Rabu, 11 April 2012

Makalah Substansi Hukum Positif di Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Seringkali kita bersama menyaksikan fenomena-fenomena nyata yang terjadi di masyarakat yang cukup mengganggu rasa keadilan kita sebagai insan manusia. Yakni fenomena-fenomena dalam ruang pengembanan hukum baik mulai dari pembentukan hingga penegakannya, namun yang ternyata justru dirasa mencederai rasa keadilan kita bersama, rasa keadilan rakyat.
Dalam sektor pembentukan hukum, seringkali kita menemui suatu substansi aturan hukum baik berupa undang-undang, peraturan pemerintah, perpres, hingga perda yang tidak mencerminkan aspirasi rakyat, bahkan justru secara substantif dirasa merugikan kepentingan rakyat. Demikian juga dalam sektor penegakan hukum, sudah tak terhitung putusan pengadilan yang justru dinilai banyak kalangan justru mencederai rasa keadilan masyarakat.
Dari gambaran di atas, ada hal yang perlu dikemukakan, bahwa secara legal formal mungkin tidak ada yang salah dalam proses pembentukan maupun penegakan hukum. Suatu undang-undang, apapun materi dan isinya, apakah menggambarkan aspirasi rakyat atau tidak, selama itu dibentuk dan ditetapkan oleh lembaga yang berwenang maka dapat dikatakan telah sah menjadi hukum positif. Begitu pula dengan proses penegakan hukum, apapun isi putusan pengadilan selama hakim dalam memutuskannya berkeyakinan telah mendasarkan diri pada hukum positif yang ada maka dapat dikatakan telah sah secara hukum.
Permasalahannya, jika apa yang terjadi dalam gambaran-gambaran pengembanan hukum sebagaimana di atas dapat dikatakan telah legal atau sah secara hukumnya, maka pertanyaannya mengapa segala proses pengembanan hukum baik dari pembentukan maupun penegakannya yang telah dapat dikatakan sah dan legal secara hukum tersebut masih belum dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat? Mengapa Hukum Indonesia masih belum memenuhi tuntutan rasio, hati nurani, perasaan, dan rasa keadilan kita bersama sebagai masyarakat? Mengapa hukum menjadi tidak linier dengan tuntutan keadilan? Dimanakah letak kesalahannya, tuntutan masyarakat atau hukumnya itu sendiri?
Adanya pertanyaan-pertanyaan substantif terhadap realitas Hukum Indonesia, yang jelas menunjukkan adanya perbedaan atau gap antara apa yang kita bersama sebagai masyarakat tuntutkan atau harapkan dalam substansi Hukum Indonesia dengan fakta substantif obyektif dalam realitas Hukum Indonesia itu sendiri. Jika lebih dikongkritisasi, telah terjadi suatu legal gap atau perbedaan kesadaran tentang hukum antara apa yang ada dalam ide atau benak kesadaran masyarakat dengan apa yang dituangkan dalam substansi hukum positif yang ada.




1.2.Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian Hukum Positif Indonesia?
2.      Apa sajakah yang menjadi komponen substansi hukum?
3.      Terdiri dari hukum apa saja substansi hukum positif Indonesia?
1.3.Maksud dan Tujuan
1.      Mengetahui pengertian hukum positif Indonesia
2.      Mengenal lebih dalam mengenai komponen substansi hukum
3.      Mengetahui lebih jauh mengenai substansi hukum positif Indonesia














BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hukum Positif Indonesia
Hukum Positif adalah kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara Indonesia. Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi,  yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.
Tiap-tiap bangsa memiliki hukumnya sendiri, seperti terhadap bahasa dikenal tata bahasa, demikian juga terhadap hukum dikenal juga tata hukum. Tiap-tiap bangsa mempunyai tata hukumnya sendiri.
Hukum merupakan positivasi nilai moral yang berkaitan dengan kebenaran, keadilan, kesamaan derajat, kebebasan, tanggung jawab, dan hati nurani manusia. Hukum sebagai positivasi nilai moral adalah legitimasi karena adil bagi semua orang. Salah satu kesimpulan dari studi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga dunia, seperti Booz-Allen & Hamilton, McKinsey dan Bank Dunia terhadap kinerja perekonomian Indonesia adalah rendahnya praktik Good Corporate Governance (GCG). Secara umum, GCG sendiri berarti suatu proses dan struktur yang digunakan untuk mengarahkan dan mengelola bisnis dan akuntabilitas perusahaan dengan tujuan utama mempertinggi nilai saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders lain. Dari pengertian tersebut, selanjutnya dapat dijelaskan bahwa GCG tidak lain adalah permasalahan mengenai proses pengelolaan perusahaan, yang secara konseptual mencakup diaplikasikannya prinsip-prinsip transparancy, accountability, fairness dan responsibility.
Pada saat baru lahir ditahun 1945, negara ‘bayi’ bernama Indonesia mengunifikasi serta mengkodifikasi hukum positif buatan Belanda yang diberlakukan bagi masyarakat di Hindia Belanda yang terdiri dari berbagai etnik saat itu – bangsa Eropa, bangsa Cina, dan bangsa Timur Jauh bukan Cina yaitu bangsa Arab dan India serta masyarakat pribumi/inlander bangsa Nusantara. Dasar dari peraturan Belanda tersebut sebenarnya adalah hukum buatan VOC (Verenige Oost Indische Companie), yang merupakan multinational company pertama di Nusantara. Perusahaan dagang multinasional milik kolonial Belanda yang dibentuk oleh 14 warga Belanda bagi manajemen penjajahan dinegara jajahan di Asia Tenggara ditengah kemelut ekonomi dalam negeri Kerajaan Belanda yang terjerat hutang yang besar pasca perang dengan negara-negara tetangganya dan menuju kebangkrutan. Hukum khusus yang mereka buat tersebut sesungguhnya memang khusus untuk diberlakukan bagi para inlander/masyarakat jajahan Belanda di Hindia Belanda. Artinya kita sekarang sedang terjajah oleh bangsanya sendiri. Sehingga tidak mengherankan sikap krusial pilihan hukum para penegak hukum Indonesia sampai hari ini masih memprihatinkan. Hukum harus ditegakkan dan keadilan harus dijujurkan – vivat justitia vereat mudus (walaupun langit akan runtuh hukum harus tetap ditegakkan).
B.     Komponen Substansi Hukum
Substansi hukum adalah peraturan-peraturan yang dipakai oleh para pelaku hukum pada waktu melaksanakan perbuatan-perbuatan serta hubungan-hubungan hukum. Contoh: pada saat pedagang melaksanakan perjanjian antar sesamanya, pada saat itu ia mendasarkan hubungannya pada peraturan perdagangan, dan inilah yang disebut dengan substansi hukum. Komponen dalam substansi hukum itu sendiri, diantaranya:
1.      Sistem Hukum Adat dan Hukum Perdata
Ø  Hukum Adat
Hukum Adat merupakan hukum tidak tertulis yang dibentuk dan dipelihara oleh masyarakat hukum adat tanpa campur tangan dari penguasa, yang dilengkapi dengan sanksi sebagai upaya pemaksa. Hukum adat merupakan hukum yang bersifat lokal, dan karena dibentuk oleh masyarakat hukum adat yang tata susunannya sangat tergantung pada faktor pembentuknya, mengakibatkan hukum adat menjadi plural dan berbeda diantara tiap daerah dan tiap masyarakat.
Sesuai dengan faktor genealogis maka ada 3 masyarakat hukum adat, yaitu masyarakat matrilineal, patrilineal dan parental. Sedangkan berdasar pada faktor teritorial terbentuk 3 macam masyarakat, yaitu: persekutuan desa, persekutuan daerah dan perserikatan kampung.
Ø  Hukum Perdata
Hukum perdata adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi tingkah laku manusia dalam memenuhi kepentingan (kebutuhannya).[1] Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.
Ada beberapa sistem hukum yang berlaku di dunia dan perbedaan sistem hukum tersebut juga mempengaruhi bidang hukum perdata, antara lain sistem hukum Anglo-Saxon (yaitu sistem hukum yang berlaku di Kerajaan Inggris Raya dan negara-negara persemakmuran atau negara-negara yang terpengaruh oleh Inggris, misalnya Amerika Serikat), sistem hukum Eropa kontinental, sistem hukum komunis, sistem hukum Islam dan sistem-sistem hukum lainnya. Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan.
Wikisource memiliki naskah sumber yang berkaitan dengan The Civil Code. Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPer) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (atau dikenal dengan BW) yang berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan azas konkordansi. Untuk Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda, BW diberlakukan mulai 1859. Hukum perdata Belanda sendiri diadopsi dari hukum perdata yang berlaku di Perancis dengan beberapa penyesuaian. Kitab undang-undang hukum perdata (disingkat KUHPer) terdiri dari empat bagian, yaitu: Buku I tentang Orang, Buku II tentang Benda, Buku III tentang Perikatan, Buku IV tentang Pembuktian dan Daluwarsa.
2.      Sistem Hukum Acara Perdata Indonesia
Dalam rangka menegakan hukum perdata materil diperlukan hukum perdata formil (hukum acara perdata), yakni aturan hukum yang mengatur bagaimana menegakkan hukum perdata materil dengan perantaraan hakim di pengadilan sejak pemajuan gugatan sampai pada pelaksanaan putusan. Asas-asas yang perlu diperhatikan dalam bercara perdata, antara lain: Hakim bersifat menunggu; Hakim bersikap pasif; Sidang terbuka untuk umum; mendengar kedua belah pihak; beracara itu dikenakan biaya, terikatnya hakim pada alat bukti; dan putusan hakim harus disertai alasan-alasan. Beracara perdata itu melalui 3 (tiga) tahap, yaitu pendahuluan, penentuan, dan pelaksanaan.
3.      Sistem Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana Indonesia
Berdasarkan isinya, hukum dapat dibagi menjadi 2, yaitu hukum privat dan hukum publik (C.S.T Kansil). Hukum privat adalah hukum yang mengatur hubungan orang perorang, sedangkan hukum publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan warga negaranya. Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik yang mengatur hubungan antara negara dengan warga negara. Hukum Pidana dalam pengertian sempit hanya mencakup hukum pidana materiil saja, sedangkan Hukum Pidana dalam arti luas mencakup hukum pidana materil dan hukum pidana formil atau Hukum Acara Pidana.
Hukum Pidana materil diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sedang Hukum Acara Pidana diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan peraturan perundang-undangan lainnya. Hukum Acara Pidana atau hukum formil merupakan ketentuan tentang tata cara proses perkara pidana sejak adanya sangkaan seseorang telah melakukan tindak pidana hingga pelaksanaan keputusan sampai pelaksanaan putusan pengadilan, mengatur hak dan kewajiban bagi mereka yang bersangkut paut dengan proses perkara pidana berdasarkan undang-undang, serta diciptakan untuk penegakan hukum dan keadilan. Fungsi dan tujuan Hukum Acara Pidana adalah melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum pidana untuk mencari kebenaran materil.
Hak dan kewajiban bagi pihak yang bersangkut paut dengan proses perkara pidana mengacu pada asas hukum Acara Pidana, antara lain: perlakuan di muka sidang; perintah tertulis dari yang berwenang, memperoleh bantuan hukum seluas-luasnya; hadirnya terdakwa, sidang terbuka untuk umum dll.
Selanjutnya dalam proses berita acara pidana meliputi beberapa tahap, yaitu:
1.      Penyidikan oleh penyidik (penyidik polisi dan penyidik PNS).
2.      Penuntutan yang dilakukan oleh jaksa atau penuntut umum.
3.      Pemeriksaan di depan sidang oleh hakim.
4.      Pelaksanaan putusan pengadilan oleh jaksa dan lembaga pemasyarakatan.


C.    Substansi Hukum Positif Indonesia
1.         Sistem Hukum Tata Negara Indonesia
a.        Pengertian Hukum Tata Negara
            Hukum tata negara adalah hukum yang mengatur bentuk negara, (dan bentuk pemerintahan), mengkaji hierarki peraturan perundang-undangan dalam penyelenggaraan negara, membicarakan sistem pemerintahan, pemerintahan sentralistik maupun desentralistik, peraturan pemerintah, peraturan daerah, peraturan presiden, dan kekuasaan dengan tingkatan-tingkatannya, serta wilayah dengan kedaulatan negara dengan masyarakatnya.[2]
            Warga negara merupakan salah satu unsur yang penting bagi berdirinya suatu negara. Karena itu, dalam hukum tata negara perlu dibahas tentang asas-asas dan syarat-syarat kewarganegaraan serta perlindungan yang diberikan kepadanya, yang lazim disebut sebagai perlindungan terhadap hak-hak asasi. Dengan demikian, hukum tata negara tidak hanya mengatur wewenang dan kewajiban alat-alat negaranya saja. Menurut hukum tata negara, seorang warga negara pun mempunyai wewenang dan kewajiban serta pelindungan terhadap hak asasinya.
            Dengan pemahaman tersebut, dapat diartikan bahwa hukum tata negara adalah seluruh peraturan perundang-undangan yang bersifat legal formal maupun nonformal yang mengatur penyelenggaraan negara kaitannya dengan bentuk negara, asas-asas hukum negara, sistem pemerintahan, kekuasaan pemerintah, pembagian kekuasaan, peralihan kepemimpinan suatu negara, pemilihan umum, prinsip-prinsip demokrasi, ideologi negara, hak dan kewajiban pemerintah dan masyarakat, serta semua hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara lainnya.
            Negara jika dipandang sebagai tatanan hukum, memiliki legalitas normative yang membentuk suatu kekuasaan politik tersangkut dengan semua unsur ketatanegaraan, misalnya unsur hukum positif, unsur penegak hukum, unsur warga negara, unsur wilayah, unsur kedaulatan rakyat, pergantian kepemimpinan atau pemerintahan suatu negara, dan sebagainya yang menempatkan negara sebagai kerangka acuan kehidupan manusia di dalamnya.
b.        Ruang Lingkup Hukum Tata Negara
            Negara adalah organisasi yang ada dalam suatu wilayah yang dengan kekuasaan konstitusionalnya dapat mengatur kehidupan masyarakat secara berdaulat untuk mencapai tujuan bersama. Di dalam negara terdapat batas-batas kekuasaan, peraturan hubungan antar masyarakat serta tata cara memperoleh tujuan kehidupan bersama dalam suatu negara.
            Kekuasaan negara adalah kekuasaan yang diorganisasikan oleh hukum positif, yakni kekuasaan hukum, yaitu efektivitas dari hukum positif. Pandangan ini menjelaskan bahwa kekuatan dari kekuasaan dan negara adalah perpaduan dari kekuatan sosial yang dibentuk oleh kekuatan normatif. Misalnya seorang Presiden diusung oleh organisasi partai politik, sedangkan partai politik pun dipilih oleh rakyat sehingga sama dengan rakyat memilih calon presiden. Dengan demikian, kedudukan calon presiden terpilih dan fraksi-fraksi partai politik yang menjabat legislator merupakan perwujudan kehendak rakyat sebagai pemegang hak pilih yang dilindungi oleh hukum suatu negara.
            Dari definisi negara di atas, ruang lingkup hukum tata negara adalah sebagai berikut:[3]
1.    Wilayah suatu negara,
2.    Sistem penyelenggaraan pemerintahan suatu negara,
3.    Konstitusi dan peraturan perundang-undangan suatu negara,
4.    Sistem pembagian atau pemisahan kekuasaan,
5.    Tugas dan fungsi kekuasaan mekanisme peralihan kekuasaan yang ada dalam suatu negara,
6.    Lembaga-lembaga negara beserta kekuasaan dan batasan-batasannya,
7.    Prinsip-prinsip bernegara kaitannya dengan bentuk negara,
8.    Kedudukan masyarakat dalam negara,
9.    Demokrasi dan penerapannya dalam sistem penyelenggaraan negara,
10.    Asas hukum tata negara,
11.    Sejarah ketatanegaraan Indonesia.
c.         Sumber-sumber Hukum Tata Negara
            Dalam UUD 1945 1 ayat (3) dikatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum.”. Dengan demikian, setiap kekuasan dibentuk oleh hukum, dan hukum (rechtsstaat) tidak berdasarkan atas semata-mata kekuasaan (Machtstaat). Artinya, penyelenggaraan pemerintahan dan keberadaan lembaga-lembaga negara dengan seperangkat kekuasaan dan wewenangnya dilandasi oleh hukum dan bertanggung jawab sepenuhnya atas nama hukum.3
            Negara Indonesia adalah negara yang menganut sistem konstitusional, artinya penyelenggaraan negara diatur sedemikian rupa oleh konstitusi yang berlaku, sebagai hukum dasar dan dasar hukum yang menafikan kekuasaan yang bersifat absolut. Sistem ini memberikan ketegasan bahwa cara pengendalian pemerintahan dibatasi oleh ketentuan-ketentuan konstitusi, yang dengan sendirinya juga dibatasi oleh ketentuan-ketentuan dan hukum lain yang merupakan produk konstitusional.[4]
Sumber-sumber hukum tata negara Indonesia adalah sebagai berikut:
1.      Undang-Undang Dasar 1945
2.      Ketetapan MPR
3.      Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
4.      Peraturan Pemerintah
5.      Keputusan Presiden
6.      Peraturan Pelaksana Lainnya
7.      Convention (Konvensi Ketatanegaraan)
8.      Traktat
2.         Sistem Hukum Administrasi Negara
a.        Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Administrasi Negara
            Hukum Administrasi Negara adalah seperangkat peraturan yang memungkinkan administrasi negara menjalankan fungsinya, yang sekaligus juga melindungi warga terhadap sikap tindak administrasi negara, dan melindungi administrasi negara itu sendiri.
            Utrecht menyebutkan bahwa HAN adalah hukum yang mengatur sebagian lapangan pekerjaan administrasi negara. Bagian lain diatur oleh Hukum Tata Negara (hukum negara dalam arti sempit), Hukum Privat, dan sebagainya.[5]
            Berdasarkan definisi tersebut, tampak bahwa dalam hukum administrasi negara terkandung dua aspek, yaitu, pertama, aturan-aturan hukum yang mengatur dengan cara bagaimana alat-alat perlengkapan negara itu melakukan tugasnya; kedua, aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan hukum (rechtbetrekking) antara alat perlengkapan administrasi negara atau pemerintah dengan para warga negaranya.
            Seiring dengan perkembangan tugas-tugas pemerintahan, khususnya dalam ajaran welfare state, yang memberikan kewenangan yang luas kepada administrasi negara termasuk kewenangan dalam bidang legislasi, maka peraturan-peraturan hukum dalam hukum administrasi negara, disamping dibuat oleh lembaga legislatif, juga ada peraturan-peraturan yang dibuat secara mandiri oleh administrasi negara. Dengan demikian, bahwa hukum administrasi negara adalah hukum dan peraturan-peraturan yang berkenaan dengan pemerintah dalam arti sempit atau administrasi negara, peraturan-peraturan tersebut dibentuk oleh lembaga legislatif untuk mengatur tindakan pemerintahan dalam hubungannya dengan warga negara dan sebagian peraturan-peraturan itu dibentuk pula oleh administrasi negara.
            Istilah Hukum Administrasi Negara dalam kepustakaan Belanda disebut dengan istilah bestuurscrecht, dengan unsur utama “bestuur”. Menurut Philipus M. Hadjon[6], istilah bestuur berkenaan dengan “sturen” dan “sturing”. Bestuur dirumuskan sebagai lingkungan kekuasaan negara di luar lingkungan kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudisial. Dengan rumus itu, kekuasaan pemerintahan tidaklah sekedar melaksanakan undang-undang. Kekuasaan pemerintahan merupakan kekuasaan yang aktif. Sifat aktif tersebut dalam konsep Hukum Administrasi secara instrinsik merupakan unsur utama dari “sturen” (besturen).
Hukum administrasi Negara merupakan fenomena kenegaraan dan pemerintahan yang keberadaannya setua dengan konsepsi Negara hukum atau muncul bersamaan dengan diselenggarakannya kekuasaan Negara dan pemerintahan. Berdasarkan aturan hukum tertentu. Telah diakui bahwa istilah hukum administrasi Negara lebih luas dari pada istilah-istilah lainnya karena dalam istilah administrasi Negara tercakup tata usaha Negara.
Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum administrasi negara adalah hukum dan peraturan-peraturan yang berkenaan dengan pemerintah dalam arti sempit atau administrasi negara, peraturan-peraturan tersebut dibentuk oleh lembaga legislatif untuk mengatur tindakan pemerintahan dalam hubungannya dengan warga negara dan sebagian peraturan-peraturan itu dibentuk pula oleh administrasi negara.
b.      Sumber-sumber Hukum Administrasi Negara
Secara sederhana sumber hukum adalah segala sesuatu yang dapat menimbulkan aturan hukum serta tempat ditemukannya aturan-aturan hukum. Sumber-sumber hukum administrasi negara diantaranya:
1.      Sumber Hukum Materiil
Sumber hukum materiil adalah faktor-faktor masyarakat yang mempengaruhi pembentukan hukum (pengaruh terhadap pembuatan undang-undang, pengaruh terhadap keputusan hakim, dan sebagainya, atau factor yang diikuti memengaruhi materi (isi) dari aturan-aturan hukum, atau tempat darimana hukum itu diambil. Sumber hukum materi ini merupakan factor yang membantu pembentukan hukum. Sumber hukum materil terdiri dari :
·         Sumber hukum historis
·         Sumber hukum sosiologis
·         Sumber hukum filosofis
2.      Sumber Hukum Formal
Sumber hukum formal yaitu berbagai bentuk aturan hukum yang ada, dapat diartikan juga sebagai tempat atau sumber dari mana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Arti formal ini terdiri dari :
·         Peraturan perundang-undangan
·         Praktik administrasi Negara atau hukum tidak tertulis
·         Yurisprudensi
·         Doktrin.







BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Hukum positif itu identik dengan hukum tertulis, yang menjadi hukum negara. Tujuannya adalah menciptakan kepastian hukum di Indonesia, sebagaimana didalam UUD 1945 naskah asli yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara berdasarkan hukum/rechtstaat.
Dalam Substansi Hukum Positif Indonesia HTN dan HAN mempunyai hubungan erat. HAN meliputi semua aturan hukum yang bersifat teknis (negara dalam keadaan bergerak), sedang HTN meliputi semua aturan hukum yang bersifat fundamental (negara dalam keadaan diam/tidak bergerak).
Hukum Tata Negara adalah negara dalam keadaan diam (Strats in rust), dimana Hukum Tata Negara membentuk alat-alat perlengkapan Negara dan memberikan kepadanya wewenang serta membagi-bagikan tugas pekerjaan kepada alat-alat perlengkapan negara ditingkat tinggi dan tingkat rendah. Sedangkan Hukum Administrasi Negara adalah Negara dalam keadaan bergerak (Staats ini beveging) dimana Hukum Administrasi Negara melaksanakan aturan-aturan yang sudah ditetapkan oleh Hukum Tata Negara baik ditingkat tinggi maupun ditingkat rendah.



3.2.Saran
1.      Terciptanya hukum positif yang tertulis di Indonesia diharapkan dapat menciptakan pula kepastian hukum. karena di Indonesia sendiri setidaknya berlaku/mengadopsi tiga sistem hukum, yaitu, Hukum Agama, Hukum Adat, dan Hukum Eropa Kontinental yang menjadi basis hukum nasional Indonesia dan itu membuat hukum di Indonesia mendekati hukum yang dipandang baik secara sistem hukumnya.
2.      Unifikasi hukum diharapkan bisa menciptakan kepastian hukum dan kepastian hukum tersebut diharapkan menciptakan keteraturan di masyarakat dan negara, khususnya yaitu Negara Indonesia












DAFTAR PUSTAKA

  1. Buku

Ridwan HR. 2006. Hukum Administrasi Negara. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.
H. Dedi Ismatullah, M.Hum., Dr., Prof., 2009. Hukum Tata Negara. Bandung. CV Pustaka Setia.
Abdoel Djamali, R., S.H., 2005. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.
Moh. Kusnadi, S.H, Harmaily Ibrahim, S.H. 1980. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta. Fakultas Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia dan C.V. “Sinar Bakti”
Bachsan Mustafa .(2003) Sistem Hukum Indonesia Terpadu. Bandung: Citra Adiyta Bakti.

  1. Internet
http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20090925002406AATlEnp


[1] Abdoel Djamali, R., S.H., 2005. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada. hal.147
[2] H. Dedi Ismatullah, M.Hum., Dr., Prof., 2009. Hukum Tata Negara. Bandung. CV Pustaka Setia. hal.14
[3] H. Dedi Ismatullah, M.Hum., Dr., Prof., 2009. Hukum Tata Negara. Bandung. CV Pustaka Setia. hal.27
[4] H. Dedi Ismatullah, M.Hum., Dr., Prof., 2009. Hukum Tata Negara. Bandung. CV Pustaka Setia. hal.208
[5] Ridwan HR. 2006. Hukum Administrasi Negara. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada. hal.35
[6] Philipus M. Hadjon, Pemerintahan Menurut Hukum (wet-en rechtmatigheid can bestuur)

3 komentar: