru terlihat lebih terbuka. "Ini adalah suatu hal yang merupakan penyakit di zaman orde baru, namun dulu dibuat tertutup. Sekarang malah dibuat seolah telah terbuka dengan keputusan demokratis dan dengan check and balance, tapi sebenarnya tanpa etika," tuturnya.

Berkaca pada pengalamannya, Sri Mulyani juga mengatakan bahwa ia sering kali meminta keluar dari ruang rapat pejabat publik yang kebetulan menjadi komisaris pada perusahaan yang sedang dibahas dalam rapat tersebut. Sikap tegas itu justru dibalas dengan cibiran. "Ada satu saat saya membuat rapat, dan rapat ini jelas berhubungan dengan perusahaan. Kebetulan yang diundang adalah beberapa komisaris perusahaan itu. Saya minta yang terkait dan berafiliasi dengan yang dibicarakan silahkan keluar. Mereka malah bilang, Mba Ani jangan sadis begitu," ujarnya. Namun, ia melanjutkan, tak mudah untuk mengubah etika politik para pejabat publik yang telah dianut selama bertahun-tahun.

Namun bila kita berkaca pada fakta yang ada di lapangan, nampaknya belum ada sanksi yang tegas terhadap ‘ulah' pejabat publik yang tak beretika. Barangkali disinilah urgensi merumuskan etika pejabat publik berikut sanksi-sanksi administratif, politik, dan hukum sekaligus agar kasus-kasus sejenis tidak terulang di masa depan. Begitu pula, mestinya ada mekanisme "hukuman" bagi para pejabat publik yang mempertahankan pejabat publik lain yang berbohong atau yang terlibat kasus korupsi. Semoga ke depannya, sosok pejabat publik yang benar-benar menjunjung tinggi etika, moral dan integritas bukan lagi menjadi sebuah barang langka di tengah-tengah bangsa yang ‘konon katanya' adalah bangsa yang bermartabat.

Kedua, empat menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu menyatakan mundur dari jabatan karena akan segera dilantik sebagai anggota DPR periode 2009-2014. Sementara dua menteri lainnya akan tetap pada jabatannya hingga akhir masa bakti 20 Oktober 2009.

Kedua macam tindakan itu tampak dianggap wajar. Jika dicermati, setiap tindakan itu membawa nuansa ”pelanggaran” terhadap etika pejabat atau jabatan publik.



















BAB III
PENUTUP

Dengan posisi strategis sebagai pejabat publik, para pejabat harus profesional di bidang mereka dengan terus menjaga etika profesi sebagai pejabat negara, dengan memperhatikan berbagai sisi etis dalam seluruh tindakan dan kebijakan mereka. Seorang pejabat negara profesional yang mencintai profesi dan jabatannya, yang melakukan tugas mulia dalam mengemban misi kenegaraan, akan selalu menjunjung tinggi etika profesi jabatan. Bahwa lewat profesinya sebagai seorang pejabat negara, dia wajib menjaga nama baik dan citra sejawatnya di depan publik.
Hal itu amat penting, karena apa pun yang dilakukan pejabat publik akan berpengaruh bagi kehidupan warga negara. Karena pengaruh tersebut, tidak ada jalan lain, yakni para pejabat harus menjaga agar perilaku dan kebijakan mereka selalu baik serta tetap berpijak di jalur etika. Sebab, di samping itu, apa pun perilaku dan kebijakan yang mereka ambil merupakan garansi yang membuat warga negara tetap menaruh hormat dan kepercayaan kepada mereka. Ini juga untuk meyakinkan warga negara bahwa para pejabat negara yang dipilihnya benar-benar pantas memimpin mereka dengan perilaku yang baik, terhormat, dan menjadi panutan.
Demi menjaga rasa hormat publik terhadap pejabat negara, dan demi memelihara etika profesi sebagai pejabat negara yang memiliki tugas-tugas mulia kenegaraan, sekaligus sebagai wujud komitmen tinggi pemerintah dalam menegakkan supremasi hukum dan pemberantasan korupsi, perseteruan antara pejabat negara itu harus segera diakhiri secara elegan dan proporsional.
Mengakhiri konflik ini tidak lain demi menjaga citra dan menaikkan kredibilitas pejabat negara di mata warga negara, sekaligus meyakinkan warga bahwa pemerintah memang berkomitmen tinggi dalam pemberantasan korupsi. Sebab, kekuasaan merupakan sesuatu yang dititipkan oleh warga negara, bukan milik pribadi. Dengan demikian, setiap pejabat negara harus mempertanggungjawabkan kepada warga apa pun yang mereka lakukan sebagai personifikasi negara dan kekuasaan.
Semua itu tentu membutuhkan kesadaran dan kepemimpinan moral yang tinggi serta kepekaan nurani para pejabat publik yang sedang berseteru dengan lebih mengedepankan lagi keteladanan. Sebab, di era serba krisis ini, warga negara sangat membutuhkan adanya komitmen etis dan leadership moral serta kepekaan nurani pejabat negara.














Daftar Pustaka




Transkrip Pidato ‘Kuliah Umum tentang Kebijakan Publik dan Etika Publik', Sri Mulyani Indrawati

1 komentar: