BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah
Seringkali
kita bersama menyaksikan fenomena-fenomena nyata yang terjadi di masyarakat
yang cukup mengganggu rasa keadilan kita sebagai insan manusia. Yakni
fenomena-fenomena dalam ruang pengembanan hukum baik mulai dari pembentukan
hingga penegakannya, namun yang ternyata justru dirasa mencederai rasa keadilan
kita bersama, rasa keadilan rakyat.
Dalam
sektor pembentukan hukum, seringkali kita menemui suatu substansi aturan hukum
baik berupa undang-undang, peraturan pemerintah, perpres, hingga perda yang
tidak mencerminkan aspirasi rakyat, bahkan justru secara substantif dirasa
merugikan kepentingan rakyat. Demikian juga dalam sektor penegakan hukum, sudah
tak terhitung putusan pengadilan yang justru dinilai banyak kalangan justru
mencederai rasa keadilan masyarakat.
Dari
gambaran di atas, ada hal yang perlu dikemukakan, bahwa secara legal formal
mungkin tidak ada yang salah dalam proses pembentukan maupun penegakan hukum.
Suatu undang-undang, apapun materi dan isinya, apakah menggambarkan aspirasi
rakyat atau tidak, selama itu dibentuk dan ditetapkan oleh lembaga yang
berwenang maka dapat dikatakan telah sah menjadi hukum positif. Begitu pula
dengan proses penegakan hukum, apapun isi putusan pengadilan selama hakim dalam
memutuskannya berkeyakinan telah mendasarkan diri pada hukum positif yang ada
maka dapat dikatakan telah sah secara hukum.
Permasalahannya,
jika apa yang terjadi dalam gambaran-gambaran pengembanan hukum sebagaimana di
atas dapat dikatakan telah legal atau sah secara hukumnya, maka pertanyaannya
mengapa segala proses pengembanan hukum baik dari pembentukan maupun
penegakannya yang telah dapat dikatakan sah dan legal secara hukum tersebut
masih belum dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat? Mengapa Hukum Indonesia
masih belum memenuhi tuntutan rasio, hati nurani, perasaan, dan rasa keadilan
kita bersama sebagai masyarakat? Mengapa hukum menjadi tidak linier dengan
tuntutan keadilan? Dimanakah letak kesalahannya, tuntutan masyarakat atau
hukumnya itu sendiri?
Adanya
pertanyaan-pertanyaan substantif terhadap realitas Hukum Indonesia, yang jelas
menunjukkan adanya perbedaan atau gap antara apa yang kita bersama sebagai
masyarakat tuntutkan atau harapkan dalam substansi Hukum Indonesia dengan fakta
substantif obyektif dalam realitas Hukum Indonesia itu sendiri. Jika lebih
dikongkritisasi, telah terjadi suatu legal gap atau perbedaan kesadaran tentang
hukum antara apa yang ada dalam ide atau benak kesadaran masyarakat dengan apa
yang dituangkan dalam substansi hukum positif yang ada.
1.2.Rumusan
Masalah
1. Apakah
pengertian Hukum Positif Indonesia?
2. Apa
sajakah yang menjadi komponen substansi hukum?
3. Terdiri
dari hukum apa saja substansi hukum positif Indonesia?
1.3.Maksud
dan Tujuan
1. Mengetahui
pengertian hukum positif Indonesia
2. Mengenal
lebih dalam mengenai komponen substansi hukum
3. Mengetahui
lebih jauh mengenai substansi hukum positif Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Positif Indonesia
Hukum Positif adalah
kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan
mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah
atau pengadilan dalam negara Indonesia. Hukum di Indonesia merupakan campuran
dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar
sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa
kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia
yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda
(Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia
menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama
di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga
berlaku sistem hukum Adat yang diserap dalam perundang-undangan atau
yurisprudensi, yang merupakan penerusan
dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di
wilayah Nusantara.
Tiap-tiap bangsa
memiliki hukumnya sendiri, seperti terhadap bahasa dikenal tata bahasa,
demikian juga terhadap hukum dikenal juga tata hukum. Tiap-tiap bangsa
mempunyai tata hukumnya sendiri.
Hukum merupakan
positivasi nilai moral yang berkaitan dengan kebenaran, keadilan, kesamaan
derajat, kebebasan, tanggung jawab, dan hati nurani manusia. Hukum sebagai positivasi
nilai moral adalah legitimasi karena adil bagi semua orang. Salah satu
kesimpulan dari studi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga dunia, seperti
Booz-Allen & Hamilton, McKinsey dan Bank Dunia terhadap kinerja
perekonomian Indonesia adalah rendahnya praktik Good Corporate Governance
(GCG). Secara umum, GCG sendiri berarti suatu proses dan struktur yang
digunakan untuk mengarahkan dan mengelola bisnis dan akuntabilitas perusahaan
dengan tujuan utama mempertinggi nilai saham dalam jangka panjang dengan tetap
memperhatikan kepentingan stakeholders lain. Dari pengertian tersebut,
selanjutnya dapat dijelaskan bahwa GCG tidak lain adalah permasalahan mengenai
proses pengelolaan perusahaan, yang secara konseptual mencakup diaplikasikannya
prinsip-prinsip transparancy, accountability, fairness dan responsibility.
Pada
saat baru lahir ditahun 1945, negara ‘bayi’ bernama Indonesia mengunifikasi
serta mengkodifikasi hukum positif buatan Belanda yang diberlakukan bagi
masyarakat di Hindia Belanda yang terdiri dari berbagai etnik saat itu – bangsa
Eropa, bangsa Cina, dan bangsa Timur Jauh bukan Cina yaitu bangsa Arab dan
India serta masyarakat pribumi/inlander bangsa Nusantara. Dasar dari peraturan
Belanda tersebut sebenarnya adalah hukum buatan VOC (Verenige Oost Indische
Companie), yang merupakan multinational company pertama di Nusantara.
Perusahaan dagang multinasional milik kolonial Belanda yang dibentuk oleh 14
warga Belanda bagi manajemen penjajahan dinegara jajahan di Asia Tenggara
ditengah kemelut ekonomi dalam negeri Kerajaan Belanda yang terjerat hutang
yang besar pasca perang dengan negara-negara tetangganya dan menuju
kebangkrutan. Hukum khusus yang mereka buat tersebut sesungguhnya memang khusus
untuk diberlakukan bagi para inlander/masyarakat jajahan Belanda di Hindia Belanda.
Artinya kita sekarang sedang terjajah oleh bangsanya sendiri. Sehingga tidak
mengherankan sikap krusial pilihan hukum para penegak hukum Indonesia sampai
hari ini masih memprihatinkan. Hukum harus ditegakkan dan keadilan harus dijujurkan
– vivat justitia vereat mudus
(walaupun langit akan runtuh hukum harus tetap ditegakkan).
B.
Komponen
Substansi Hukum
Substansi hukum adalah
peraturan-peraturan yang dipakai oleh para pelaku hukum pada waktu melaksanakan
perbuatan-perbuatan serta hubungan-hubungan hukum. Contoh: pada saat pedagang
melaksanakan perjanjian antar sesamanya, pada saat itu ia mendasarkan
hubungannya pada peraturan perdagangan, dan inilah yang disebut dengan
substansi hukum. Komponen dalam substansi hukum itu sendiri, diantaranya:
1.
Sistem
Hukum Adat dan Hukum Perdata
Ø Hukum Adat
Hukum Adat merupakan hukum tidak tertulis yang
dibentuk dan dipelihara oleh masyarakat hukum adat tanpa campur tangan dari
penguasa, yang dilengkapi dengan sanksi sebagai upaya pemaksa. Hukum adat
merupakan hukum yang bersifat lokal, dan karena dibentuk oleh masyarakat hukum
adat yang tata susunannya sangat tergantung pada faktor pembentuknya,
mengakibatkan hukum adat menjadi plural dan berbeda diantara tiap daerah dan
tiap masyarakat.
Sesuai dengan faktor genealogis maka ada 3
masyarakat hukum adat, yaitu masyarakat matrilineal, patrilineal dan parental.
Sedangkan berdasar pada faktor teritorial terbentuk 3 macam masyarakat, yaitu:
persekutuan desa, persekutuan daerah dan perserikatan kampung.
Ø Hukum Perdata
Hukum perdata adalah ketentuan-ketentuan yang
mengatur dan membatasi tingkah laku manusia dalam memenuhi kepentingan
(kebutuhannya).[1]
Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari
hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara
serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara),
kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara),
kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk
atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang,
perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan
tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.
Ada beberapa sistem hukum yang berlaku di dunia dan
perbedaan sistem hukum tersebut juga mempengaruhi bidang hukum perdata, antara
lain sistem hukum Anglo-Saxon (yaitu sistem hukum yang berlaku di Kerajaan
Inggris Raya dan negara-negara persemakmuran atau negara-negara yang
terpengaruh oleh Inggris, misalnya Amerika Serikat), sistem hukum Eropa
kontinental, sistem hukum komunis, sistem hukum Islam dan sistem-sistem hukum
lainnya. Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda,
khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan.
Wikisource memiliki naskah sumber yang
berkaitan dengan The Civil Code. Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(dikenal KUHPer) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang
kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (atau dikenal dengan BW) yang berlaku di
kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda)
berdasarkan azas konkordansi. Untuk Indonesia yang saat itu masih bernama
Hindia Belanda, BW diberlakukan mulai 1859. Hukum perdata Belanda sendiri diadopsi
dari hukum perdata yang berlaku di Perancis dengan beberapa penyesuaian. Kitab
undang-undang hukum perdata (disingkat KUHPer) terdiri dari empat bagian,
yaitu: Buku I tentang Orang, Buku II tentang Benda, Buku III tentang Perikatan,
Buku IV tentang Pembuktian dan Daluwarsa.
2.
Sistem
Hukum Acara Perdata Indonesia
Dalam rangka
menegakan hukum perdata materil diperlukan hukum perdata formil (hukum acara
perdata), yakni aturan hukum yang mengatur bagaimana menegakkan hukum perdata
materil dengan perantaraan hakim di pengadilan sejak pemajuan gugatan sampai
pada pelaksanaan putusan. Asas-asas yang perlu diperhatikan dalam bercara
perdata, antara lain: Hakim bersifat menunggu; Hakim bersikap pasif; Sidang
terbuka untuk umum; mendengar kedua belah pihak; beracara itu dikenakan biaya,
terikatnya hakim pada alat bukti; dan putusan hakim harus disertai
alasan-alasan. Beracara perdata itu melalui 3 (tiga) tahap, yaitu pendahuluan,
penentuan, dan pelaksanaan.
3.
Sistem
Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana Indonesia
Berdasarkan isinya, hukum dapat dibagi menjadi 2,
yaitu hukum privat dan hukum publik (C.S.T Kansil). Hukum privat adalah hukum
yang mengatur hubungan orang perorang, sedangkan hukum publik adalah hukum yang
mengatur hubungan antara negara dengan warga negaranya. Hukum pidana merupakan
bagian dari hukum publik yang mengatur hubungan antara negara dengan warga
negara. Hukum Pidana dalam pengertian sempit hanya mencakup hukum pidana
materiil saja, sedangkan Hukum Pidana dalam arti luas mencakup hukum pidana
materil dan hukum pidana formil atau Hukum Acara Pidana.
Hukum Pidana materil diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sedang Hukum Acara Pidana diatur dalam UU
No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan
peraturan perundang-undangan lainnya. Hukum Acara Pidana atau hukum formil
merupakan ketentuan tentang tata cara proses perkara pidana sejak adanya
sangkaan seseorang telah melakukan tindak pidana hingga pelaksanaan keputusan
sampai pelaksanaan putusan pengadilan, mengatur hak dan kewajiban bagi mereka
yang bersangkut paut dengan proses perkara pidana berdasarkan undang-undang,
serta diciptakan untuk penegakan hukum dan keadilan. Fungsi dan tujuan Hukum
Acara Pidana adalah melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum pidana untuk mencari
kebenaran materil.
Hak dan kewajiban bagi pihak yang bersangkut paut
dengan proses perkara pidana mengacu pada asas hukum Acara Pidana, antara lain:
perlakuan di muka sidang; perintah tertulis dari yang berwenang, memperoleh
bantuan hukum seluas-luasnya; hadirnya terdakwa, sidang terbuka untuk umum dll.
Selanjutnya dalam proses berita acara pidana
meliputi beberapa tahap, yaitu:
1. Penyidikan
oleh penyidik (penyidik polisi dan penyidik PNS).
2. Penuntutan
yang dilakukan oleh jaksa atau penuntut umum.
3. Pemeriksaan
di depan sidang oleh hakim.
4. Pelaksanaan
putusan pengadilan oleh jaksa dan lembaga pemasyarakatan.
C.
Substansi
Hukum Positif Indonesia
1.
Sistem
Hukum Tata Negara Indonesia
a.
Pengertian
Hukum Tata Negara
Hukum tata
negara adalah hukum yang mengatur bentuk negara, (dan bentuk pemerintahan),
mengkaji hierarki peraturan perundang-undangan dalam penyelenggaraan negara,
membicarakan sistem pemerintahan, pemerintahan sentralistik maupun
desentralistik, peraturan pemerintah, peraturan daerah, peraturan presiden, dan
kekuasaan dengan tingkatan-tingkatannya, serta wilayah dengan kedaulatan negara
dengan masyarakatnya.[2]
Warga
negara merupakan salah satu unsur yang penting bagi berdirinya suatu negara.
Karena itu, dalam hukum tata negara perlu dibahas tentang asas-asas dan syarat-syarat
kewarganegaraan serta perlindungan yang diberikan kepadanya, yang lazim disebut
sebagai perlindungan terhadap hak-hak asasi. Dengan demikian, hukum tata negara
tidak hanya mengatur wewenang dan kewajiban alat-alat negaranya saja. Menurut
hukum tata negara, seorang warga negara pun mempunyai wewenang dan kewajiban
serta pelindungan terhadap hak asasinya.
Dengan
pemahaman tersebut, dapat diartikan bahwa hukum tata negara adalah seluruh
peraturan perundang-undangan yang bersifat legal formal maupun nonformal yang
mengatur penyelenggaraan negara kaitannya dengan bentuk negara, asas-asas hukum
negara, sistem pemerintahan, kekuasaan pemerintah, pembagian kekuasaan,
peralihan kepemimpinan suatu negara, pemilihan umum, prinsip-prinsip demokrasi,
ideologi negara, hak dan kewajiban pemerintah dan masyarakat, serta semua hal
yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara lainnya.
Negara
jika dipandang sebagai tatanan hukum, memiliki legalitas normative yang
membentuk suatu kekuasaan politik tersangkut dengan semua unsur ketatanegaraan,
misalnya unsur hukum positif, unsur penegak hukum, unsur warga negara, unsur
wilayah, unsur kedaulatan rakyat, pergantian kepemimpinan atau pemerintahan
suatu negara, dan sebagainya yang menempatkan negara sebagai kerangka acuan
kehidupan manusia di dalamnya.
b.
Ruang
Lingkup Hukum Tata Negara
Negara
adalah organisasi yang ada dalam suatu wilayah yang dengan kekuasaan
konstitusionalnya dapat mengatur kehidupan masyarakat secara berdaulat untuk
mencapai tujuan bersama. Di dalam negara terdapat batas-batas kekuasaan,
peraturan hubungan antar masyarakat serta tata cara memperoleh tujuan kehidupan
bersama dalam suatu negara.
Kekuasaan
negara adalah kekuasaan yang diorganisasikan oleh hukum positif, yakni
kekuasaan hukum, yaitu efektivitas dari hukum positif. Pandangan ini
menjelaskan bahwa kekuatan dari kekuasaan dan negara adalah perpaduan dari
kekuatan sosial yang dibentuk oleh kekuatan normatif. Misalnya seorang Presiden
diusung oleh organisasi partai politik, sedangkan partai politik pun dipilih
oleh rakyat sehingga sama dengan rakyat memilih calon presiden. Dengan
demikian, kedudukan calon presiden terpilih dan fraksi-fraksi partai politik
yang menjabat legislator merupakan perwujudan kehendak rakyat sebagai pemegang
hak pilih yang dilindungi oleh hukum suatu negara.
Dari
definisi negara di atas, ruang lingkup hukum tata negara adalah sebagai
berikut:[3]
1. Wilayah
suatu negara,
2. Sistem
penyelenggaraan pemerintahan suatu negara,
3. Konstitusi
dan peraturan perundang-undangan suatu negara,
4. Sistem
pembagian atau pemisahan kekuasaan,
5. Tugas
dan fungsi kekuasaan mekanisme peralihan kekuasaan yang ada dalam suatu negara,
6. Lembaga-lembaga
negara beserta kekuasaan dan batasan-batasannya,
7. Prinsip-prinsip
bernegara kaitannya dengan bentuk negara,
8. Kedudukan
masyarakat dalam negara,
9. Demokrasi
dan penerapannya dalam sistem penyelenggaraan negara,
10. Asas
hukum tata negara,
11. Sejarah
ketatanegaraan Indonesia.
c.
Sumber-sumber
Hukum Tata Negara
Dalam
UUD 1945 1 ayat (3) dikatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum.”.
Dengan demikian, setiap kekuasan dibentuk oleh hukum, dan hukum (rechtsstaat) tidak berdasarkan atas
semata-mata kekuasaan (Machtstaat).
Artinya, penyelenggaraan pemerintahan dan keberadaan lembaga-lembaga negara
dengan seperangkat kekuasaan dan wewenangnya dilandasi oleh hukum dan bertanggung
jawab sepenuhnya atas nama hukum.3
Negara
Indonesia adalah negara yang menganut sistem konstitusional, artinya
penyelenggaraan negara diatur sedemikian rupa oleh konstitusi yang berlaku,
sebagai hukum dasar dan dasar hukum yang menafikan kekuasaan yang bersifat
absolut. Sistem ini memberikan ketegasan bahwa cara pengendalian pemerintahan
dibatasi oleh ketentuan-ketentuan konstitusi, yang dengan sendirinya juga
dibatasi oleh ketentuan-ketentuan dan hukum lain yang merupakan produk
konstitusional.[4]
Sumber-sumber hukum tata negara
Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang
Dasar 1945
2. Ketetapan
MPR
3. Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang
4. Peraturan
Pemerintah
5. Keputusan
Presiden
6. Peraturan
Pelaksana Lainnya
7. Convention
(Konvensi Ketatanegaraan)
8. Traktat
2.
Sistem
Hukum Administrasi Negara
a.
Pengertian
dan Ruang Lingkup Hukum Administrasi Negara
Hukum
Administrasi Negara adalah seperangkat peraturan yang memungkinkan administrasi
negara menjalankan fungsinya, yang sekaligus juga melindungi warga terhadap
sikap tindak administrasi negara, dan melindungi administrasi negara itu
sendiri.
Utrecht
menyebutkan bahwa HAN adalah hukum yang mengatur sebagian lapangan pekerjaan
administrasi negara. Bagian lain diatur oleh Hukum Tata Negara (hukum negara
dalam arti sempit), Hukum Privat, dan sebagainya.[5]
Berdasarkan
definisi tersebut, tampak bahwa dalam hukum administrasi negara terkandung dua
aspek, yaitu, pertama, aturan-aturan
hukum yang mengatur dengan cara bagaimana alat-alat perlengkapan negara itu
melakukan tugasnya; kedua,
aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan hukum (rechtbetrekking) antara alat perlengkapan administrasi negara atau
pemerintah dengan para warga negaranya.
Seiring
dengan perkembangan tugas-tugas pemerintahan, khususnya dalam ajaran welfare
state, yang memberikan kewenangan yang luas kepada administrasi negara termasuk
kewenangan dalam bidang legislasi, maka peraturan-peraturan hukum dalam hukum
administrasi negara, disamping dibuat oleh lembaga legislatif, juga ada
peraturan-peraturan yang dibuat secara mandiri oleh administrasi negara. Dengan
demikian, bahwa hukum administrasi negara adalah hukum dan peraturan-peraturan
yang berkenaan dengan pemerintah dalam arti sempit atau administrasi negara,
peraturan-peraturan tersebut dibentuk oleh lembaga legislatif untuk mengatur
tindakan pemerintahan dalam hubungannya dengan warga negara dan sebagian
peraturan-peraturan itu dibentuk pula oleh administrasi negara.
Istilah
Hukum Administrasi Negara dalam kepustakaan Belanda disebut dengan istilah
bestuurscrecht, dengan unsur utama “bestuur”. Menurut Philipus M. Hadjon[6],
istilah bestuur berkenaan dengan
“sturen” dan “sturing”. Bestuur
dirumuskan sebagai lingkungan kekuasaan negara di luar lingkungan kekuasaan legislatif
dan kekuasaan yudisial. Dengan rumus itu, kekuasaan pemerintahan tidaklah
sekedar melaksanakan undang-undang. Kekuasaan pemerintahan merupakan kekuasaan
yang aktif. Sifat aktif tersebut dalam konsep Hukum Administrasi secara
instrinsik merupakan unsur utama dari “sturen” (besturen).
Hukum
administrasi Negara merupakan fenomena kenegaraan dan pemerintahan yang
keberadaannya setua dengan konsepsi Negara hukum atau muncul bersamaan dengan
diselenggarakannya kekuasaan Negara dan pemerintahan. Berdasarkan aturan hukum
tertentu. Telah diakui bahwa istilah hukum administrasi Negara lebih luas dari
pada istilah-istilah lainnya karena dalam istilah administrasi Negara tercakup
tata usaha Negara.
Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
hukum administrasi negara adalah hukum dan peraturan-peraturan yang berkenaan
dengan pemerintah dalam arti sempit atau administrasi negara,
peraturan-peraturan tersebut dibentuk oleh lembaga legislatif untuk mengatur
tindakan pemerintahan dalam hubungannya dengan warga negara dan sebagian
peraturan-peraturan itu dibentuk pula oleh administrasi negara.
b.
Sumber-sumber
Hukum Administrasi Negara
Secara sederhana sumber hukum adalah
segala sesuatu yang dapat menimbulkan aturan hukum serta tempat ditemukannya
aturan-aturan hukum. Sumber-sumber hukum administrasi negara diantaranya:
1.
Sumber
Hukum Materiil
Sumber
hukum materiil adalah faktor-faktor masyarakat yang mempengaruhi pembentukan
hukum (pengaruh terhadap pembuatan undang-undang, pengaruh terhadap keputusan
hakim, dan sebagainya, atau factor yang diikuti memengaruhi materi (isi) dari
aturan-aturan hukum, atau tempat darimana hukum itu diambil. Sumber hukum
materi ini merupakan factor yang membantu pembentukan hukum. Sumber hukum
materil terdiri dari :
·
Sumber hukum historis
·
Sumber hukum sosiologis
·
Sumber hukum filosofis
2.
Sumber
Hukum Formal
Sumber
hukum formal yaitu berbagai bentuk aturan hukum yang ada, dapat diartikan juga
sebagai tempat atau sumber dari mana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum.
Arti formal ini terdiri dari :
·
Peraturan perundang-undangan
·
Praktik administrasi Negara atau hukum
tidak tertulis
·
Yurisprudensi
·
Doktrin.
BAB
III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Hukum positif itu identik dengan hukum tertulis,
yang menjadi hukum negara. Tujuannya adalah menciptakan kepastian hukum di
Indonesia, sebagaimana didalam UUD 1945 naskah asli yang menyatakan bahwa
Indonesia adalah negara berdasarkan hukum/rechtstaat.
Dalam Substansi Hukum Positif Indonesia HTN dan HAN
mempunyai hubungan erat. HAN meliputi semua aturan hukum yang bersifat teknis
(negara dalam keadaan bergerak), sedang HTN meliputi semua aturan hukum yang
bersifat fundamental (negara dalam keadaan diam/tidak bergerak).
Hukum Tata Negara adalah negara dalam keadaan
diam (Strats in rust), dimana Hukum Tata Negara membentuk alat-alat
perlengkapan Negara dan memberikan kepadanya wewenang serta membagi-bagikan
tugas pekerjaan kepada alat-alat perlengkapan negara ditingkat tinggi dan
tingkat rendah. Sedangkan Hukum Administrasi Negara adalah Negara dalam keadaan
bergerak (Staats ini beveging) dimana Hukum Administrasi Negara melaksanakan
aturan-aturan yang sudah ditetapkan oleh Hukum Tata Negara baik ditingkat
tinggi maupun ditingkat rendah.
3.2.Saran
1.
Terciptanya hukum positif yang tertulis
di Indonesia diharapkan dapat menciptakan pula kepastian hukum. karena di
Indonesia sendiri setidaknya berlaku/mengadopsi tiga sistem hukum, yaitu, Hukum
Agama, Hukum Adat, dan Hukum Eropa Kontinental yang menjadi basis hukum
nasional Indonesia dan itu membuat hukum di Indonesia mendekati hukum yang
dipandang baik secara sistem hukumnya.
2.
Unifikasi hukum diharapkan bisa
menciptakan kepastian hukum dan kepastian hukum tersebut diharapkan menciptakan
keteraturan di masyarakat dan negara, khususnya yaitu Negara Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
- Buku
Ridwan HR. 2006.
Hukum Administrasi Negara. Jakarta.
PT Raja Grafindo Persada.
H.
Dedi Ismatullah, M.Hum., Dr., Prof., 2009. Hukum
Tata Negara. Bandung. CV Pustaka Setia.
Abdoel
Djamali, R., S.H., 2005. Pengantar Hukum
Indonesia. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.
Moh.
Kusnadi, S.H, Harmaily Ibrahim, S.H. 1980. Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia. Jakarta. Fakultas Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia dan
C.V. “Sinar Bakti”
Bachsan
Mustafa .(2003) Sistem Hukum Indonesia Terpadu. Bandung: Citra Adiyta Bakti.
- Internet
http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20090925002406AATlEnp
[1]
Abdoel Djamali, R., S.H., 2005. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta. PT. Raja
Grafindo Persada. hal.147
[2]
H. Dedi Ismatullah, M.Hum., Dr., Prof., 2009. Hukum Tata Negara. Bandung. CV
Pustaka Setia. hal.14
[3] H.
Dedi Ismatullah, M.Hum., Dr., Prof., 2009. Hukum Tata Negara. Bandung. CV
Pustaka Setia. hal.27
[4] H.
Dedi Ismatullah, M.Hum., Dr., Prof., 2009. Hukum Tata Negara. Bandung. CV
Pustaka Setia. hal.208
semoga bermanfaat :-)
BalasHapusbisa dengan makalah ini, bagus bro
BalasHapusThanks.. terima kasih sudah berkunjung ^_^
Hapus